Artikel

KECURIGAAN SAYA ATAS ‘KELICIKAN’ PROF. MUN’IM SIRRI

3 Mins read

Sore itu baru saja selesai mengikuti seminar bedah buku beliau di PPIM UIN Jakarta
(kebetulan sangat dekat dan bisa jalan kaki). Seminar itu mengupas buku berjudul
“Pendidikan dan Radikalisme”.  Dalam seminar
itu, beliau sedang mempresentasikan hasil penelitian yang beliau lakukan sejak
tahun 2018. Katanya, penelitian ini dilakukan untuk merespon hasil temuan BNPT.
Temuan yang menyatakan bahwa setidaknya ada tujuh kampus yang terpapar
radikalisme. Sepertinya hasil temuan BNPT tersebut telah mengusik nurani
kesarjanaan beliau.  Dan tampaknya,
beliau ingin menolak berbagai  kesimpulan
bila belum bertemu dengan data real. Ya, bukankah memang seharusnya
begitu? Sejurus kemudian, penelitian ini hadir dengan satu pertanyaan besar, bagaimana
radikalisasi siswa dan mahasiswa di Indonesia?

Nah,
saya sudah mengendus ‘kelicikan’ beliau sejak awal diskusi. Tepatnya sesaat
beliau menceritakan ground theory yang ia gunakan untuk penelitiannya
itu.  Untuk menjawab pertanyaan
penelitian itu, beliau menggunakan teori konversi. Lah, bukannya teori konversi
adalah salah satu teori psikologi; teori ini digunakan untuk melihat bagaimana
gejala perubahan  seseorang ketika
berpindah ideologi. Teori ini memang sering dipakai untuk menganalisa psikologi
seseorang saat pindah agama. Dan dalam pertemuan tadi, Mun’im mengaku  memakai teori ini untuk mendeteksi perbedaan
dan kesamaan gejala antara siswa dan mahasiwa. Bagaimana siswa yang tadinya
toleran menjadi intoleran? Dan bagaimana mahasiswa yang tadinya tidak radikal
dan ekstrimis malah terpapar radikalisme dan ekstrimisme?  Pertanyaannya, apa masalahnya kalau beliau
menggunakan teori ini?

Dari
dasar teori yang digunakan saja, sudah dapat menebak hasil penelitiannya. Coba
pikir,  hasil seperti apa yang bisa kita
simpulkan ketika kita menggunakan teori konversi? Sementara objek penelitiannya
adalah anak SMA, apalagi mahasiswa. Masa dimana mereka sedang mencari jati diri.
Kondisi yang memang dalam siklus rentan dan mudah terpapar apa saja. Selama
masa remaja, mereka berada dalam tahap pembentukan identitas dan sering mencari
rasa kepemilikan, tujuan, dan makna dalam hidup mereka. Bukankah kerentanan ini
membuat mereka lebih menerima ide-ide dan ideologi baru? Yang menjanjikan
memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mereka dan memenuhi
kebutuhan-kebutuhan mereka. Masuknya berbagai ideologi, termasuk radikalisme
dan ekstrimisme memang bisa dari mana saja, mulai dari medsos, lingkungan
kampus bahkan asmara. Demikianlah memang hasil penelitian ini, sejak awal
memang sudah dapat ditebak. Sudah ketahuan kemana niatnya.

Baca...  Demokrasi dalam Perspektif Islam (bagian 1)

Nah,
ternyata dugaanku sejak awal benar,  beliau menemukan bahwa sifat toleran mahasiswa
kita itu tidak sungguh-sunguh. Hanya setengah hati, ya sekaligus sifat
intelorennya juga setengah hati.  Begitu
pula keradikalannya, sifat radikalnya juga radikal yang  ‘ecek-ecek’. Radikal yang tidak
sungguh-sungguh.  Karena  utamanya bukan karena motivasi agama (dapat
pencerahan atau semacamnya) tetapi lebih karena faktor lain, seperti karena
kedekatan dan  faktor lingkungan.
Sesunguhnya beliau hanya ingin mengatakan bahwa mahasiwa bisa menjadi radikal
menjadi tidak radikal sekaligus adalah hal yang lazim. Di usia tersebut mereka
memang selalu converting, sering berubah-ubah. Jadi wajar saja akhirnya beliau
menyimpulkan tidak ada hubungan langsung antara radikalisasi dengan aksi
terorisme.

Menurut
saya, memakai teori yang mudah ditebak hasilnya adalah hal yang aneh dari seorang
Mun’im Sirri. Ini adalah kecurigaan saya, Kok bisa? Sekelas Prof. Mun’im yang
belajar langsung dari universitas Chicago. Universitas yang kuat dalam teori
justru melakukan itu? Mengapa beliau tidak langsung memakai teori yang lain
saja, misal Relative Deprivation Theory. Teori yang mengusulkan bahwa radikalisasi
bisa menjadi respons terhadap ketidakpuasan, ketidakadilan yang dirasakan, atau
perasaan deprivasi relatif dibandingkan dengan orang lain dalam masyarakat. Seseorang
bisa saja  beralih ke ideologi radikal
sebagai cara untuk mencari perubahan sosial dan politikt. Tentu saja, orang
sekaliber beliau tidak mungkin melakukan hal tersebut begitu saja. Pasti ada
motivasi lain mengapa beliau melakukan itu. Saya kira ini adalah strategi
beliau. Strategi apa? Ini adalah strategi beliau dalam mengevaluasi upaya
pemerintah dalam menanggulangi aksi terorisme.

By
the way, teori konversi yang beliau gunakan dalam penelitiannya hanyalah gimmick
belaka. Bayangkan, buku tebal dari hasil 
penelitian dengan teori tersebut fungsinya cuma satu, yaitu membantah
hasil penelitan BNPT. Ujungnya, dipertemuan itu beliau terang-terangan
mengatakan bahwa BNPT gagal. Beliau juga mengatakan bahwa usaha pemerintah untuk
menanggulangi terorisme yang sekarang tidak ada gunanya. Meski dibubarkan,  nyatanya institusi radikal tidak mungkin
hilang begitu saja.  Saran beliau adalah
membiarkan paham radikal itu jadi bahan perdebatan secara akademis. Ya, semacam
perdebatan wacana.

Baca...  Kasus Terjadinya Pengeboman Pada Bom Bali di Indonesia

Demikianlah,
aku sungguh terkesan. Ternyata beginilah cara seorang ilmuwan berkerja. Dibalik
penelitian yang ilmiah; dengan datanya yang bernuansa akademis, beliau bisa
‘sesuka hatinya’ menyesuaikan penelitiannya dengan teori yang ia mau. Teori
yang sejak awal beliau manfaatkan untuk mengevaluasi pemerintah. Akhirnya aku
bisa melihat seorang kepiawaian seorang Mun’im Sirri memainkan metodologi
penelitian.  Aku jadi ingin sekali
membeli buku pertamanya ini. Aku juga ingin sekali segera punya sekuel buku
berikutnya. Apalagi sejak ia mengatakan bahwa di penelitian berikutnya ia akan
menggunakan teori deprivasi relatif.

Oh
ya, jangan-jangan, acara pertemuan tadi juga adalah gimmick. Soalnya,
dalam pertemuan tersebut dimunculkan seorang Prof. Didin selaku pengkritik buku
tersebut. tentu saja kritikannya adalah gimmick juga; dikemas dalam
suasana apik elegan. Tapi tetap saja terendus olehku. Karena niat kritikan
tersebut adalah menunjukkan kepada seluruh akademika, bahwa seolah-olah
penelitian beliau berikutnya tidak diajukan oleh dirinya sendiri, tapi
berangkat dari saran pengkritiknya. Padahal justru sebaliknya. Gila sih. Karena
bagaimana pun, teori berikutnya yang akan digunakan dalam penelitian
selanjutnya sudah dapat ku endus. Intinya, Cerdas sekali prof. Mun’im sirri
ini.

Apakah akan ada seminar lain dengan judul semacam,
“relevansi penanggulangan  terorisme
BNPT” oleh: Mun’im Sirri?  Jika ada, Aku
pasti hadir..

Oleh: Julhelmi Erlanda (Mahasiswa S3 Ilmu Qur’an-Tafsir Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal & Universitas PTIQ Jakarta)

2367 posts

About author
Merupakan media berbasis online (paltform digital) yang menyebarkan topik-topik tentang wawasan agama Islam, umat Islam, dinamika dunia Islam era kontemporer. Maupun membahas tentang keluarga, tokoh-tokoh agama dan dunia, dinamika masyarakat Indonesia dan warga kemanusiaan universal.
Articles
Related posts
Artikel

Jasa Studi Kelayakan dan Pembuatan Studi Kelayakan di Era Digitalisasi

2 Mins read
Pendahuluan Dalam dunia bisnis yang semakin kompetitif, keputusan yang tepat sangat penting untuk keberhasilan suatu proyek. Studi kelayakan menjadi salah satu alat…
Artikel

Ajaran Berniaga dalam Islam di Era Digital: Memaksimalkan Potensi dengan Pasarino

1 Mins read
Dalam era digital yang semakin pesat, dunia bisnis mengalami transformasi yang signifikan. Islam sebagai agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk…
Artikel

9 Alasan Mengapa Semua Orang Beralih ke Pintu Harmonika

3 Mins read
Pernahkah kalian mendengar tentang pintu harmonika? Ya, pintu ini memang sedang menjadi trend di kalangan masyarakat Surabaya dan Gresik. Bukan tanpa alasan,…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights