Ditinjau dari segi bahasa, fitrah berarti: “ ciptaan, sifat tertentu yang mana setiap yang maujud disifati dengannya pada awal masa penciptaannya, sifat pembawaan manusia (yang ada sejak lahir), agama, as-sunnah”.[1] Menurut al-Kirmany, fitrah Islam berarti berada di jalan yang benar atau berada di jalan yang lurus.[2]
Fitrah dalam konteks Alqur’an merujuk pada kodrat atau sifat asli manusia yang suci dan sesuai dengan tujuan penciptaannya. Fitrah ini adalah sifat dasar yang ada dalam setiap manusia sejak lahir, yang mencakup kemampuan untuk mengenal Tuhan, keinginan untuk berbuat kebaikan, serta naluri untuk hidup dalam keharmonisan dan kebenaran. Dalam pandangan Islam, fitrah ini tidak terpengaruh oleh faktor luar seperti lingkungan atau pendidikan, meskipun hal tersebut dapat memengaruhi perkembangan diri manusia.
Beberapa ayat Alqur’an menyebutkan tentang fitrah ini, di antaranya:
- QS. Ar-Rum 30: 30, ayat ini menegaskan bahwa agama yang benar adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia, yaitu agama Islam, yang mengajarkan pengesaan Tuhan dan hidup dalam kebenaran.
- QS. As-Sajadah 32: 9, ayat ini juga bisa dihubungkan dengan fitrah dalam artian bahwa Allah menciptakan manusia dengan potensi dasar untuk memahami kebenaran dan keindahan dalam hidup.
Al-Raghib al-Asfahani ketika menjelaskan makna fitrah dari segi bahasa, dia mengungkapkan kalimat “fathara Allah al-khalq,” yang maksudnya Allah mewujudkan sesuatu dan menciptakannya bentuk/keadaan kemampuan untuk melakukan perbuatan-perbuatan. Sedangkan maksud fitrah Allah, sebagaimana dalam QS. Al- Rum ayat 30 adalah suatu kekuatan/daya untuk mengenal/mengakui Allah (keimanan kepada-Nya) yang menetap/menancap di dalam diri manusia.[3]
Fitrah dalam hadis merujuk pada kodrat alami manusia yang murni sesuai dengan tujuan penciptaan mereka. Beberapa hadis yang berkaitan dengan fitrah menunjukkan bagaimana fitrah manusia memengaruhi tindakan dan perilaku mereka, serta bagaimana Islam mengajarkan manusia untuk kembali kepada fitrah tersebut.
Adapun hadis-hadis yang menjelaskan konteks “fitrah” salah satunya dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, HR. Muslim, No. 2658, Rasulullah ﷺ bersabda dengan konteks bahwa setiap anak dilahirkan ke alam dunia dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanya lah yang menentukan apakah si anak ini akan menjadi seorang Yahudi, Nasrani atau Majusi. Dalam hadis ini para ahli bahasa menjelaskan bahwa fitrah itu adalah keimanannya kepada Allah, yang diakui ketika Allah mengeluarkannya dari punggung adam, sebagaimana tercantum dalam ayat QS. Al-‘A’raf ayat 172. [4]
Begitu juga hadis dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, Rasulullah ﷺ mencantumkan kata fitrah pada kalimat HR. Bukhari, No. 5889, bahwa ada 5 bagian yang menjadi fitrah pada manusia: pertama khitan, mencabut bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku dan memotong kumis.
Berkaitan dengan makna yang hampir sama, Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, Rasulullah ﷺ juga menyebutkan bahkan lebih dari jumlah fitrah sebelumnya, yaitu ada 10 macam fitrah HR. Muslim, No. 56, mencukur kumis, memanjangkan janggut, siwak, beristinsyaq (menghirup air ke hidung dalam berwudu), memotong kuku, mencuci persendian (barojim) sela jari/ketiak/telinga, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, intiqashul ma‘ (istinja’). Zakariya berkata, Mush’ab berkata, “Aku lupa yang kesepuluh, mungkin ia adalah berkumur.” Qutaibah menambahkan, Waki’ berkata, “Intiqashul ma’ yakni istinja’.
Pendapat ahli mazhab mengenai istinsyaq dan berkumur-kumur ada yang mengatakan sunnah dan wajib. Imam Ahmad, Syafii dan Maliki berkata istinsyaq dan berkumur-kumur sunnah dilakukan. Menurut Abu Hanifah keduanya wajib dilakukan ketika mandi junub namun sunnah dilakukan ketika berwudu sebagaimana dikatakan Imam yang lain.[5]
Dari konteks hadis yang menjelaskan 5 atau 10 fitrah manusia mengartikan bahwa fitrah adalah hal kemanusiaan yang setidaknya dilakukan untuk setiap manusia. Adapun macam – macam bentuknya beragam, namun sangat dianjurkan di dalam Islam untuk melakukannya. Menurut al-Khattabi bahkan dalam Islam semua kegiatan ini termasuk dalam ibadah yang bernilai sunnah. Beliau mengungkapkan bahwa ini merupakan aktivitas yang dilakukan para anbiya yang merupakan teladan bagi kita.
Orang yang memerintahkan pertama kali adalah Nabi Ibrahim sebagaimana firman Allah: (Ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan sempurna. Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin bagi seluruh manusia.” QS. Al-Baqarah 2:124. Allah menjadikan Nabi Ibrahim sebagai pemimpin manusia agar memberikan contoh dan mengikuti teladannya.[6]
Selain itu, Dari Saib bin Zaid, Rasulullah ﷺ bersabda dalam HR. Daruquthni. [7] Hadis ini seolah memberi pesan bahwa setiap manusia penting untuk menjaga keadaannya yang fitrah. Pesan Rasulullah ﷺ bahwa ummatku tetap dalam keadaan fitrah selama mengerjakan salat maghrib tidak pada malam hari (ketika bintang sejajar).
Maksud dari fitrah menurut Ibnul Qayyim[8] adalah sunnah. Berarti jika fitrah memberikan penjelasan mengenai kegiatan seperti yang disebutkan dari ciri-ciri fitrah, maka kegiatan itu sunnah dikerjakan. Sedangkan Ibnu Katsir menjelaskan bahwa fitrah adalah kodrat alami yang diciptakan Allah dalam diri setiap manusia, yang menuntun mereka kepada pengakuan terhadap Tuhan mereka.[9] Walaupun pada akhirnya manusia akan bergantung pada keadaan orang tuanya, apakah dia akan menjadi seorang Yahudi, Nasrani atau Majusi. Demikian fitrah diartikan sebagai keadaan bersih dan cenderung kepada Islam sebagai agama yang benar[10]
Manusia telah diberi karunia berupa alat indrawi pada dirinya. Masing – masing alat itu saling berkaitan dan melengkapi dalam mencapai ilmu. Alat-alat tersebut adalah sebagai berikut.
- Al-Lams Dan Al-Syum (alat peraba dan alat pencium/pembau).
- Al-Sam’u (alat pendengaran)
- Al-Abshar (penglihatan).
- Al-‘Aql (akal atau daya berpikir).
- Al-Qalb (kalbu).[11]
Prof. Dr. Abdul Mujib mengutip dari Imam al-Qurtubi mengartikan fitrah jika dikorelasikan dengan kalimat lain, mempunyai banyak makna diantaranya suci (althuhr) [12]. Maksud suci disini bukan berarti kosong atau netral (kecenderungan baik buruk), melainkan kesucian psikis yang terbebas dari dosa warisan dan penyakit rohani. Fitrah juga dapat berarti potensi berislam (al-din Al-islamiy) dengan makna bahwa fitrah berarti beragama Islam atau mengakui keesaan Allah (Tauhid Allah).
Namun potensi ini dapat berubah menjadi sesuatu yang negatif tergantung pada faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan potensi manusia. Hal ini didasarkan pada keterangan dari sabda Nabi ﷺ bahwa tidak ada seorang anak pun yang lahir, kecuali di atas dasar fitrah (Islam). Kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi. (HR. Bukhari dan Muslim)
Menurut Ibnu Ruslan menafsirkan hadis “Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah” berkaitan dengan ayat yang berbunyi “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab, ”Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi, QS. Al-A’raf 7: 172.
Maka setiap anak manusia ketika berada di dalam alam ruh sudah bersaksi bahwa mereka telah mengakui keberadaan Tuhan.[13] Keberadaan faktual setiap manusia mengakui keberadaan Tuhan, walaupun mereka memilih beragam cara dan agama yang ada di dunia.
Beberapa hikmah dari fitrah adalah salah satunya sabda Rasulullah ﷺ: bahwa setiap anak-anak yang meninggal mereka semua dalam keadaan fitrah, kemudian berkata sebagian muslimin, Wahai Rasulullah ﷺ apakah termasuk juga anak-anak kaum Musyrikin? Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Begitu juga anak-anak kaum Musyrikin, sebagian mereka ada yang baik dan buruk, karena mereka adalah kaum yang suka mencampuradukkan hak dan batil, kemudian Allah mengampuni mereka.[14] Walaupun keadaan orang tua nya tidak beriman karena anak mereka masih dalam fitrah Islam[15], maka mereka termasuk ke dalam bagian orang yang beriman kepada Allah.
Berkaitan dengan ini pernah suatu ketika Khadijah bertanya kepada Rasulullah ﷺ, dari Aisyah: “Dia bertanya mengenai anak-anak kaum Musyrikin, kemudian menjawab, mereka bersama dengan ayah mereka. Kemudian bertanya setelah itu, Rasulullah ﷺ menjawab ‘Allah tahu apa yang mereka lakukan.’ Setelah itu bertanya kembali Khadijah terkait dengan makna fitroh, kemudian turun ayat yang menyebutkan orang yang dosa tidak akan memikul dosa kepada orang lain, QS. An-Najm 53: 38. Kemudian berkata Rasulullah ﷺ mereka dalam keadaan fitrah atau mereka berada di dalam Syurga.
Selain itu hadis riwayat Anas bin Malik juga menyatakan bahwa beliau berdoa kepada Allah agar keturunannya tidak seorang pun berkeadaan sebagai kafir. Kemudian berkaitan dengan kematian anak – anak kaum musyrikin apabila meninggal Rasulullah ﷺ bersabda nanti di Syurga bayi-bayi kaum Musyrikin menjadi pelayan bagi penghuni Syurga.[16]
Pentingnya fitrah pada seseorang mengaitkan dengan keberadaannya di akhirat apakah dia seorang muslim yang percaya bahwa Tiada Tuhan selain Allah. Suatu ketika Huzaifah melihat orang yang tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya, kemudian beliau mengecam kepadanya dengan perkataan “Jika kamu melakukan demikian, kamu akan mati dalam keadaan selain fitrah.”[17]
Tatkala Rasulullah ﷺ memilih antara susu dan khamar yang ditawarkan oleh Malaikat Jibril a.s. ketika Isra Mi’raj, Rasulullah ﷺ memilih susu. Seketika itu Malaikat Jibril a.s. mengatakan “Engkau telah memilih yang fitroh, jika memilih minuman keras (miras) maka umatmu akan tersesat.”[18] Ketika Malaikat Jibril menawarkan dua jenis minuman, susu dan khamar, merupakan isyarat secara simbolis bahwa Islam adalah agama fitroh. Yakni, agama yang akidah dan seluruh hukumnya sesuai dengan tuntunan fitroh manusia. Di dalam Islam, tidak ada sesuatu pun yang bertentangan dengan tabiat manusia. Sedangkan pemberian susu ini diibaratkan keadaannya murni, baik dan enak untuk diminum.[19]
Kesimpulan
Setelah mengkaji beberapa aspek mengenai prespektif Islam tentang urgensi dan makna fitrah, disimpulkan bahwa fitrah menggambarkan kondisi alami manusia saat dilahirkan, penuh dengan kesucian dan kebaikan. Setiap individu lahir dengan potensi yang tertanam untuk mengenal dan beribadah kepada Allah, serta kecenderungan alami menuju kebenaran.
Meskipun lingkungan dan pendidikan dapat mempengaruhi perkembangan ini, fitrah tetap menjadi pondasi dasar yang mengarahkan manusia untuk mencari makna hidup dan berbuat baik. Dengan demikian, penting bagi setiap orang tua dan pendidik untuk menjaga dan membimbing fitrah ini melalui nilai-nilai dan ajaran Islam yang benar.
Fitrah juga memiliki urgensi yang sangat penting dalam perspektif Islam karena merupakan fondasi spiritual dan moral seorang Muslim. Fitrah menanamkan kesadaran alami tentang keberadaan Allah dan kecenderungan untuk beribadah kepada-Nya, serta berbuat baik dan menghindari perbuatan yang merugikan.
Pengakuan universal akan kebenaran dan naluri untuk mencari makna hidup juga berasal dari fitrah. Fitrah menjadi dasar dalam pendidikan Islam, membantu membentuk identitas Muslim yang kuat dengan nilai-nilai keislaman yang tertanam sejak kecil. Oleh karena itu, menjaga dan memelihara fitrah yang murni sangat penting untuk mencapai kebahagiaan sejati dan keselamatan di dunia maupun akhirat.[20]
DAFTAR PUSTAKA
[1] Louwis Ma’luf, Al Munjid Fi Al Lughah Wa Al A’laam (Beirut: Dar el Masyriq, 1986), hlm. 588.
[2] al-Kirmany, Al-Kawakib Al-Darari Fi Syarh Shahih Al-Bukhari (Lebanon: Dar al-Ihya al-Turos al-‘Araby, 1981), hlm. 185.
[3] Ar Raghib Al Isfahani, Mu’jamul Mufradat Li Alfadz Al Qur’an (Beirut: Dar al-Masyriq, n.d.), hlm. 396.
[4] Ibn Attar, Al-Iddah Fi Sharh Al-Umdah Fi Hadits Al-Ahkam (Lebanon: Dar al-Basyair al-Islamiyyah, 2006), hlm. 191.
[5] Ibn al-Jauzi, Kasyfu Al-Musykil Min Hadits as-Shahihaini (Riyadh: Dar al-Waton, n.d.), hlm. 396.
[6] an-Nawawi, Al-Ijaaz Fi Syarh Sunan Abi Daud Al-Sijistani (al-Ardan: al-Dar al-Atsriyyah, 2007), hlm. 234.
[7] Mughalṭāy ibn Qalīj, Al-Ilan Bi Sunnatihi ’alaihi as-Salaam Syarh Ibnu Majah (al-Mamlakat al-’Arabiyyah as-Sa’udiyyah: Maktabah Nizar Musthafa, 1999), hlm. 1027.
[8] Ibnu al-Qayyim, Tuhfatul Maudud Bi Ahkamil Maulud (Damaskus: Dar al-Bayan, 1971), hlm. 103.
[9] Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Azim (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), hlm. 142-145.
[10] At-Tabari, Jami’ Al-Bayan (Beirut: Dar al-Ma’arifah, 2001), hlm. 300-303.
[11] Jalal Abdul Fatah, Min Ushuli Tarbawiyah Fil Islam (Mesir: Dar al-Kutub, 1977), hlm. 103-110.
[12] al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthuby (Mesir: Dar al-Sa’ab, n.d.).
[13] Ibnu Ruslan, Syarah Sunan Abi Daud (Mesir: Dar al-Falah, 2016), hlm. 282.
[14] Badruddin Ad-Damamni, Mashobihu Al-Jami’ (Suriah: Dar al-Nawadir, 2009), hlm. 74.
[15] Ibnu al-Mulqin, Al-Taridh Li Sharh Al-Jami’ Al-Sahih (Suriah: Dar al-Nawadir, 2008), hlm. 261.
[16] al-Iraqi, Ṭarḥ Al-Tathrīb Fī Sharḥ Al-Taqrīb (Arab: Dar Ibn al-Jauzi, 2017), hlm. 232.
[17] Ibn Rajab al-Hambali, Fathul Baari Syarh Shahih Al-Bukhari (Madinah: Maktabah al-Ghuraba, 1996), hlm. 159.
[18] Madzhar al-Zaydani, Al-Mafatih Fi Syarh Al-Mashabih (Kuwait: Dar al-Nawadir, 2012), hlm. 69.
[19] an-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim (Beirut: Dar al-Ihya al-Turos al-‘Araby, n.d.), hlm. 212.
[20] Sayyid Qutb, Milestones (Cairo: International Islamic Federation of Student Organizations, 1997), hlm. 54.