Suatu waktu, sebagian dari mereka ahli hikmah berkata: “sungguh aku heran terhadap orang yang sudah tahu bahwa kematian benar nyata dan terjadi, mereka masih bergembira padahalah sudah tahu bahwa api neraka benar adanya, bagaimana mungkin mereka bisa tenang dan tertawa?”
Bahkan, lanjut sang ahli hikmah, “mereka juga tahu bahwa dunia terus menerus berubah namun mereka tetap saja mencintai dunia, lalu bagaimana mereka bisa merasa tenang? Mereka juga tahu akan ketentuan dan takdir (takdir dalam hal segala sudah ditentukan ukurannya) Allah SWT, namun mereka tetap saja berpayah-payah dan mengejar dunia sebanyak-banyaknya.”
Gus Ulil menegaskan, sudah tau kalau dunia diselimuti rasa keanehan, tetapi mengapa masih ada orang yang tenang-tenang saja. Tak hanya itu, lanjut Gus Ulil, bahkan mereka percaya bahwa semuanya sudah diatur oleh takdir (ditentukan Allah SWT), tapi mengapa masih ngoyo untuk meraihnya.
Di ceritakan, bahwa ada seorang laki-laki dari daerah Najran (salah satu kota yang banyak di dominasi orang-orang Kristen) berusia 200 tahun mendatangi raja Muawiyah, lalu raja bertanya kepadanya, “bagaimana pendapatmu tentang dunia, mengingat umur kamu sudah 200 tahun?”
Ia kemudian menjawab, “sebentar-sebentar datang cobaan, sebentar-sebentar datang kesenangan. Umur berkurang sehari demi sehari, dan semalam demi semalam, dan di lahirkan seorang anak, dan mati orang yang mati. Andaikan tidak ada orang yang dilahirkan, maka akan punah dunia ini. Dan andaikan tidak ada yang orang mati, maka akan sempit dunia.”
Karena takjub dan merasa puas mendengar jawaban lelaki tua itu, sang raja akhirnya berkata, “kamu sekarang mau minta apa?” Lelaki tua menjawab, “iya. Aku minta satu hal, bisakah engkau kembalikan umurku yang sudah lalu agar aku bisa mencegah kematianku.” Raja menjawab, “aku tiada mampu soal itu.” Lelaki tua menjawab lagi, “aku tidak butuh yang lainnya. Aku hanya ingin umurku kembali.”
Berkata Imam Dawud At-Tha’i, “wahai anak cucu Adam! Bergembiralah engkau karena sudah mencapai angan-anganmu. Engkau tidak sadar bahwa dengan tercapainya angan-anganmu, engkau telah menghabiskan umurmu. Dan kamu tunda untuk amal-amalmu seolah-olah amal itu berguna untuk orang lain, bukan buat kamu.”
Memang tidak bisa dipungkiri, saat sudah mencapai tujuan dan harapan (cita-cita), manusia sering kali lupa bahwa umurnya juga telah berkurang dan mendekati kematian. Ia terlena dengan kemegahan-kemegahan isi dunia. Bukan berarti, kata Gus Ulil, ini adalah larangan untuk mencari dan menggapai dunia. Tidak. Boleh saja kita hidup dalam mencapai goal, tetapi harus tetap diimbangi dengan kesadaran-kesadaran.
Berkata Imam Ibn Harits, “barang siapa yang meminta kepada Allah SWT akan dunia, maka orang itu sesungguhnya meminta panjangnya berdiri kelak di padang mahsyar (menunggu hisab).” Dengan kata lain, jika kita berdoa meminta kekayaan kepada Allah SWT, maka sebetulnya kita meminta suatu kesusahan. Kenapa demikian? Karena semakin banyak harta, maka seseorang pasti berada dalam kesibukan. Dan tanggung jawabnya juga menjadi banyak.
Penting juga dicatat, bahwa sering kita melihat dan mendengar ada orang yang hidup dengan penuh kemewahan, rezeki melimpah, tak pernah celaka dan senantiasa sehat, padahal hidupnya sangatlah jauh dari Allah dan akrab dengan kemaksiatan. Tentu saja, kita jangan takjub dan heran, justru harusnya berhati-hati mungkin saja mereka di golongkan sebagai orang istidraj.
Kita tahu, istidraj dalam Islam adalah tipuan yang diberikan oleh Allah kepada orang-orang yang membangkang terhadap-Nya. Dalam hal ini, Allah mengabulkan segala keinginan manusia dengan membukakan pintu-pintu kesenangan, bahwa hal itu sebenarnya adalah kehancuran, kenistaan, dan kesengsaraan baginya. Hanya saja ia tidak merasa.
Jelasnya, istidraj adalah, suatu jebakan berupa kelapangan rezeki padahal yang diberi dalam keadaan terus menerus bermaksiat pada Allah (ia menganggap enteng perintah-perintah Allah), namun Allah tetap memberikan mereka harta yang berlimpah, kesenangan, hidup aman, tidak sakit dan tidak pula tertimpa musibah. Namun, di akhirat kelak bersiaplah untuk menerima balasan siksa-siksa.
Berkata Imam Abu Hazim, “tidak ada di dalam dunia ini yang bisa menggembirakan dirimu, kecuali karena hal gembira itu juga melekat hal yang membikin sedih dan susah.” Berkata Imam Hasan Al-Basri, “tidak keluar nyawanya anak cucu Adam dari dunia ini, kecuali kalau kematiannya meninggalkan tiga penyesalan, yaitu dirinya tidak kenyang terhadap hal-hal yang dikumpulkannya, dirinya gagal mencapai hal-hal yang diinginkannya (selalu merasa kurang), dan tidak menyiapkan bekal untuk dirinya setelah mati.”
Manusia tidak akan pernah dengan kehidupan di dunia. Sekiranya keinginan A sudah terpenuhi dan tercapai, sudah pasti dia akan mengejar untuk menginginkan B. Akhirnya, karena selalu mengejar keinginan-keinginan duniawi, maka dia tidak mempunyai waktu untuk bersiap-siap membekali dirinya kelak di akhirat.
Dan berkata Imam Abu Sulaiman Ad-Dharani (salah satu tokoh sufi besar abad ke-2 yang tinggal di Damaskus), “tidak akan bisa sabar terhadap godaan-godaan dunia, kecuali orang yang dalam hatinya sibuk dalam mengejar dunia akhirat.” Pendek kata, kita harus sadar bahwa akan ada kehidupan kelak di hari akhirat. Sehingga dengan demikian, kata Gus Ulil, kita tidak menghabiskan seluruh perhatian fokus kehidupan kita kepada kekayaan-kekayaan saja.
Malik bin Dinar berkata, “sudah jelas kita pasti cinta akan dunia, sehingga kita tidak saling mengingatkan untuk berbuat baik, dan tidak saling mengingatkan untuk memperbaiki diri. Dan Allah SWT tidak akan membiarkan keadaan buruk kita ini, sehingga cepat atau lambat pasti kita kena azab. Lalu bagaimana cara kita menghadapinya azab itu? Dan siksaan Allah seperti apa yang akan diturunkan kepada kita semua?”
Sangat betul, kata Gus Ulil, jika kita mencintai dunia kelewatan sehingga lupa daratan dan pertimbangan-pertimbangan non meterial, maka pasti akan terkena malapetaka yang dahsyat. Baik malapetakan lingkungan, sosial, kebudayaan, tak terkecuali malapetaka kejiwaan. Artinya, hidup di dunia jangan memaksimalkan seluruh daya dan upaya untuk mencari dunia.
Bukankah akhlak yang baik adalah menjaga diri agar berada di tengah-tengah antara dua titik ekstrem. Artinya, dua daya marah dan syahwat yang tertanam secara alami dalam diri manusia harus didampingi oleh dua daya pengendali, yaitu ilmu dan keadilan agar hidup menjadi stabil.
Benar apa kata Imam Abu Hazim, “bahwa dunia yang nilainya sedikit bisa membuat kita terlena dan terlupa dari akhirat yang amat banyak.” Sementara kata Imam Hasan Al-Basri, “hinakanlah kalian terhadap dunia! Karena demi Allah, tidaklah dunia ini lebih menjadi sumber kebahagiaan dari pada hal yang merendahkanmu.” Justru sebaliknya, kata Gus Ulil, begitu kita melepaskan akan kenikmatan dunia, maka dengan sendirinya akan timbul perasaan tenang dan damai. Dan inilah yang dilakukan para tokoh-tokoh sufi di awal Islam, tentu dengan berdasarkan pengalaman emperis.
Kemudian, Imam Hasan Al-Basri berkata lagi, “jika Allah SWT berkenan memberikan kebaikan kepada seorang hamba, maka Allah akan memberikan dunia kepadanya. Tetapi, kemudian Allah juga akan menahan dunia itu. Lalu jika dunia itu sudah habis, maka Allah akan mengasihnya lagi. Dan jika hamba tersebut orang yang rendah/remeh di dunia, maka Allah SWT akan membentangkan dunia seakan-akan tanpa batas (tidak berharga di mata Allah SWT).”
Berkata Imam Muhammad Ibn Al-Munkadir, “tidaklah engkau bernalar (mikir), jika sesungguhnya ada seseorang puasa setahun penuh dalam keadaan tidak pernah berbuka, dan menahan diri agar shalat malam tanpa putus untuk tahajjud, dan berderma dengan hartanya serta berjuang dalam jalan Allah SWT, dan juga menjauhi keharaman Allah SWT, hanya saja sesungguhnya orang tersebut di hari kiamat akan dibuka isi hatinya oleh Allah SWT, bahwa di dalam hatinya semula ia menganggap lebih besar nilai dunia dari pada akhirat, padahal sebenarnya bagi Allah SWT nilai akhiratlah yang lebih besar dari pada dunia. Maka siapakah dari kita yang ingin seperti orang itu keadaannya?”
Syahdan. Begitulah dunia. Dunia akan terus menggoda siapa saja yang berada di dalamnya. Dunia menawarkan sejuta kenikmatan yang dapat membuat manusia tergiur akan kelezatannya. Begitulah tipu daya dunia yang fana ini. Kemolekannya bisa memperkosa mata dahir dan batin manusia. Kita tidak menyadari bahwa kehidupan di dunia yang kita nikmati ini adalah setetes dari luas nikmat akhirat yang Allah SWT miliki dan berikan.
Sudah menjadi tabiat manusia bahwa ia tak pernah puas dengan apa yang saat ini dimilikinya (selalu saja ingin memiliki yang lebih dari sekedar yang dimilikinya). Pendek kata, akhirat adalah jalan kesendirian, sementara dunia adalah jalan ramai yang penuh kompetesi. Wallahu a’lam bisshawab.