“Naik itu sulit, turun itu mudah.” Pepatah ini tidak hanya berlaku dalam dunia fisika, tetapi juga dalam perjalanan ruhani seorang Muslim. Dalam Islam, iman bukanlah sesuatu yang tetap; ia mengalami naik dan turun sesuai dengan amal, lingkungan, dan kondisi jiwa seseorang.
Nabi Muhammad ﷺ sendiri mengakui kenyataan ini dalam salah satu hadisnya yang masyhur saat menanggapi keresahan sahabat Hanzhalah. Artikel ini menyajikan sebuah kajian reflektif dan interdisipliner, menelusuri dinamika naik-turunnya iman melalui perspektif Islam klasik (hadis dan tafsir), psikologi modern, hingga wawasan budaya dan keilmuan kontemporer.
Tujuannya adalah memberikan pemahaman yang utuh serta solusi agar setiap Muslim, bagaimana menjaga konsistensi agar mampu menjaga kestabilan imannya, terutama dalam zaman yang penuh distraksi ini.
Iman Naik-Turun dalam Perspektif Hadis dan Tafsir
Rasulullah ﷺ bersabda saat Hanzhalah mengeluhkan perasaannya:
“سَاعَةً وَسَاعَةً”
“Sesungguhnya (iman itu) ada waktunya begini dan waktunya begitu.” (HR. Muslim No. 2750)
Hadis ini bukan hanya menenangkan, namun menjadi pengakuan akan realitas hidup manusia yang tidak bisa terus berada dalam kondisi spiritual puncak. Dalam Syarah Muslim, Imam Nawawi menjelaskan bahwa sabda Nabi ini menandakan keringanan dalam agama dan pemahaman terhadap kodrat manusia. Imam Ibnu Taimiyah dalam Majmū‘ al-Fatāwā menegaskan:
الإيمان قول وعمل، يزيد بالطاعة، وينقص بالمعصية
“Iman adalah ucapan dan perbuatan, ia bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena maksiat.” (Jilid 7, hlm. 638)
Artinya, iman bersifat dinamis, bukan tetap. Dalam QS. Al-Anfāl: 2 disebutkan bahwa ciri orang beriman adalah hatinya bergetar ketika disebut nama Allah. Ini menunjukkan iman yang hidup, bukan mati. Kenaikan iman ditandai dengan kepekaan batin terhadap perintah dan larangan Allah, sementara kemundurannya ditandai dengan ketidakpedulian terhadap maksiat dan kebaikan.
Mengapa Naik Lebih Sulit daripada Turun?
Secara logika fisika, menaiki bukit memerlukan energi lebih besar dibandingkan menuruni lembah. Dalam spiritualitas pun demikian. Meningkatkan iman memerlukan disiplin, mujahadah, dan komitmen yang berkelanjutan. Turun? Cukup biarkan diri hanyut dalam godaan dan lalai dari dzikir. Maka tidak heran jika Rasulullah ﷺ menyebut jihad melawan hawa nafsu sebagai jihad terbesar.
Dalam psikologi modern, Abraham Maslow menyatakan bahwa manusia hanya bisa mencapai aktualisasi diri jika kebutuhan dasarnya terpenuhi. Spiritualitas adalah puncak dari kebutuhan batin. Seseorang tidak akan mampu bertahan dalam pendakian spiritual jika kondisi dasar dirinya tidak stabil secara emosional dan sosial. Carl Jung pun mengakui bahwa untuk mencapai kedewasaan spiritual, seseorang harus berdamai dengan “bayangannya”—yakni sisi gelap dalam diri. Ini selaras dengan konsep tazkiyah an-nafs dalam Islam, yaitu proses penyucian jiwa dari sifat-sifat tercela agar dapat mendaki tangga iman dengan ringan dan ikhlas.
Peran Budaya dan Lingkungan dalam Naik-Turunnya Iman
Kondisi sosial dan budaya sangat memengaruhi stabilitas iman. Dalam budaya konsumtif, seseorang bisa merasa tidak puas meski sudah memiliki banyak hal. Inilah yang menyebabkan manusia mudah mengalami kekosongan spiritual. Imam al-Ghazali dalam Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn menyatakan bahwa dunia adalah tipuan besar (ghurur), dan hanya dengan menyucikan jiwa (tazkiyatun nafs), seseorang dapat menembus tirai tersebut.
Lebih dari sekadar pengaruh ekonomi, budaya juga membentuk pola pikir dan nilai hidup. Budaya yang menyanjung popularitas, kekayaan, dan kesenangan instan membuat iman sulit tumbuh. Oleh karena itu, Muslim perlu membangun budaya tandingan berbasis nilai-nilai tauhid, kesederhanaan, dan tanggung jawab.
Erich Fromm dalam The Art of Loving menegaskan bahwa cinta kepada Tuhan adalah latihan mental dan emosional yang panjang. Iman bukan sekadar keyakinan, tetapi tindakan dan pilihan sadar setiap hari. Maka iman tidak tumbuh dalam ruang kosong; ia membutuhkan lingkungan sosial, budaya, dan spiritual yang sehat dan suportif.
Menjaga Keseimbangan: Solusi agar Tidak Terlalu Jatuh atau Terlalu Berat Mendaki
Rasulullah ﷺ bersabda:
“أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ”
“Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang paling konsisten meskipun sedikit.” (HR. Bukhari No. 6465)
Hadis ini memberikan prinsip penting: keberlangsungan lebih utama daripada kuantitas. Dalam konteks menjaga iman, ini berarti bahwa amalan kecil namun istiqamah lebih efektif dalam menjaga kestabilan ruhani dibanding amalan besar namun sesekali.
Beberapa strategi praktis antara lain: amal harian yang realistis seperti membaca satu halaman Al-Qur’an setiap hari, shalat sunnah dua rakaat sebelum subuh, atau sedekah kecil setiap pekan. Membangun komunitas positif juga penting karena lingkungan berperan besar dalam mempertahankan semangat dan nilai-nilai iman.
Muroja’ah ilmu agama melalui menghadiri majelis ilmu atau mengikuti kajian daring secara rutin dapat membantu menjaga kesadaran spiritual. Mengevaluasi diri secara berkala seperti merenungi kondisi hati dan menulis jurnal ruhani bisa menjadi sarana muhasabah. Ibnu Qayyim dalam Madarij al-Sālikīn berkata:
“Istiqamah itu lebih berat dari seribu karamah.”
Karena istiqamah adalah bukti nyata bahwa seseorang tetap dalam jalan Allah meski tidak melihat hasil instan atau keajaiban langsung.
Dengan demikian, dinamika naik-turunnya iman merupakan cerminan dari fitrah manusia sebagai makhluk yang tidak sempurna. Perjuangan menaiki tangga iman memang berat karena menuntut kesadaran, latihan, dan keikhlasan yang terus-menerus, sementara penurunan iman bisa terjadi secara halus saat seseorang mulai lengah dan abai terhadap nilai-nilai ruhani.
Melalui pemahaman lintas disiplin yang telah diuraikan, kita memahami bahwa menjaga kestabilan iman membutuhkan ikhtiar dari berbagai sisi: ilmu, amal, lingkungan, hingga kebiasaan harian. Semoga kita semua senantiasa diberi kekuatan untuk terus bertahan dalam pendakian ini, tidak tergelincir terlalu jauh saat menurun, dan tetap istiqamah menapaki jalan menuju ridha Allah ﷻ.