Sudah mafhum, jumhur ulama telah sepakat bahwa Allah SWT tidak akan menetapkan sesuatu hukum, kecuali untuk kemashlahatan ambanya. Jika di rinci, kemashlahatan itu ada dua macam. Pertama, berupa mantaat bagi manusia dan kedua, berupa terhindarnya manusia dari kemudharatan.
Oleh karena itu, yang menjadi pendorong untuk menetapkan suatu hukum syara’ adalah menarik kemanfaatan bagi manusia dan menolak kemudharatan bagi mereka. Dan pendorong ini yang menjadi tujuan yang dicapai dengan menetapkan hukum itu. Inilah yang dinamakan hikmah suatu hukum (hikmah hukum).
Misalnya, seorang yang sakit diperbolehkan tidak berpuasa pada bulan ramadhan. Hikmahnya adalah, untuk menghindari kerusakan baginya. Diwajibkan qishash atas orang yang membunuh dengan sengaja, hikmahnya adalah untuk memelihara jiwa manusia pada umumnya, dan diwajibkan memotong tangan pencuri yang memenuhi syarat-syaratnya, hikmahnya adalah untuk memelihara milik menusia. Dengan demikian, suatu hukum syara’ adalah untuk mewujudkan mashlahat serta menolak kemudharatan.
Pendapat yang menyamakan illat dengan hikmah, bahwa setiap hukum itu dibina atas sesuatu hikmah. Dan, terwujud atau tidaknya suatu hukum sangat tergantung pada hikmah itu. Akan tetapi, setelah diadakan penyelidikan yang mendalam, ternyata hikmah itu hanya pada beberapa hukum adalah merupakan perkara yang samar (yang tidak dapat disaksikan oleh panca indera).
Karena itu, tidak mungkin menetapkan adanya hikmah atau ketiadaannya, dan tidak mungkin pula untuk menetapkan ada tidaknya suatu hukum dengan ada atau tiadanya hikmah. Contohnya, dibolehkan tukar menukar dalam bidang muamalah yang hikmahnya untuk menolak kesempitan bagi manusia, disebabkan hal itu dapat memenuhi hajat mereka. Sedang hajat itu sendiri merupakan hal yang samar dan tidak mungkin diketahui dengan pasti bahwa, tukar menukar itu suatu hajat yang urgen atau bukan suatu hajat.
Perkara yang dikira-kira bukan perkara yang pasti
Namun demikian, kadang kala perkara yang dikira-kirakan, bukan merupakan perkara yang pasti. Karena itu, juga tidak tepat untuak membina hukum dan mengaitkan ada atau tidaknya hukum. Seperti, diperbolehkan tidak berpuasa bagi orang dalam keadaan sakit, hikmahnya ialah untuk menghilangkan kemdharatan. Kemudharatan itu merupakan perkara yang dikira-kirakan saja yang berbeda-beda mengingat situasi dan kondisi masing-masing manusia. Oleh karena di kira-kira, andaikan hukum dibina atas dasar ini, maka taklif tidak akan sempurna.
Tentunya, disamping sebagian hukum itu mempunyai hikmah yang sifatnya masih samar, terdapat pula sebagian hukum yang lain yang mengandung perkara jelas yang dapat dijadikan dasar pembinaan hukum, dan dapat dijadikan untuk menentukan ada atau tidakya hukum. Perkara yang sudah jelas dapat dijadikan dasar pembinaan hukum itu, oleh para ahli ushul, disebut illat.
Memang, ulama ushul membicarakan masalah illat ketika mambahas qiyas. Illat merupakan rukun qiyas, dan qiyas tidak dapat dilakukan bila tidak dapat ditentukan illat-nya. Setiap hukum pasti ada illat yang melatarbelakanginya. Sehingga, jika illat ada, maka hukum pun ada, dan begitu sebaliknya. Sebuah kaidah menyatakan “Hukum berputar beserta illatnya (alasan), ada dan tiadanya”.
Penjelasan kaidah tersebut adalah keberadaan hukum itu berkutat pada keberadaan illat (sebab)-nya, sehingga jika ada illat maka ada hukumnya, dan jika tidak ada illat-nya maka tidak ada hukumnya. Inilah yang menjadi kekhususan illat, dan illat-lah yang menentukan adanya sebuah hukum bukan hikmah. Dengan demikian, sesuatu dikatakan sebagai illat harus jelas (dhahir), cocok atau sesuai dengan ketentuan hukum (munasib) dan pasti serta terukur (mundhabith).
Syahdan, kita tahu bahwa, dasar pemikiran qiyas adalah adanya kaitan yang erat antara hukum dengan sebab (illat). Hampir dalam setiap hukum di luar bidang ibadat, dapat diketahui alasan rasional ditetapkannya hukum oleh Allah SWT. Maka, alasan hukum yang rasional itu oleh ulama ushul fiqh disebut “illat”.
Tak hanya itu, di samping dikenal pula konsep mumatsalah, yaitu kesamaan atau kemiripan antara dua hal yang diciptakan Allah Swt. Apabila dua hal itu sama dalam sifatnya, tentu sama pula dalam hukum yang menjadi akibat dari sifat tersebut. Dengan konsep mumatsalah, maka peristiwa yang belum jelas hukumnya dapat disamakan hukumnya dengan yang ada hukumnya dalam nash.
Sementara itu, illat adalah sifat yang terdapat dalam hukum ashal yang digunakan sebagai dasar hukum. Illat juga termasuk salah satu rukun atau unsur qiyas, bahkan unsur yang terpenting. Karena adanya illat itulah kita dapat menentukan adanya qiyas atau menentukan suatu hukum untuk dapat direntangkan kepada masalah yang lain. Dan, tentulah kriteria sifat yang dapat dijadikan illat itu sifat yang nyata, jelas, serta dapat dijangkau oleh nalar, bahkan mengadung relevansi, sehingga kuat dugaan bahwa ia merupakan alasan penetapan suatu ketentuan Allah SWT dan Rasul-Nya.
Jelas, pada prinsipnya, semua hukum syari’at itu ditetapkan pasti memiliki latar belakang, sebab-sebab dan unsur kemaslahatan bagi umat manusia. Adalah menolak bahaya dan menghilangkan kesulitan bagi manusia. Tujuan tersebut dapat dilihat dari beberapa isyarat atau tanda yang terdapat di dalam nash.
Sebagian disebutkan dengan jelas dalam al-Qur’an dan Sunnah, sebagian lagi hanya berupa isyarat, dan ada pula yang harus diamati dan dianalisa terlebih dahulu. Sehingga, para mujtahid memerlukan cara atau metode tertentu untuk mengetahuinya, disebut masalik al-illat atau turuq al-illat.
Masalik al-illat, adalah suatu cara atau metode yang digunakan untuk mencari sifat atau illat dari suatu peristiwa, yang dapat dijadikan dasar dalam menetapkan hukum. Cara yang pupuler digunakan ulama ushul fiqh, untuk mencari dan mengetahui illat di antaranya dengan nash itu sendiri.
Dalam hal ini, nash-nash Alqur’an dan Sunnah telah menerangkan suatu sifat merupakan illat hukum dari suatu peristiwa (kejadian). Penunjukan nash tentang sifa sesuatu kejadian sebagai illat itu, adakalanya “sarahah” (dengan jelas dan secara langsung ) dan adakalanya dengan “ima’” atau “isyarah” (dengan syarat, secara tidak langsung).
Dhalalah sarahah
Sedangkan, kalau di tinjau dari segi apakah penunjukannya kepada illat hukum itu secara pasti, bahwa illat hukum itulah yang ditunjukkannya atau secara dugaan keras, karena ada kemungkinan dugaan yang lain. Maka, dhalalah sarahah itu dibagi kepada dua macam. Pertama, dhalalah sarahah qath’iyah, adalah bila penunjukan lafaz nash kepada illat hukum itu, tidak mungkin dapat dibawa kepada illat hukum yang lain.
Kedua, dhalalah saraahah danniyah, yaitu bila penunjukan lafaz nash kepada illat hukum ada kemungkinan dapat dibawa kepada illat hukum yang lain. Sedangkan, dhalalahi ima’ (isyarah) adalah, dhalalah yang diperoleh dari sifat yang membaringinya. Dengan kata lain, dari adanya sifat yang membarengi itu, dapat dipahamkan ke-illat-annya suatu hukum. Jika tidak, dapat dipahamkan demikian, maka tidak ada gunanya berbarengan sifat tersebut.
Selain itu juga, bahwa cara atau metode untuk mengetahui illat adalah dengan ijma’. Adalah apabila para Mujtahid dalam suatu masa telah sepakat bahwa, yang menjadi illat suatu hukum syara’ adalah suatu sifat. Maka, tetaplah sifat itu menjadi illat bagi suatu hukum tersebut secara ijma’. Hingga akhirnya, dengan as-sabru wat-taqsim, yakni para Mujtahid mencari semua sifat-sifat yang terdapat pada pokok. Kemudian, menggugurkan sifat-sifat yang tidak layak dijadikan illat, dan memilih suatu sifat yang patut dijadikan illat menurut pendapatnya. Wallahu a’lam bisshawaab.