Ilmu kalam ini merupakan salah satu golongan pokok dari warisan keilmuan Islam di tanah air. Mata kuliah ini melihat secara mendalam sekilas tentang sebuah konsep yaitu, ketuhanan, kenabian sampe pokok-pokok keimanan dan bagaimana akal digunakan (ushul aqliyah) dalam menyelidiki agama (Nasution, 1996).
Ilmu kalam berkembang semenjak era Khulafaur Rashidin, sebagai jawaban atas cacinya tertentu, baik yang disalurkan oleh dalil-dalil. Tujujaan adalah mencegah sesatnya akidah umat Islam dari berbagai penyimpangan.
Dalam kenyataannya, Ilmu kalam bukan hanya sebagai alat perdagangan untuk mempertahankan ajaran tauhid dari pengaruh penting-penting dalam filsafat spekulatif maupun ide sifat-sifat menentang sistem syariat Islam (Al-Jabiri, 2003).
Lebih dari itu, ilmu kalam juga berfungsi sebagai instrumen untuk menghindari sebab-sebab agar tidak menjadi plagiarisme agama (plagiasi syariat) sehingga muncul pemikiran radikal dan sekuler, (Hanafi, 2005).
Pada faktanya, berbagai fenomena radikalisme dan sekularisme adalah dua ancaman besar pada era modern yang tampak berbeda secara ontologis namun sama-sama mengancam stabilitas hidup keagamaan dan kebangsaan (Madjid, 2000).
Radikalisme seringnya menyandera agama sebagai alibi untuk melegitimasi keberadaan aksi ekstrem dan kekerasan. Sekularisme justru pergi di sebaliknya, yaitu memisahkan agama dari politik sosial, melepaskan agama ke dalam ranah privat maupun spiritual (Arkoun, 1994).
Dilema yang ada dalam menghadapi dua hal ini, Ilmu Kalam menyediakan cara rasional penuh sikap moderat dan toleran. Yaitu tulisan ini mengemban misi untuk meninjau kembali bagaimana Ilmu Kalam desain untuk menjawab problem radikalisme dan sekulerisme, memberi solusi terhadap kedua kasus ini.
Bentuk Masuknya An-Najdah, Irak dan Irak secara Politik
Ilmu kalam sebagai pelindung akidah Islam adalah juga sebagai wasit dalam perdebatan teologis yang berpotensi melahirkan fanatis. Dua macam besar Ilmu Kalam yaitu Asy’ariyah dan Maturidiyah berhasil menjelaskan prinsip- prinsip Islam secara seimbang dan moderat, (Abdul Karim, 2013).
Keduanya menentang dogma Jabariyah yang menandakan fatalisme absolut, mencampuradukkan kebebasan manusia agar Allah semata-lah yang memutuskan, mengabaikan keberadaan kefardhuan dan meninggalkan kemeanan.
Sedangkan mereka menolak juga paham Qadariyah yang berlebihan dalam memperkuat kebebasan manusia yang boleh sehingga memudaratkan kehendak Allah dalam setiap perbuatannya.
Dalam mencari jawaban diatas dan menjelaskan masalah-masalah teologis lumbung, ulama Kalam melahirkan metode rasional (burhan aqli), yaitu: tauhid, al-‘adl, hak kedirian manusia (ikhtiyar), dan hubungan antara iman dan amal (Fakhry, 1983).
Dengan cara ini ruang diciptakan tempat pemahaman agama yang lebih komprehensif dan mendalam, tidak hanya literal penafsiran teks agama, adalah dengan mencakup dimensi hikmah, kebijaksanaan, dan tujuan syariat itu sendiri.
Dalam konteks radikalisme, Ilmu Kalam menyediakan pembelaan yang kuat untuk menolak tafsir-tafsir ekstrem aqidah. Misalnya, pemikiran Abu Hasan al-Asy’ari mengenai keadilan Allah dan kebebasan manusia menunjukkan bahwa orang kuasa tetap akan bertanggung jawab atas hisab ketika dibangkit, (Asy’ari, 1980).
Dengan demikian boleh dikatakan bercita-cita untuk melakukan tindakan kekerasan atas nama yang dikehendaki Tuhan. Selain itu Ilmu Kalam juga menekankan nilai-nilai tasamuh (toleransi), serta i’tidal (moderat) yang perlu dikeluarkan dalam perekonomian sosial yang menyenangkan. Ilmu Kalam bisa menjadi obat penangkal ide algorythme radikal yang kerap muncul dari salah tafsir terhadap ajaran Islam yang haqiqi, (Esposito, 2005).
Tugas Ilmu Kalam dalam Hadapi Sekularisme
Sekularisme di kalangan masyarakat Muslim umumnya diposisikan sebagai pemisahan agama dari urusan sosial-politik, dimana agama hanya relevan dalam skala privat (Al-Attas, 1993).
Biarpun pendapat ini menolak gagasan bahwa Islam Agama yang manambahi (komprehensif dari bearding), antar lain menentukan pilihan dalam setiap sisi dari kehidupan, individu ataupun kolektif. Sekulerisme sering kali memperoleh legitimasi dari pernyataan bahwa agama tidak bisa menjawab tantangan modernitas, lebih-lebih dalam hal sains, politik, dan ekonomi (Hefner, 2000).
Dari sini Ilmu Kalam hadir untuk membantah asumsinya. Dengan metode rasional yang mengsintesis wahyu (naql) dan akal (‘aql) Ilmu Kalam membuktikan bahwa agama dan akal bersaudara (Muthahhari, 2002).
Mulai dipaparkan Ulama Kalam santa Abu Mansur al-Maturidi bahwa akal manusia menjadi faktor penting dalam memahami dan mengaplikasikan ajaran agama di tengah dinamika kehidupan dunia. Agama memberikan pokok, akalnya yang membantu menyempurnakannya dalam dinegasiasi kehidupan yang berubah ubah.
Retorika Ilmu Kalam untuk menunjukkan bahwa agama tidak ketinggalan dimana pun, bahkan menjadi jawaban atas kemelut-kemelut sosial dan politik umat manusia. Islam menurut Ilmu Kalam, tidak perlu ditakdirkan diranah pribadi, melainkan harus punya peranan aktif dalam membangun peradaban modern yang adil dan berkeadaban (Nasr, 1996).
Maka gagasan sekularisme yang menghindari agama dari kehidupan masyarakat bukan lah pilihan tepat bagi masyarakat Muslim. Ilmu Kalam malah menawarkan alternatif tengah-tengah, agama polesan, baik moderat, rasional, konstruktif.
Ilmu Kalam dalam Menghadapi Radikalisme & Sekularisme
Ilmu Kalam punya peran besar memecahkan tantangan radikalisme dan sekulerisme itu dangan beberapa hal, antara lain:
Mula-mula, Ilmu Kalam menyediakan metode dakwah dialogis, rasional, berbasis penggunaan argumentasi logis (Quraish Shihab, 2007). Pandangan ini memungkinkan debat keagamaan berkembang silih berganti secara seimbang, jernih dan bebas dari fanatisme, bias kelompok.
Dalam konteks pertarungan di tengah-tengah perdebatan dengan kelompok ekstrem, pendekatan ini cenderung menjunjung tempat mencari kebenaran melalui dialog persatuan dengan menghormati perbedaan pandangan.
Kedua, Ilmu Kalam meneguhkan prinsip Islam wasathiyah (moderasi), penekanan keseimbangan, keadilan, dan toleransi (Azra, 2002). Dalam konteks Indonesia, Islam wasathiyah adalah salah satu fondasi penting menuju tercipta keselarasan sosial di tengah berkelap kelip kebhinekaan bangsa.
Ilmu Kalam memperkuat prinsip ini, dengan landasan teologis yang kokoh, sehingga dapat sebagai teladan umat islam dalam menjaga integrasi bangsa tanpa memberhentikan identitas ke islaman yang demikian penting.
Ketiga, Ilmu Kalam perlu dikemas menjadi sistem kurikulum pada pembelajaran agama Islam baik di tingkat sekolah dasar maupun perguruan tinggi. Dengan pendidikan yang berbasis Ilmu Kalam akan muncul generasi Islam yang berpemikiran rasional, kritis dan terbuka terhadap alam ilmu dan teknologi namun tetap menjalankan sikap sadar agar Islam dapat maju sebagaimana yang telah dicontohkan Rasul zaman dulu (Syahrin, 2004).
Dengan demikian, umat Islam pun dapat memberikan respons terhadap tantangan zaman tanpa terpedaya dan kembali ke ekstremisme-dua (radikalisme dan sekularisme yang berlebihan).
Kesimpulan
Ilmu Kalam punya peran penting meredam wajah radikalisme dan sekularisme abad modern ini. Dengan metode yang menekankan pada rasionalisme, moderan, dan sungguh-sungguhnya integratif antara wahyu dan akal budi, Ilmu Kalam mampu melindungi umat islam dari percampuran pemikiran sekuler dan radikal yang dapat menghanguskan citra tatanan masyarakat (Rahman, 1982).
Baik radikalisme maupun sekularisme aspeknya menurut saya adalah dapat merusak kedamaian masyarakat yang adil dan harmonis. Dikarenakan itu pula, perlu dilakukan pengembangan Ilmu Kalam sebagai bahan pemikiran dan praksis umat Islam untuk tidak berhenti, baik dalam bidang dakwah, pendidikan, ataupun dalam akar kehidupan sosial-politik. Mudzakkarah itu karena tujuan secara demikian terlahir masyarakat Muslim wasathiyah, rasional dan adab.
Daftar Pustaka
Abdul Karim. (2013). Pemikiran Kalam: Kajian atas Teologi Islam Klasik dan Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers.
Al-Attas, S. M. N. (1993). Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ISTAC.
Al-Jabiri, M. A. (2003). Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi [Struktur Nalar Arab]. Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-‘Arabiyah.
Arkoun, M. (1994). Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers. Boulder: Westview Press.
Asy’ari, A. H. (1980). Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Musallin. Beirut: Dar al-Mashriq.
Azra, A. (2002). Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi. Jakarta: Kompas.
Esposito, J. L. (2005). Unholy War: Terror in the Name of Islam. Oxford: Oxford University Press.
Fakhry, M. (1983). A History of Islamic Philosophy (2nd ed.). New York: Columbia University Press.
Hanafi, H. (2005). Islam dalam Cakrawala Keilmuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hefner, R. W. (2000). Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia. Princeton: Princeton University Press.
Madjid, N. (2000). Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan. Jakarta: Paramadina.
Muthahhari, M. (2002). Pengantar Ilmu Kalam. Bandung: Mizan.
Nasr, S. H. (1996). Science and Civilization in Islam. Cambridge: Harvard University Press.
Nasution, H. (1996). Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran. Bandung: Mizan.
Quraish Shihab, M. (2007). Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan.
Rahman, F. (1982). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press.