KULIAHALISLAM.COM – Dualisme fisik non-fisik pada jiwa dan semesta. Bisakah sains menjelaskan secara fisika hal-hal yang ada diluar dunia fisik ? Tentu saja pada dasarnya tidak kecuali dengan menggunakan asumsi dan spekulasi yang bisa mengarah ke jenis pseudosains.
Dualisme fisik dan non-fisik pada jiwa dan alam semesta (Sumber gambar : IDN Times) |
Karena ilmu fisika pada prinsipnya berbicara tentang eksistensi, aktifitas, dan gerak dunia fisik, dan materi sehingga yang bergerak bereksistensi diluar atau otonom—berdiri sendiri dari dunia fisik tentu saja akan berada diluar jangkauan ilmu fisika.
Bagaimana dengan energi yang disebut suatu wujud non fisik dan non materi ? Tentu saja bisa dijangkau ilmu fisika selama eksistensinya berada dalam atau telah menyatu dengan dunia materi. Sebelum ada materi alam semesta, misalnya, maka energi tidak bisa dibicarakan secara sains—secara ilmu fisika kecuali diasumsikan.
Maka sains tidak bisa bicara tentang penyebab pertama alam semesta yang tak tergerakkan yang bukan non fisik. Maka perihal Tuhan sang penyebab pertama tak tergerakkan (menurut metafisika teistik) masuk ranah metafisik. Disini harus mulai terjadi pembagian bahasan ilmu, mana bagian sains ilmu fisik dan mana ranah metafisik.
Manusia sebagai Cermin Real
Mungkin bicara awalnya semesta sebagai contoh adanya fisika dan non-fisika terlalu jauh, maka saya selalu mengajak manusia untuk bercermin pada diri manusia karena manusia adalah wujud fisika dan non-fisika. Memiliki jasad—tubuh yang dapat ditela’ah dengan ilmu fisika dan memiliki jiwa—pikiran yang tidak dapat di tela’ah secara total dengan ilmu fisika.
Apa yang terjadi pada fisik manusia dapat dijelaskan oleh ilmu medis sebagai representasi ilmu fisika dan ilmu kimia (sains) tapi apa yang terjadi pada jiwa—pikiran tidak bisa direkap, dikalkulasi, direkam, diukur, dan dipetakan secara utuh-total oleh peralatan medis (representasi sains). Kecuali diasumsikan atau diperkirakan atau sebatas menangkap sinyal-sinyal.
Seorang dokter dapat menjelaskan apa yang terjadi pada fisik—tubuh pasien tapi terkait apa yang terjadi pada jiwa—pikirannya maka dokter pun perlu konsultasi karena manusia bukan mesin. Dimana seluruh mesin adalah materi dan sebab itu dapat dijelaskan secara fisika tanpa konsultasi pada mesin yang tak punya jiwa—pikiran.
Nah sebab itu selalu ada dua jenis ilmu tentang manusia; ilmu medis atau ilmu fisik dan ilmu jiwa atau non fisik. Tak ada satu jenis ilmu yang total bisa menggambarkan manusia secara utuh, selalu harus gabungan dua ilmu berbeda.
Neuro sains, misalnya, tentang ilmu fisika syaraf tetap tak akan dapat membaca secara utuh gerak pikiran. Neuro sains tentang ilmu fisika syaraf tetap tak akan dapat membaca secara utuh gerak pikiran manusia, hanya dari mengamati aktifitas syaraf, misalnya Karena sebagai contoh niat hati manusia itu pikiran yang ada di kedalaman hati yang tak bisa dijangkau neurosains. Jadi, pikiran manusia itu tidak semata bergerak di area kepala tapi juga bergerak dalam hati.
Itulahlah ciri khas manusia, bersifat dualistik dan tidak bisa direduksi kedalam satu cara pandang materialis. Kalau ada cara pandang materialis yang berupaya menggambarkan manusia melulu pakai prinsip—metode sainstifik maka bakal jatuh kepada pseudosains, yaitu penjelasan mirip sains tapi bukan empiris melainkan hanya spekulasi dan asumsi.
Nah saya membandingkan apa yang ada pada manusia dengan yang ada pada alam semesta karena dalam satu hal keduanya satu pola yaitu bersifat dualistik, memiliki aspek fisik non-fisik dan materi non-materi. Dan dibicarakan oleh dua jenis ilmu berbeda.
Bila diri manusia didekati dengan ilmu fisik dan ilmu jiwa, maka terkait alam semesta dan perikehidupan didalamnya didekati dengan ilmu fisik (sains) dan ilmu metafisika, tak bisa oleh satu jenis ilmu.
Para saintis ketika membicarakan semesta tentu menggunakan infrastruktur peralatan ilmu fisika termasuk kedalamnya matematika—perhitungan matematis dalam membangun teori tentang semesta.
Tapi ilmu fisika dan matematika berbicara hanya seputar eksistensi—gerak materi semesta, apa yang ada diluar dunia materi semesta tidak bisa dijangkau dan dibicarakan secara fisika-sainstifik. Matematika, misalnya, bisa digunakan sebagai perhitungan tapi tidak bisa berbicara atau menjangkau sebab pertama alam semesta yang Ilahiah—bersifat pikiran non-materi
Istilah Kekosongan sebagai Cermin
Kita sering mendengar di dunia sains ada istilah “kekosongan”, misalnya, pandangan bahwa sebelum semesta ada yang ada hanya “kekosongan” yang sering diparalelkan dengan “ketiadaan”. Sebenarnya itulah ujung dari kemampuan sains, apa yang sudah tidak bisa dijelaskan sains maka sainstis melemparnya kedalam istilah “kekosongan.”
Tapi kalau kita pakai prinsip ilmu logika maka ada prinsip bahwasanya mustahil sesuatu yang ada berasal dari ketiadaan atau kekosongan, yang ada mesti berasal dari yang ada. Dan mesti ada sesuatu pada sesuatu yang didefinisikan sebagai kekosongan tersebut.
Oleh: Irwan Wiharja