Oleh : ERNAWATI S.H.,MH (Magister Ilmu Tata Negara Universitas Indonesia)
Dewasa ini perbincangan mengenai
sistem pemerintahan dan ideologi politik menghangat Kembali, terlihat dari
ramainya percakapan di media-media online maupun media konfensional lainnya, percakapan
dan perdebatan berkutat seputar sistem
demokrasi yang saat ini diadopsi dan digunakan oleh Indonesia dalam proses
pemilihan presiden,wakil presiden serta calon anggota legislatif yang menduduki
parlemen. Sebagian berpendapat bahwa sistem demokrasi dengan cara pemilihan
langsung atau istilah lain “one
men one vote” belum layak diterapkan di Indonesia, mengigat belum
dewasanya masyrakat Indonesia dalam berpolitik ditambah dengan tingkat
Pendidikan rata-rata orang Indonesia yang masih rendah maka ada ketakutan
pemilih tidak memilih pemimpin berdasarkan rekam jejak atau treck record,serta
gagasan dan Visi Misi yang akan diperjuangkan saat memimpin, namun lebih kepada pemilihan berdasarkan
sentiment kesukuan, keagamaan ataupun karna tampilan visual seorang calon
legislator, diskursus tersebut tersebar pada bisingnya percakapan Sebagian yang
berpendapat bahwa sistem demokrasi bukanlah sistem yang cocok dan tepat untuk
kondisi Indonesia saat ini, kemudian ada Sebagian lain yang berpendapat, bahwa
sistem demokrasi yang saat ini diadopsi
oleh Indonesia adalah sistem yang sudah tepat diantara banyaknya pilihan sistem
pemerintahan yang sudah ada sebelumnya,mengutip pendapat Prof Mahpud Md. Dalam sebuah wawancara di
saluran televisi nasional, Mahpud M.d
mengatakan bahwa sistem demokrasi memang merupakan sistem yang rumit serta
buruk namun demikian sistem tersebut merupakan sistem yang terbaik dari sekian sistem pemerintahan
yang terburuk yang pernah ada dan yang masih ada
saat ini, sebut saja Indonesia pernah berada dibawah kepemimpinan seorang
soeharto dengan sistem otoriter dengan kondisi dimana presiden tidak dipilih
langsung oleh rakyat. Kemudian hampir saja negara ini berada dibawah
pemerintahan yang diktator dimana kekuasaan terpusat hanya ditangan satu orang
saja. dan militer digunakan untuk menguatkan keberlangsungan kekuasaan
tersebut. berkuasanya presiden soeharto cukup menjadi bukti bahwa sistem
demokrasi diimbangi dengan kuatnya fungsi legislatif yang duduk di parlemen
menjadi pilar yang kuat bagi tercapainya cita-cita Bersama sebuah negara.
Nampaknya percakapan serta diskursus
yang berkembang tidak hanya berkutat
diantara dua itu saja, antara pihak yang
pro dan kontra dengan sistem demokrasi namun diantaranya juga masih ada saja
kelompok masyarakat atau Sebagian kalangan yang masih memimpikan terealisasinya
sistem kekhalifahan, kelompok-kelompok tersebut masih memimpikan bahwa negara
Indonesia menganut sistem kekhalifahan dan Bersatu dengan negara-negara islam
lainnya membentuk satu negara yang dipimpin oleh seorang khalifah, romantisme
tersebut masih ada dalam benak Sebagian kelompok, mengacu pada negara dengan sistem kekhilafahan
terakhir yaitu turki usmani yang jatuh ditangan seorang Kemal ataturk yang
berkhianat, argumentasi yang diketengahkan oleh kelompok tersebut bahwa sampai
kapanpun umat islam tidak akan mendapatkan kemerdekaan yang seutuhnya, tetap
akan selalu terjajah secara ekonomi,politik, budaya jika berada dalam kondisi
negara bangsa seperti saat ini.
Saat ini beberapa negara yang
mayoritas penduduknya memeluk agama islam berada dibawah sistem pemerintahan
dan ideologi negara yang berbeda-beda, sebut saja misalnya Saudi arabia
menggunakan sistem monarki absolut, dimana puncak tertinggi pemerintahan berada
ditangan seorang raja, kemudian turki adalah sebuah negara republik, menganut
sistem presidensial dengan presiden
sebagai puncak tertinggi pemimpin negara, dan menjalankan pemilihan umum dalam
proses pemilihan presidennya. namun negara-negara yang menggunakan sistem
presidensial dengan pembagian kekuasaan yang tidak jelas demarkasinya
sebagaimana teori pemisahan kekuasaan yang dicetuskan oleh John Locke,
seorang filsuf dari Inggris. Pembagian kekuasaan adalah sebuah prinsip di mana
kekuasaan negara sebaiknya tidak diserahkan kepada orang atau satu badan saja.
Konsep pembagian kekuasaan yang dikemukakan John Locke kemudian disebut teori
trias politica. John Locke mengemukakan teori trias politica sebagai
teori pembagian kekuasaan di dalam negara yang terbagi ke dalam tiga bagian
kekuasaan, yaitu: Kekuasaan legislatif adalah bagian dari
kekuasaan negara yang bertugas untuk membuat peraturan perUndang-Undangan,kemudian
tupoksi legislatif sebagai Lembaga
menjadi cek and balace Lembaga eksekutif dan sebagai Lembaga yang
mengawasi proses berjalannya birokrasi yang dijalanan oleh eksekutif apakah
telah sesuai dengan amanat Undang-Undang. kemudian
Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan negara untuk
melaksanakan undang-undang dan didalamnya termasuk kekuasaan mengadili.
Kekuasaan eksekutif setara dengan kekuasaan legislatif, tetapi bukan berarti
keduanya tidak saling berhubungan. Kekuasaan eksekutif harus dijalankan menurut
undang-undang yang telah dibuat oleh legislatif. Pemerintah atau negara tunduk
terhadap undang-undang yang telah ditetapkan. Kemudian yang ketiga adalah
kekuasaan yudikatif atau kekuasan Lembaga peradilan. Maka pembagian yang ridgid
pada tiga kekuasaan tersebut mutlak dibutuhkan sebagai sarana penyeimbang dalam
sebuah kekuasaan.
Melihat model
pemerintahan dan sistem yang dianut oleh negara-negara tersebut diatas maka
memadukan dua sistem pemerintahan antara konsep yang ditawarkan sistem
demokrasi yang mensyaratkan adanya pemilihan langsung oleh rakyat, serta sistem
negara parlementer yang heavy akan parlemen atau legislator maka dibutuhkan organ pemerintahan yang kuat
dalam mengimbangi kekuasaan seorang presiden agar tidak sampai abuse of
power menimbang hal -hal tersebut maka konsep pemerintahan yang
digunakan oleh iran yang menggabungkan antara sistem kekhalifahan dan demokrasi
menjadi sebuah tawaran serta jalan tengah yang patut untuk diketegahkan dalam
diskursus saat ini, namun sebelumnya perlu sekiranya kita pelajari secara
Bersama-sama seperti apakah pemerintahan serta sistem yang berlaku di iran saat
ini, berikut sekilas tentang konsep wilayatul faqih dalam lensa
perpolitikan dan pemerintahan iran yang berdasar pada pemikiran salah satu
tokoh revolusi iran ayatollah Khomeini.
Khomeini
mewujudkan konsep dan pemikirannya tersebut dalam bentuk pemerintahan Islam,
yang ia namakan sebagai Wilayah al-Faqih (Kepemimpinan Ulama), atau
disebut Vilayat-I Faqih dalam bahasa Irannya. Hal inilah yang menjadi
pembeda negara Republik Islam Iran dengan konsep negara-negara republik
lainnnya. Selain itu, konsep ini pula yang dijadikan dasar negara Republik
Islam Iran. Menurut Khomeini seorang Faqih, harus melaksanakan tugasnya
dalam pemerintahan sebagaimana Nabi Muhammad Saw memimpin umat Islam generasi
pertama. Seorang Faqih, tidak boleh bertindak atau membuat kebijakan
yang bertentangan dengan syari’at Islam, apalagi berbuat menguasai masyarakat
dan mengabaikan perintah Allah Swt. Sebagaimana Nabi dan Imam, seorang Faqih
juga merupakan pelaksana yang menjalankan kehendak dan perintah Allah di
muka bumi. Oleh karena itu, kekuasaan yang dimiliki seorang Faqih sama
besarnya dengan kekuasaan Nabi Muhammad Saw. Namun, dalam statusnya ia tetap
berbeda dengan status Rasulullah dan Imam
Sebagai
pemegang kekuasaan tertinggi, Faqih mempunyai tanggung jawab dalam
meneruskan misi kenabian, seperti tugas yang para Imam. Oleh karena itu, secara
politis tugas Faqih ialah untuk mengawal jalannya pemerintahan agar
dapat berjalan dengan baik dan adil, sesuai hukum Allah. Dengan begitu, maka dalam
pemerintahan Wilayah al-Faqih tidak mengenal pemesihan antara agama dan
politik. Karena, secara subtansi keduanya memiliki maksud dan tujuan yang sama,
yakni mewujudkan tatanan kehidupan yang adil dan sesuai hukum Allah. Menurut
Khomeini, pemerintahan Islam dalam konsep Wilayah al-Faqih itu mempunyai
tugas dan fungsi yang komprehensif, yang tak hanya berkutat mengurusi aspek
keagamaan saja, namun juga persoalaan sosial, budaya, ekonomi, politik, dan
lain-lain. Ia menegaskan bahwa selain pentingnya kepemimpinan seorang Faqih,
akan tetapi rakyat juga memiliki otoritas dan hak politiknya. Dalam
pandangannya rakyat memiliki otoritas untuk menentukan sebuah rezim politik,
memilih presiden, dewan perwakilan di parlemen, serta mengesahkan konstitusi.
Adapun tolak
ukur tersebut ialah adanya pemilihan umum (pemilu), dewan perwakilan, dan
distribusi kekuasaan (distribution of power). Negara yang mengklaim
sebagai negara demokratis, dalam menentukan kepemimpinannya pasti melalui
sistem pemilihan umum. Begitupun di negara Iran, proses pemilihan umum
dilakukan, baik secara langsung atupun tidak, untuk memilih Faqih,
presiden, maupun anggota parlemen. Sebagai sistem yang bertumpu pada kehendak
rakyat, maka dewan perwakilan adalah salah satu tolak ukur demokrasi, yang
dimaksudkan sebagai penyambung lidah rakyat. Seperti yang kita tahu bahwa, di
Iran pun terdapat dewan perwakilan rakyat, bahkan para penganut agama Zoroaster
pun, terjamin keterwakilannya, Atas dasar itulah, maka tidak berlebihan jika
menurut penulis, sistem yang dianut negara Iran tersebut adalah
“teo-demokrasi”, dan bukan demokrasi sebagaimana yang dianut oleh negara
demokrasi lainnya.
Namun, point yang perlu digaris
bawahi adalah bahwa posisi Faqih pun tidak bisa berlaku sewenang-wenang,
karena ia dipilih, dikontrol, dan diawasi oleh Dewan Ahli. Jadi, posisi Faqih
ini, tak bisa juga kita katakan sebagai keterpusatan kekuasaan, karena baik
secara konseptual maupun dalam realitasnya, keberadaan Faqih bukan untuk
menghegemoni, melainkan untuk mengontrol demokrasi, agar tetap sejalan dengan
nilai-nilai Islam dan amanat Revolusi Islam Iran. Dalam hal persetujuannya dengan
struktur demokrasi, di mana ditunjukkan dengan istilah-istilah
“republik”, konstitusi, parlemen dan pemilu yang ada dalam sistem
pemerintahan Republik Islam saat ini bukan terletak pada kesepakatannya secara
substansial mengenai makna sebagaimana dipahami Barat. Menurut Khomeini
sekalipun pemerintahan ini adalah pemerintahan rakyat, tetapi sumber hukum
berasal dari Tuhan. Karena itu konstitusi maupun peraturan perundang-undangan
haruslah mengacu kepada hukum-hukum Tuhan, yang tertera pada al-Qur’an dan
Hadits serta Ijtihad ulama dalam hal ini faqih.
Menurut Imam Khomeini, negara Islam
adalah negara hukum. Pemerintahan Islam adalah pemerintahan konstitusional,
namun pengertian konstitusional dengan negara hukum di sini berbeda dengan apa
yang selama ini dikenal. Pengertian konstitusional yang merujuk pada
“hukum yang disesuaikan dengan pendapat mayoritas”, tidak dikenal
dalam sistem pemerintahan Islam, karena dalam pemerintahan Islam hukum sudah
ada, yaitu hukum Tuhan. Dengan kata lain Tuhanlah pemegang kekuasaan
legislatif-disamping sebagai pemegang kedaulatan- tertinggi yang sebenarnya,
bukan parlemen. Sesuai
dengan tujuan dan misinya, pemerintahan memiliki tugas dan fungsi sebagai
berikut: (1) mempertahankan lembaga-lembaga hukum Islam; (2) melaksanakan hukum
Islam; (3) membangun kembali tatanan yang adil; (5) memungut dan memanfaatkan
pajak sesuai dengan ajaran Islam; (6) menentang segala bentuk agresi,
mempertahankan kemerdekaan dan integritas territorial tanah Islam; (7)
memajukan pendidikan; (8) memberantas korupsi dan segala jenis penyakit sosial
lainnya; (9) memberikan perlakuan yang sama terhadap semua warga negara tanpa
diskriminasi; (10) memecahkan masalah kemiskinan; dan (11) memberi pelayanan
kemanusiaan secara umum.
Oleh karena itu,menurut
hemat penulis Republik Islam dapat
menjadi contoh ideal bagi sebuah negara demokratis, karena meskipun terbentuk
dari kehendak bebas rakyat, namun tetap ada dalam batas-batas hukum Allah. Di
dalam Republik Islam terdapat kemandirian dan keadilan, sehingga rakyat harus
memperoleh kehidupan yang aman, nyaman, dan tentram. Dan sebagai tawaran konsep
sistem bernegara yang perlu juga untuk di ketegahkan dalam proses mencari
formulasi yang tepat dalam bernegara.
1 Comment