Kita ketahui bersama bahwa pandangan akidah Asy’ariyah mengenai soal af’alullah (tindakan Tuhan) adalah bahwa semua tindakan Tuhan sifatnya jaiz (boleh). Dalam hal ini Tuhan tidak wajib melakukan sesuatu apapun.
Kalaupun pada akhirnya Tuhan melakukan sesuatu, maka itu sudah pasti muncul dari iradah (kehendak) dan otonomi mutlak Tuhan; tidak ada pihak ketiga yang memaksakan kehendak kepada Tuhan.
Syahdan. “Al-ghaltah” atau kekeliruan sesat pikir bisa menimpa kepada siapapun, termasuk dalam hal ketika berpikir mengenai tindakan-tindakan Tuhan. Ada orang-orang yang berkesimpulan bahwa Tuhan wajib melakukan ini dan itu seperti, Tuhan wajib mengganjar makhluknya yang sudah taat beribadah dengan surga. Tentu saja, kata Gus Ulil, pendapat-pendapat seperti ini muncul akibat karena kesalahan dalam berpikir.
Sekedar mengulas hasil pengajian sebelumnya bahwa kata Al-Ghazali sesat pikir itu terbagi menjadi tiga. Pertama adalah kesesatan karena orang seringkali menilai sesuatu berdasarkan penilaiannya sendiri tanpa memperhitungkan pendapat orang lain (adam al-iltifat ila al-ghair).
Misalnya, ada orang yang mengatakan bahwa durian itu adalah buah yang mutlak baik (karena ia suka durian), padahal tak semua orang menyukai durian. Jelasnya, kesalahan sesat pikir pertama adalah karena seseorang memutlakkan pendapatnya sendiri.
Kedua adalah orang sering memutlakkan sesuatu tanpa melihat bahwa ada keadaan-keadaan lain di mana sesuatu itu mempunyai status yang berbeda. Misalnya, ada orang yang berpendapat bahwa hujan itu pasti baik.
Tentu saja ini tidak benar, kata Gus Ulil. Sebab, tak selamanya hujan baik dalam semua keadaan. Artinya, ada satu keadaan di mana hujan justru menimbulkan bencana seperti banjir dan lainnya.
Contoh lain, kekayaan itu pasti baik dan menimbulkan mashalat. Iya memang bisa menimbulkan maslahat. Akan tetapi, ada keadaan-keadaan lain di mana kekayaan atau uang justru bisa menimbulkan madharat atau kesengsaraan.
Jelasnya, sesat pikir kedua terjadi karena seseorang sering memutlakkan penilaian yang didasarkan pada keadaan tertentu tanpa melihat keadaan-keadaan khusus di mana penilaiaanya dia tidak berlaku pada keadaan khusus.
Ketiga adalah seseorang sering mengambil kesimpulan dan sementara kesimpulan itu salah. Ia mengambil kesimpulan secara melompat dan gegabah. Ia juga menilai sesuatu berdasarkan adanya koinsidensi (terjadinya dua peristiwa dalam waktu yang sama). Sehingga mereka menyimpulkan bahwa dua peristiwa atau keadaan itu saling terikat oleh hubungan kausalitas.
Karena setiap pagi hari ayam selalu berkokok, maka ia berkesimpulan, jika ayam berkokok maka itu sudah menunjukkan pagi dan terbitnya matahari (kokoknya ayam disebabkan oleh fajar). Tentu antara keduanya kokok ayam dan terbitnya fajar tidak ada hubungan kausalitas.
Contoh lain ada orang yang pernah dipatuk ular. Saking traumanya, ketika ia melihat tali dan warnanya menyerupai ular ia langsung ketakutan. Kenapa ketakutan? Karena ia menghubungkan dan mengasosiasikan antara tali dengan ular; seakan-akan tali itu ular.
Sama seperti orang yang tidak mau makan belut karena dianggap menyerupai ular. Artinya, ia menilai sesuatu karena asosiasi dengan sesuatu yang lain. Padahal antara belut dan ular jelas berbeda.
Demikian juga orang melihat warna makanan kuning lalu teringat kotoran manusia, maka sudah pasti tidak akan mau makan oleh sebab asosiasi warna kuning. Padahal tidak kaitan antara warna kuning dengan kotoran manusia.
Jelasnya, kesalahan sesat pikir yang ketiga adalah karena seseorang sering menghubung-hubungkan sesuatu dengan sesuatu lain yang tidak memiliki hubungan apapun, lalu dihubungkan dan menyimpulkan (sabqul wahmi ila al-aksi).
Sesat pikir karena asosiasi
Al-Ghazali mengatakan bahwa sesat pikir seperti ini tidak terjadi kepada orang awam saja, melainkan bisa terjadi kepada siapapun. Misalnya terjadi kepada seorang Profesor, Doktor dan bahkan bisa terjadi kepada orang yang seolah-olah punya gelar keilmuan (al-mutarassimun bi al-ilm).
Kenapa kesesatan berpikir bisa terjadi kepada mereka? Karena mereka sukanya hanya taklid (ikut-ikutan) dan perilakunya juga sama dengan orang-orang awam. Seolah-olah berpendapat melalui satu argumen, akan tetapi argumennya hanya meniru orang lain, bukan argumen yang datang dari pikiran sendiri.
Ia. Yang mereka cari bukanlah suatu kebenaran, melainkan membenar-benarkan pendapat orang lain atau mazhab yang ia ikuti secara turun-temurun. Artinya, mereka hanya besandar di bawah ketiak pendapat orang lain.
Karena itu, jika dalam satu forum diskusi mereka menjumpai orang-orang yang berdalil dan sesuai dengan mazhab yang ikuti, ia akan berteriak menyanjungnya,“Nah ini baru pendapat yang benar.”
Akan tetapi, sebaliknya, jika orang yang berdalil itu tidak sesuai dengan mazhabnya, ia akan mengatakan, “Oh ini dalilnya tidak benar.” Intinya, ia selalu mengagungkan mazhabnya sendiri dan akan berusaha mencari tafsir yang sesuai dengan mazhabnya. Bahkan, ia tidak akan segan-segan untuk mencaci-maki mereka yang tidak mengikuti mazhab dan iktikadnya.
Kata Gus Ulil, proses berfikir seperti ini salah. Dan untuk memperoleh kebenaran berfikir yang benar, pertama Anda tidak boleh menjadikan sesuatu apapun sebagai pokok/referensi untuk menilai segalanya. Kedua, tidak boleh memulai berfikir dengan cara predisposisi tertentu, seperti Anda mempunyai akidah terlebih dahalu ya tidak bisa. Melainkan, mulailah seperti piring yang kosong. Ketiga, lihatlah dalilnya, apakah sesuai dengan ajaran guru Anda atau tidak.
Tak hanya itu, jika dalilnya sudah ketemu, lantas dalil itu menunjukkan apa? Setelah itu barulah simpulkan. Sesuatu yang disimpulkan dari dalil itulah kebenaran. Jelasnya, kebenaran itu muncul karena diderivasi dari dalil dan kemudian ditelaah. Inilah yang menjadi asal dan pokok untuk menilai yang lainnya.
Dari mana sumber kesesatan pikir ini?
Al-Ghazali mengatakan bahwa sumbernya berasal dari kebiasaan Anda berpatokan kepada satu mazhab tertentu tanpa melihat mazhab yang lain. Misalnya, ada orang fanatik kepada mazhab Syafii, lalu dengan lantangnya mengatakan apapun yang tidak sesuai dengan Syafiiyah dianggap salah.
Contoh lain, karena Anda sudah terbiasa hidup dan tumbuh dari tradisi NU sejak kecil, lalu dengan seenaknya mengatakan bahwa apapun yang dikatakan oleh kiai NU pasti benar, sementara yang lainnya salah (al-istihsanu wa al-istiqbahu bitaqaddum al-ilfi). Tentu saja berfikiri yang seperti ini salah. Sebab ia berfikirnya secara mekanik dan mengikuti kebiasaannya tanpa menelaahnya secara kritis dan mendalam. Wallahu a’lam bisshawab.