KeislamanNgaji Al-Iqtishad Fi Al-I’tiqad

Gus Ulil Ngaji Al-Iqtishad Fi Al-I’tiqad: Klaim Kelima Akidah Asy’ariyah tentang Tindakan Tuhan

2 Mins read

Pada klaim atau dakwaan kelima kaum Asy’ariyah mengatakan bahwa ketika Tuhan memberikan taklif (kewajiban) kepada hamba-hamba-Nya dan ia menaatinya, maka Tuhan tidak wajib memberikan pahala kepada hamba yang taat itu. Sekali lagi, tidak wajib.

Karena itu, kata Gus Ulil, Tuhan tidak mempunyai kewajiban memberikan pahala kepada orang-orang yang taat. Ini sekaligus memupus rasa besar hati dan arogansi orang-orang yang merasa taat (dan ibadah luar biasa) dan merasa dirinya harus diberikan pahala oleh Tuhan.

Jelasnya, Anda tidak bisa menghadapi Tuhan seperti layaknya Anda menghadapi negara dalam hal pajak. Jika Anda diwajibkan bayar pajak oleh negara dan membayarnya, maka otomatis Anda akan bilang, “Oh saya sudah bayar pajak! Tapi kenapa jalan ini masih bolong-bolong dan kami juga tidak mendapatkan apa-apa dari pajak yang kami bayarkan?”

Terhadap pemerintah atau negara, Anda bisa berlaku demikian. Dengan kata lain, kepada sesama makhluk tidak apa-apa berlagak seperti itu, namun tidak kepada Tuhan. Karena Tuhan tak seperti petugas pajak.

Itu sebabnya, Tuhan bisa saja mengganjar orang-orang yang taat jika berkehendak atau justru tidak mengganjarnya. Sama, Tuhan juga bisa memasukkan orang ahli maksiat ke dalam surga jika berkehendak. Tidak ada yang mustahil bagi Tuhan. Jelasnya, hamba tidak bisa menuntut apa pun terhadap Tuhan, karena Tuhan adalah raja di atas raja.

Kata Gus Ulil, jangan dibayangkan jika Anda melakukan kebaikan atau ibadah-ibadah lalu Tuhan berkewajiban untuk mengganjarnya. Tidak. Sebab, tindakan Tuhan mengganjar hamba-Nya bukan karena merespons kebaikan dan ketaatan hamba-Nya, melainkan karena tindakan ala sabil al-ibtida’ (inisiatifnya datang dari Tuhan, jadi bukan kewajiban).

Akidah seperti kelihatannya tidak ada kepastian hukum. Namun, jika Anda mendalaminya, sebetulnya sangat masuk akal. Karena pandangan ketuhanan seperti ini adalah pandangan ketuhanan yang lebih rasional.

Baca...  Perbandingan Tafsir Al Qummi dan Tafsir Al Mizan dalam Mazhab Syiah

Kenapa demikian? Pertama, dari aspek ketuhanannya, bahwa tindakannya Tuhan tidak seperti robot atau artificial intelligence (kecerdasan buatan), melainkan tindakannya bersifat jaiz (boleh). Tidak wajib, karena tidak ada yang bisa mewajibkan Tuhan. Dan Anda tahu bahwa ketika Tuhan bertindak, maka tindakannya tindakan merdeka, otonom, dan independen sepenuhnya.

Karena itu, jika Anda menggambarkan Tuhan seperti Dzat yang bertindak karena “prom” atau paksaan (merespons sesuatu), maka berarti Tuhan berada di bawah komando sesuatu yang lain. Yang jelas ini bukan Tuhan yang sesungguhnya, karena Tuhan yang sesungguhnya adalah Dzat yang bertindak secara independen.

Sementara itu dari aspek kehambaan, akidah Asy’ariyah ini membuat kita tidak merasa sombong. Misalnya, karena kita sudah melakukan kewajiban ini dan itu, maka Tuhan wajib mengganjarnya. Tidak.

“Oh saya ini sudah taat shalat lima waktu, ya Tuhan wajib dong memberikan surga.” Sekali lagi tidak. Inilah, kata Gus Ulil, yang bisa membuat iman menjadi rapuh. Jadi, pada akhirnya, manusia tidak bisa memiliki perasaan “menuntut” terhadap Tuhan karena sudah menaatinya.

Syahdan. Muktazilah tak tinggal diam. Ia kemudian bertanya kepada orang Asy’ariyah, “Jika Tuhan memberikan taklif kepada hamba-Nya dan Tuhan mampu mengganjar hamba-Nya, akan tetapi Tuhan tidak melakukannya, apakah itu tidak jelek?”

Pengikut akidah Asy’ariyah menjawab, “Jika kalian mengatakan itu jelek, lalu apakah tindakan Tuhan tidak mengenai sasaran? Bukankah ketika Tuhan bertindak tidak ada tujuan di balik tindakan-Nya, dan Tuha ketika bertindak bukan karena ada motivasi tujuan.”

Kata Gus Ulil, jika manusia mempunyai, maka Tuhan tidak mempunyai tujuan. Kenapa Tuhan tidak mempunyai tujuan? Jika Tuhan mempunyai tujuan dari tindakan-tindakan-Nya, maka otomatis Tuhan membutuhkan tujuan itu.

Baca...  Makna Takziyah Dalam Perspektif Islam

Dengan demikian, jika Anda membayangkan bahwa Tuhan bertindak A,B, dan C karena ingin mencapai tujuan tertentu, maka berarti Tuhan membutuhkan tujuan itu. Dan jika meleset mengenai tujuannya, maka Tuhan gagal dalam. Hal seperti ini, kata Gus Ulil, terjadi pada manusia saja, tetapi tidak dengan Tuhan.

Dari sini kiranya penting untuk dibedakan antara istilah hikmah dan garad. Jika hikmah adalah makna-makna di balik tindakan Tuhan, maka garad adalah tujuan yang bisa membuat seseorang tergantung kepada tujuan itu.

Ala kulli hal, begitulah tradisi ulama-ulama dahulu, selalu saling sangkal-menyangkal. Tentu saja ilmiah. Dan dari Muktazilah dan Asy’ariyah kita belajar bahwa debat (dialektika) adalah akar dari lahirnya ilmu-ilmu yang baru. Wallahu a’lam bisshawab.

90 posts

About author
Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo dan PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Penulis juga kontributor tetap di E-Harian Aula digital daily news Jatim.
Articles
Related posts
KeislamanPendidikan

Sumber Pengetahuan yang Sebenarnya

4 Mins read
Pada hakikatnya manusia sebagai mahkluk theomorfis mempunyai sesuatu yang agung didalam dirinya, yaitu akal—kehendak yang bebas (free will) dan kemampuan berbicara. Akal…
Keislaman

Muhammadiyah sebagai Gerakan Dakwah (Analisis Pemahaman Ayat-Ayat Dakwah Muhammadiyah)

1 Mins read
Pendahuluan Muhammadiyah merupakan gerakan Islam, dakwah amar ma’rûf nahi munkar, dan tajdîd (pembaruan) baik dalam arti purifikasi (pemurnian) dan dinamisasi (pengembangan) berlandaskan…
KeislamanSejarah

Peran Kesultanan Banten: Penyebaran Islam dan Perdagangan di Nusantara

4 Mins read
Kesultanan Banten berawal dari sebuah wilayah di bawah bayang-bayang kekuasaan kerajaan yang berada di Jawa Barat yaitu Padjajaran. Kerajaan ini memiliki pengaruh…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
Pendidikan

Membangun Generasi Berkarakter untuk Masa Depan yang Lebih Baik

Verified by MonsterInsights