Keislaman

Daulah Islamiyah dan Jejak Khulafur Rasyidin (1)

4 Mins read

KULIAHALISLAM.COM – Dalam sejarah Islam modern ada beberapa kelompok Islam yang mengemukakan teori Negara Islam “Daulah Islamiyah.” Mereka mengatakan bahwa Islam sebagai agama dan negara saling terkait antar satu dengan yang lain.

Di Indonesia kita juga mengenal ada usaha kelompok-kelompok Islam (dulu) untuk mendirikan Islam. Mungkin sekarang kelompok itu tidak terlalu dominan, sudah mulai memudar. Dan ide Negara Islam (mungkin) sekarang sudah tidak diikuti oleh sebagian besar umat Islam.

Salah satu argumen yang dikemukakan untuk mendukung teori negara Islam adalah bahwa secara praktiknya Nabi sendiri lalu diteruskan oleh khalifah ke empat memang mendirikan suatu intitas politik “lembaga politik”, Anda mau menyebut benih negara silahkan, akan tetapi secara faktual ada intitas politik yang menghimpun umat Islam dalam lembaga yang disebut dengan benih negara.

Oleh karena kita diperintah untuk mengikuti sunnah Nabi dan para khalifah sesudahnya, tentu sangat logis sekali menurut argumentasi ini seandainya kita juga sekarang mendirikan negara Islam untuk menegakkan apa yang disebut dengan syariat Islam.

Namun demikian, sebagian sarjana-sarjana modern mengkritik teori ini. Mereka mengatakan bahwa apa yang disebut dengan teori negara Islam pada dasarnya tidak ada. Memang pernah ada suatu eksprimen dengan negara, akan tetapi tidak berarti dengan eksprimen itu merupakan satu kaharusan yang harus kita tiru sekarang.

Kalau lihat sejarah empat khalifah Nabi, sekurang-kurangnya menurut pendapat kaum sunni (yang merupakan mayoritas sebagian umat Islam) diikuti suatu teori bahwa Nabi pada dasarnya tidak meninggalkan wasiat apapun tentang siapa yang nantinya akan menggantikan Nabi; tidak ada wasiat mengenai siapa yang akan menjadi penerus setelah Nabi.

Demikian juga empat khalifah dalam Islam juga dipilih secara berbeda-beda. Abu Bakar dipilih secara langsung, Umar dipilih dengan proses istikhlaf (pesan dari Abu Bakar kepada Umar supaya menggantikannya), Utsman dipilih melalui komite yang disebut ahlul halli wal aqdi, demikian juga dengan Sayyidina Ali.

Jadi, ada cara yang berbeda-beda. Ini menunjukkan bahwa tidak sesuatu yang sudah siap di dalam Islam mengenai bagaimana cara misalnya pemilihan seorang khalifah. Bahkan di dalam penyelenggaraan negara sendiri tidak sesuatu yang sifatnya detail. Bahwa apa yang dilakukan sahabat empat setelah Nabi itu sifatnya adalah kontekstual; sesuai dengan tuntutan zaman.

Sahabat Utsman misalnya mengadopsi praktik birokrasi Persia ketika itu yang disebut dengan “diwan” (yang tidak dikenal pada zaman Nabi). Atas dasar ini, tak keliru jika dikatakan bahwa politik itu sifatnya duniawi. Seperti sabda Nabi: “Kalian lebih tahu bagaimana mengelola urusan dunia.” Dengan kata lain, sistem dan metodenya berubah-ubah sesuai semangat zaman.

Pada zaman Nabi tidak ada pemisahan kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dalam hal ini, pada diri Nabi terkumpul tiga kekuasaan sekaligus. Apakah demi mengikuti sunnah Nabi sekarang kita harus memiliki kekuasaan di mana seorang presiden seorang yudikator, legislator sekaligus eksekutor?

Tentu saja, kalau Anda melakukan ini zaman sekarang maka Anda disebut dengan totaliter.

Maka jawabannya adalah tidak. Walapun di zaman Nabi tidak dikenal teori politik yang disebut trias politika yang merupakan pondasi penting dalam politik modern.

Dalam hal ini, kalau kita mengikuti trias politika sekarang bukan berarti tidak mengikuti Nabi, sebab yang harus diikuti dari Nabi di dalam penyelenggaraan negara adalah inti pokok ajarannya; bagaimana menegakkan keadilan, penghargaan kepada yang bukan muslim, menegakkan persaudaraan antar Islam dan lainnya.

Namun, bagaimana detail penyelenggaraan negara secara praktis tentu tidak diajarkan langsung oleh Nabi. Jika demikian apakah demokrasi tidak sesuai dengan Islam seperti dianut oleh kelompok HTI yang mengatakan bahwa itu kafir? Tentu tidak benar. Sebab, demokrasi adalah cara saja dan tidak harus dipertentangkan dengan Islam.

Inilah pelajaran penting dari khulafaur rasyidin (empat khalifah) di dalam Islam. Bahwa, pelaksaan politik pada empat khalifah pasca Nabi adalah dinamis, kontekstual dan fleksibel. Kalaupun ada sesuatu yang diadopsi dari luar sebenarnya tidak apa-apa, asalkan tidak bertentangan dengan pokok-pokok ajaran Islam.

Lalu siapa sebenarnya Khulafaur Rasyidin itu?

Salah satu era yang sangat penting dalam sejarah umat Islam adalah era khalifah empat setelah Nabi wafat. Inilah era di mana Islam tidak hanya semata-mata sebagai agama, akan tetapi juga sebagai praktik politik; mengalami konsolidasi dan pengembangan dibawah khalifah empat bahkan meluas keberbagai kawasan negara-negara.

Pertama Abu Bakar As-Shiddiq. Ia lahir pada tahun 537 M dan meninggal tanggal 23 Agustus 634 M/ 13 H. Ia adalah sahabat pertama yang memeluk agama Islam waktu Nabi menyebarkan agama di Makkah.

Menjelang Nabi wafat, Rasulullah semacam memberikan isyarat kepada Abu Bakar (tentu ini versi sunni) sebagai penggantinya kelak.

Isyarat itu berupa menjadi imam shalat. Tindakan permintaan menjadi imam shalat ini dipandang oleh para ulama sunni sebagai pertanda bahwa Nabi menghendaki Abu Bakar sebagai penerusnya; khalifah pertama dalam Islam.

Syahdan. Dalam pemikiran politik Islam ada dua mazhab. Pertama mazhab yang diikuti oleh kaum sunni yang mengatakan bahwa Nabi tidak meninggalkan wasiat apapun perihal siapa yang akan menggantikannya. Kedua, mazhab kaum syiah yang mengatakan Nabi memberikan wasiat atau pernyataan eksplisit bahwa ada khalifah yang diwasiatkan menggantikannya yaitu, Ali bin Abi Thalib.

Singkat cerita, akhirnya Abu Bakar menjadi khalifah melalui baiat (sumpah) kesetiaan yang diberikan oleh umat Islam di Madinah. Ketika itu, Abu Bakar di baiat oleh Umar pertama kali di rumah Tsqifah ibn Saidah yang saat itu terjadi perdebatan siapa yang berhak menggantikan Nabi.

Namun demikian, Abu Bakar mempunyai kebijakan yang sangat menarik. Pertama, kebijakan melakukan Perang Riddah (memerangi orang-orang murtad). Kenapa perang? Karena setelah Nabi wafat ada banyak bahkan ribuan orang Arab murtad. Mereka menganggap bahwa, ketika Nabi wafat maka kesetiaan hilang. Baginya tidak perlu lagi memeluk agama Islam.

Tindakan Abu Bakar memerangi orang murtad ini dipakai oleh sebagian orang sekarang sebagai “hujjah” atau dalil untuk mendukung kebijakan memerangi orang yang dianggap murtad dikalangan Islam sendiri. Tentu saja ini tafsiran yang keliru.

Sebab, selama 27 bulan Abu Bakar berkuasa hampir sebagian waktunya dihabiskan untuk memerangi orang murtad (bukan murtad keluar dari agama).

Sebagian sarjana modern mengatakan bahwa orang murtad yang diperangi oleh Abu Bakar karena mereka melakukan pembangkangan politik atau tindakan separatisme seperti tidak mau membayar zakat.

Kebijakan lain Abu Bakar yang patut kita kenang adalah inisiatifnya mengumpulkan Alqur’an. Anda tahu, ketika Nabi wafat Alqur’an belum menjadi satu buku yang kita lihat sekarang, akan tetapi terserak-serak di dalam berbagai catatan; belum menjadi satu dukumen.

Melalui usulan sahabat Umar karena melihat banyak sekali penghafal Alqur’an yang meninggal pada saat Perang Yamamah (salah satu perang untuk memerangi orang murtad saat itu), maka beliau khawatir seandainya para khuffad meninggal semua sementara Alqur’an belum terkumpul dalam satu dukumen.

Hingga akhirnya Abu Bakar mengikuti saran Umar meskipun, pertama kali, agak ragu dan para sahabat lain juga ada yang menentang karena Nabi tidak pernah mewasiatkan pengumpulan Alqur’an dalam satu buku; khawatir termasuk tindakan bid’ah.

Berkat Abu Bakar inilah Alqur’an terkumpul pertama kali dan tugas ini diserahkan kepada sahabat yang menjadi penulis wahyu yang paling utama yaitu Zaid ibn Tsabit. Proyek pengumpulan Alqur’an ini pun berlangsung terus menerus kepada Umar, dan berpuncak pada saat Utsman khalifah ketiga.

Yang tak kalah menariknya dari Abu Bakar adalah beliau satu-satunya khalifah diantara khalifah empat yang meninggal secara alamiah, sementara yang lainnya meninggal karena pembunuhan politik. Bersambung.

*) Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo dan PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Penulis juga kontributor tetap di E-Harian Aula digital daily news Jatim.

25 posts

About author
Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo dan PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Penulis juga kontributor tetap di E-Harian Aula digital daily news Jatim.
Articles
Related posts
Keislaman

Gus Ulil Ngaji Al-Iqtishad Fi Al-I’tiqad: Asy’ariyah Dalam Memahami Sifat Kalam

2 Mins read
Gus Ulil Ngaji Al-Iqtishad Fi Al-I’tiqad: Asy’ariyah dalam memahami sifat kalam. Ulama Asy’ariyah mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan itu qadim sebagaimana Dzat-Nya Tuhan…
Keislaman

Makna Takziyah Dalam Perspektif Islam

6 Mins read
Makna takziyah dalam perspektif Islam. Syariat Islam mengajarkan bahwa setiap manusia pasti akan mengalami kematian yang tidak di ketahui waktunya. Sebagai makhluk…
Keislaman

Gus Ulil Ngaji Al-Iqtishad Fi Al-I’tiqad: Hukum dan Ketentuan Sifat Tuhan

3 Mins read
Sudah mafhum bahwa menurut ulama Asy’ariyah sifat-sifat Tuhan qadim. Sebagaimana Dzat-Nya Tuhan qadim, maka sifat-Nya juga qadim; keduanya abadi. Seluruh sifat-sifat Tuhan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights