KULIAHALISLAM.COM – Belakangan ini begitu mudah sebagian pihak memberi label kafir kepada mereka yang tidak sependapat, beda penafsiran dan juga pilihan politik. Ironisnya, dilakukan oleh sebagian umat Islam kepada sesama muslimnya.
Ini seperti pengulangan sejarah kelam umat Islam pasca terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan. Antara pasukan Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah saling berperang gara-gara persoalan kepemimpinan. Akibatnya, ada sebagian pihak yang mengafirkan salah satu atau keduanya.
Padahal keduanya adalah sahabat Nabi Muhammad SAW yang harus di hormati, namun karena berbeda pilihan politik mereka berani memberi label kafir. Seolah mereka tak menggubris (takut) dengan ancaman dari penggalan Hadits Nabi, yang artinya:
“Barangsiapa memanggil dengan sebutan kafir atau musuh Allah padahal yang bersangkutan tidak demikian, maka tuduhan itu akan kembali kepada penuduh”. (HR Bukhari-Muslim).
Pemaknaan Kafir Menurut Asghar Ali Engineer
Karena itu, dalam tulisan pendek ini penulis akan berupaya memaparkan hakikat kafir menurut pemikir Islam kontemporer, yakni Asghar Ali Engineer. Yang mana pemaknaannya cukup unik dan sesuai dengan konteks zaman sekarang.
Sudah jamak diketahui bahwa Engineer, termasuk tokoh pemikir Islam kontemporer dan sekaligus seorang aktivis gerakan sosial yang berupaya menafsirkan Al-Quran melalui semangat Islam sebagai teologi pembebasan.
Engineer hidup pada masa persoalan politik, ekonomi, dan agama yang tidak menentu (carut-marut). Tidak mengherankan, jika pengalaman hidup yang dialaminya memberi pengaruh signifikan pada pemikirannya di kemudian hari. Begitu pula ketika ia mencoba memaknai terminologi kafir.
Dalam memaknai istilah kafir, Engineer tak seperti kebanyakan para mufasir tradisional pada umumnya yang sekadar memaknai dengan “ingkar”.
Imam al-Thabari misalnya, menafsirkan QS. Ali Imran (3): 4, lafaz al-Ladzina Kafaru, ditafsiri sebagai orang-orang yang ingkar terhadap ayat-ayat Allah (yakni tanda-tanda kekuasaan Allah serta hujah-hujah-Nya). (al-Thabari, Tafsir al-Thabari, jilid 5, hlm. 21).
Akan tetapi Engineer menafsirkannya lebih dari itu bahwa menurutnya, kafir tidak sekadar bermakna ingkar terhadap Allah dan Rasul-Nya serta ajaran-ajaran dan larangan-larangan-Nya, melainkan seseorang yang tidak peduli (berperan aktif) terhadap kelompok masyarakat tertindas, ketidakadilan sosial, ekonomi dan lain-lain dikategorikan sebagai orang yang kafir.
Ini artinya, meski seseorang mengatakan beriman secara verbal kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi ia tetap menjalankan kehidupan hedonis-materialis-kapitalis dan membiarkan orang-orang di sekitarnya hidup dalam kesengsaraan dan penindasan menurut Engineer masih tergolong kepada orang kafir.
Syarat Keimanan Harus Memiliki Perhatian Terhadap Sosial
Menurut Engineer, sejak kali pertama diturunkan Al-Quran bertujuan untuk menyejajarkan strata sosial umat manusia tanpa memandang suku, agama, ras, dan lain-lain. Juga Al-Quran secara tegas dan lugas mengutuk segala bentuk penindasan, eksploitasi, dan ketidakadilan yang dilakukan umat manusia terhadap sesamanya; baik dari segi ekonomi, sosial, politik, dan sebagainya.
Dalam memaknai istilah kafir, Engineer merujuk pada QS. Al-Ma’un (107): 1-7 yaitu.
أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ . فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ . وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ . فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ , الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ . الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ . وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ
Artinya: “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Maka itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai terhadap salatnya, yang berbuat riya’, dan enggan (memberikan) bantuan.” (QS. Al-Ma’un: 1-7).
Menurut Engineer, ayat di atas mengisyaratkan bahwa agama yang di dalamnya syarat akan keimanan haruslah memiliki perhatian lebih terhadap realitas sosial di sekitarnya. Parameter keimanan seseorang diukur sejauh-mana kepeduliannya pada persoalan sosial kemasyarakatan.
Semakin tinggi tingkat kepeduliannya, maka kualitas keimanannya juga semakin tinggi. Membantu orang-orang miskin serta menjaga anak-anak yatim adalah salah satu dari sifat orang yang beriman.
Akan tetapi, apabila ia tidak memperjuangkan masyarakat yang tertindas dan lemah terutama ekonomi, menurut Engineer tidak layak dikategorikan sebagai orang beriman kendati sudah beriman secara verbal.
Dari sini jelas bahwa kafir dalam pemikiran Asghar Ali Engineer bukan mereka yang sekadar ingkar (tidak beriman secara formal) kepada Allah dan Rasul-Nya serta ajaran-ajaran-Nya, tapi orang yang tidak peduli terhadap kelompok tertindas, ketidakadilan sosial, ekonomi, politik dan lain-lain yang dikategorikan sebagai orang kafir.
Artinya, istilah kafir dalam pemikiran Engineer bersifat transformatif yang tidak berkutat pada sekadar tataran ukhrawi (akhirat), melainkan menjamah realitas kehidupan (duniawi) umat manusia. Wallahu A’lam
By: Saidun Fiddaraini, Alumnus Pesantren Nurul Jadid, Paiton, kini mengajar di Pesantren Zainul Huda, Arjasa Sumenep. Minat pada kajian keislaman dan filsafat.