Pendahuluan
Fenomena quiet quitting mencuat sebagai salah satu dinamika hangat dalam dunia ketenagakerjaan modern. Secara makna, tidak berarti seseorang resign dari pekerjaannya, melainkan merujuk pada sikap bekerja yang hanya ala kadarnya tanpa melibatkan emosional, kreativitas, ataupun inisiatif tambahan. Biasanya tren ini dianggap sebagai respon terhadap kontrak kerja yang kurang efisien, tidak seimbangnya antara tuntutan dan kompensasi, serta hilangnya gairah bekerja itu sendiri. Terutama dalam konteks ekonomi digital dan budaya kerja yang serba cepat, quiet quitting mencerminkan krisis etos kerja yang lebih buruk daripada sekedar malas atau kurang komitmen.
Dalam kajian Qur’anicprenuer, etos kerja tidak hanya dipahami sebagai disiplin dan produktif, tetapi juga sebagai ekspresi nilai jiwa yang menghubungkan seseorang dengan amanah profesionalnya dalam bekerja. Kisah nabi Yusuf dalam al-Qur’an menjadi salah satu narasi yang begitu lengkap menggambarkan profesionalitas, integritas, serta manajemen yang selaras dengan nilai ihsan. Nabi Yusuf menunjukkan bahwa bekerja itu maknanya tidak boleh lahir dari paksaan, melainkan harus sadar kapasitas diri, tanggung jawab, dan kejujuran dalam menjalankan tugas.
Memahami quiet quitting melalui prespektif QS. Yusuf akan memunculkan pemahaman yang lebih seimbang antara kebutuhan manusia modern akan Kesehatan mentalnya dan prinsip-prinsip etos kerja menurut al-Qur’an. Essai ini berupaya menghubungkan fenomena quiet quitting dengan karakter kerja Nabi Yusuf sebagai model untuk dunia usaha masa kini, termasuk sektor UMKM yang membutuhkan landasan nilai yang kuat dalam mempertahankan kualitas dan kesuksesan usahanya.
Pembahasan
Kisah Nabi Yusuf merupakan salah satu teladan dalam etos kerja yang komprehensif dalam al-Qur’an. Narasi ini tidak hanya menggambarkan perjalanan pribadi yang penuh ujian, tetapi juga menampilkan sikap profesional, kecerdasan manajemen, dan keteguhan jiwa yang dapat dijadikan contoh dalam memahami tantangan etos kerja di era modern, termasuk fenomena quiet quitting. Ayat yang sangat representative mengenai etika kerja Nabi Yusuf terdapat dalam QS. Yusuf: 55,
قَالَ اجْعَلْنِيْ عَلٰى خَزَاۤىِٕنِ الْاَرْضِۚ اِنِّيْ حَفِيْظٌ عَلِيْمٌ ٥٥
“Dia (Yusuf) berkata, “Jadikanlah aku pengelola perbendaharaan negeri (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga (amanah) lagi sangat berpengetahuan.”
Dalam Tafsir Al-Mishbah, Quraish Shihab menjelaskan dua konsep utama muncul dari ayat ini, yaitu amanah (hafidz) dan kompetensi (‘alim). Yang menarik, dalam kisah Nabi Yusuf tidak meminta jabatan hanya karena ambisi, melainkan karena kesadaran akan kapasitas dirinya. Ini menandakan sebuah etos dalam bekerja yang berbasis kejujuran diri, bukan hanya bekerja sekedar patuh kepada atasan. Dalam konteks quiet quitting, fenomena ini muncul justru karena pekerja merasa dirinya tidak dihargai, tidak ditempatkan sesuai kapasitas, atau tidak memiliki ruang untuk mengembangkan potensi. Maka ayat ini bukan hanya mencontohkan etos kerja yang tinggi, tetapi juga mengingatkan pentingnya sistem kerja yang proporsional dan adil.
Konsep etos kerja dalam kisah Nabi Yusuf semakin jelas ketika mengaji ayat-ayat lain yang menggambarkan konsistensi Nabi Yusuf dalam berbagai kondisi. QS. Yusuf ayat 22 misalnya, menyebutkan bahwa ketika Nabi Yusuf dewasa, ia dianugerahi hikmah dan ilmu. Menandakan kematangan jiwa dan intelektual yang menjadi fondasi kerja yang berkualitas. Bahkan saat didalam penjara, Nabi Yusuf tetap menjalankan perannya dengan baik, memberi nasehat, dan membantu sesame tahanan melalui kemampuannya dalam menakwil mimpi. Konsistensi ini menunjukkan bahwa etos kerja bukan sekedar produktif, melainkan orientasi jiwa yang membuat seseorang tetap memberikan kontribusi meski dalam kondisi yang kurang ideal sekalipun.
Salah satu bagian yang terpenting adalah startegi krisis yang dikambangkan Nabi Yusuf yang tertera dalam QS. Yusuf ayat 47-49. Dimana ia Menyusun rencana pengelolaan pangan selama 14 tahun yang mencakup masa subur dan masa paceklik. Ayat ini sangat menggambarkan bekerja yang berbasis visi, data, dan ketahanan dalam jangka Panjang. Hal ini sangat relevan dengan dunia usaha modern yang membutuhkan perencanaan dan pengelolaan resiko yang matang.
Dalam konteks UMKM misalnya, implementasi nilai-nilai tersebut dapat diwujudkan dalam beberapa bentuk. Pertama, penempatan tenaga kerja sesuai kapasitas, sebagaimana Nabi Yusuf menegaskan kompetensinya, akan mengurangi kelelahan mental dan meningkatkan efektivitas kerja. Kedua, pemilik usaha dituntut membangun budaya amanah, seperti transparansi keuangan, pembagian tugas yang jelas, dan manajemen yang dapat dipercaya. Ketiga, ruang untuk inovasi perlu dibuka, sebagaimana raja Mesir memberikan kebebasan kepada Nabi Yusuf untuk merancang sistem ekonomi negara. Keempat, manajemen kerja harus memerhatikan batas Kesehatan pekerja agar tidak menormalisasi kerja berlebihan yang berujung pada burnout.
Fenomena quiet quitting dapat dibaca sebagai gejala tidak seimbangnya antara nilai kerja keras dan realita. Dalam banyak kasus, pekerja tidak kehilangan etos kerja karena dirinya sendiri, melainkan karena sistem dunia kerja modern yang kurang mendukung. Beban kerja berlebih, kurangnya apresiasi, kompensasi yang tidak adil, atau budaya manajemen yang buruk menjadi factor penyebabnya. Oleh karena itu, penerapan etos kerja Nabi Yusuf jangan dipahami sebagai dorongan jiwa personal bagi pekerja saja, justru juga sebagai seruan terhadap owner untuk memperbaiki struktur organisasi yang baik dan benar. Etos kerja menurut al-Qur’an tidak menghendaki adanya eksploitasi, melainkan harus tercipta sistem kerja yang memelihara profesionalitas, amanah, dan kesejahteraan.
Analisis kritis terhadap penerapan nilai-nilai kisah Nabi Yusuf dalam konteks quiet quitting mengisyaratkan bahwa etos kerja menurut al-Qur’an itu berarti mampu memberikan inspirasi, tetapi tidak boleh digunakan untuk membebankan tanggung jawab secara sepihak kepada pekerja. Etos kerja yang digambarkan Nabi Yusuf muncul dari lingkungan yang memberikan amanah, kepercayaan, dan ruang aktualisasi. Menandakan bahwa solusi atas quiet quitting bukan sekedar mengajak pekerja lebih disiplin, tetapi juga menciptakan kondisi kerja yang memungkinkan etos psitif itu tumbuh. Dengan demikian, etos kerja Qur’ani berfungsi sebagai pedoman nilai dan sekaligus kritik terhadap sistem kerja modern yang terlalu menuntut produktivitas tanpa memertimbangkan aspek kemanusiaan.
Penutup
Pasca pandemi khususnya, fenomena quiet quitting menandakan adanya ketegangan antara tuntutan kerja modern dan kebutuhan manusia untuk tetap dihargai, diperlakukan secara adil, serta menemukan makna dalam pekerjaannya. Dalam situasi ini, kisah Nabi Yusuf dalam al-Qur’an menghadirkan paradigma etos kerja yang tidak hanya menekankan skill dan ketekunan, tetapi juga nilai moral, amanah, dan visi jangka panjang. Nilai-nilai seperti kompetensi, transparansi, tanggung jawab, dan perencanaan yang matang dapat menjadi dasar bagi dunia usaha modern, termasuk UMKM untuk menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan produktif.
Dengan demikian, etos kerja ala Nabi Yusuf mampu berfungsi ganda; memberikan teladan pribadi bagi pekerja, sekaligus menjadi kritik positif terhadap sistem kerja yang masih belum selaras dengan nilai kemanusiaan. Maka dengan memahami nilai-nilai tersebut secara kontekstual, dunia usaha dapat membangun budaya kerja yang berkelanjutan, manusiawi, dan responsive terhadap tantangan abad ini.
Daftar Pustaka
Shihab, Dr. M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah. 6 vols. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Sohari. “ETOS KERJA DALAM PERSPEKTIF ISLAM.” ISLAMICONOMIC: Jurnal Ekonomi Islam 4, no. 2 (2013).
Surianto. “Quiet Quitting: Fenomena Baru Dan Implikasinya Terhadap Keterlibatan Karyawan Di Era Pascapandemi.” Jurnal Economic Resources 9, no. 1 (2025). https://doi.org/10.57178/jer.v9i1.1982.

