KULIAHALISLAM.COM – Buya Mansoer Daoed Datuk Palimokayo lahir di Bangka, VII Koto, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 17 Safar 1313 H/10 Maret 1905 dan wafat di Padang, 4 Rabiulawal 1406 H/November 1985 M. Ia merupakan seorang Ulama besar Indonesia, tokoh adat Minangkabau dan Diplomat Indonesia.
Pendidikannya dimulai dari sekolah Desa dan dilanjutkan ke Vervolgschool (Sekolah Sambungan) di kampungnya, Balingka dan Gouvernement Hollandsch Inlandsche School (Sekolah Dasar Negeri) di Lubuksikaping.
Namun pelajarannya di sekolah tersebut tidak dapat diselesaikannya karena dia harus pindah ke Padangpanjang. Di kota inilah dia menyelesaikan sekolahnya. Setelah itu, dia belajar agama Islam di Sumatera Thawalib sore hari dan belajar di Diniyah School asuhan Zainuddin Labay El-Yunusy (1890-1924 M).
Dilihat dari segi tujuan, kedua sekolah tersebut cukup berbeda. Jika Sumatera Thawalib bertujuan untuk mencetak kadar ulama, maka Diniyah School bertujuan untuk menciptakan muslim intelektual. Tetapi kedua tujuan ini terpadu menjadi satu pada diri Mansoer Daud.
Pada tahun 1923 dia menunaikan ibadah Haji ke Mekah. Kesempatan ini dipergunakannya untuk memperdalam ilmu agama Islam di Masjidil Haram di bawah bimbingan Syekh Abdul Qodir Al-Mandili, yang merupakan Imam Masjidil Haram yang berasal dari Mandailing Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.
Tetapi kesempatan untuk mendalami agama Islam di Mekah hanya satu tahun akibat meletusnya Perang antara Hedzaj di bawah pimpinan Sultan Abdul Syarif Husein dan Nejd di bawah pimpinan Sultan Abdul Aziz Ibnu Saud. Maka pada tahun 1924 dia kembali ke Indonesia lalu memasuki Perguruan Islam Parembek, Bukittinggi, di bawah asuhan Syekh Ibrahim Musa (1882-1963 M).
Tetapi di perguruan ini pun dia tidak lama belajar karena pada tahun yang sama dia berangkat ke India untuk menuntut ilmu di Perguruan Islam Lucknow di bawah asuhan Abdul Kalam Azad (1888-1938 M), yang merupakan seorang ulama besar India. Setelah itu dia memasuki Islamic College di bawah pimpinan Maulana Syaukat Ali dan Muhammad Ali yang keduanya dikenal sebagai pemimpin besar Partai Khilafat India.
Di India, dia melanjutkan perjalanannya ke beberapa negara di Asia dan Eropa di antaranya Mesir, Suriah, Turki, Libanon, Irak, Yordania, Yunani, Italia, Rumania, Perancis, Yugoslavia dan Jerman.
Pada tahun 1930 dia kembali ke Indonesia. Ketika berlangsung Kongres I Sumatra Thawalib (22-27 Mei 1930 M) yang mengubah nama organisasi tersebut menjadi Persatuan Muslimin Indonesia (PMI), dia ditunjuk sebagai salah seorang anggota pengurus besar PMI. Pada Kongres I PMI di Payakumbuh tahun 1930 dia terpilih sebagai sekretaris jenderal PMI.
Pada Kongres II PMI di Padang tahun 1931 yang memutuskan mengubah organisasi sosial ini menjadi partai politik yang dikenal dengan nama Persatuan Musliminin Indonesia (PERMI), dia pun ditunjuk sebagai sekretaris jenderal partai ini. PERMI berada di bawah tokoh-tokoh Sumatera Thawalib dan para bekas Mahasiswa dari Cairo, Mesir seperti Mochtar Luthfi dan Ilyas Yakub yang memperkenalkan ideologi “Islam dan Kebangsaan”.
Pada tanggal 2 Desember 1932, ia ditunjuk PERMI sebagai ketua pelaksana Algemene Actie Protes Vergadering Permi, semacam tim perumus yang akan menyusun rancangan protes terhadap kebijaksanaan Belanda yang melakukan ordonansi sekolah partikelir yang lebih dikenal dengan nama ordonansi “Sekolah Liar“. Tetapi dia ditangkap ketika mengkampanyekan rencana protes yang disusun di Bengkulu, menyusul penangkapan pemimpin utama PERMI yaitu H. Jalaluddin Taib, H. Ilyas Yakub dan H. Mochtar Luthfi. Ketiga tokoh ini dibuang ke Boven Digul.
Pada bulan Juli 1933, PERMI melakukan sidang Pengurus Besar. Dalam sidang ini diputuskan bahwa dia dipercaya menduduki jabatan Ketua Umum sekaligus menjadi Pemimpin Umum Majalah PERMI yang bernama Medan Rakjat. Tetapi pemerintah Hindia Belanda melarang PERMI. Akibatnya dia ditangkap pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1934 dan dipenjarakan di Bukittinggi.
Beberapa lama kemudian dia dipindahkan ke penjara Suka Mulia di Medan. Dia dibebaskan dari penjara pada tahun 1935 dan dia kembali ke Bukittinggi kemudian setelah itu dia pergi ke Bengkulu kemudian melanjutkan kegiatan dakwah pencarian dana Pendidikan Agama Islam untuk Sumatera bagian Selatan.
Pada tahun 1942 dia kembali aktif dalam kegiatan organisasi. Bersama dengan Buya Dr. Sulaiman Ar Rasuli, dia membentuk sebuah badan koordinasi alim ulama yang bernama Majelis Islam Tinggi (MIT). Jabatan ketua Badan organisasi ini dipegang oleh Syekh Sulaiman Ar Rasuli sedangkan dia menjabat sebagai sekretaris.
Setelah Indonesia memperoklamasikan kemerdekaannya, MIT Sumatera melaksanakan Muktamar pertama. Dalam Muktamar ini Syekh Muhammad Jamil Jambek diangkat menjadi ketua dan Mansoer Daoed Datuk Palimakayo diangkat menjadi sekretaris MIT Sumatera.
Dalam perkembangannya, MIT menggabungkan diri ke dalam Masyumi dan datuk palimo Kayo menjabat sebagai sekretarisnya. Masyumi Ini pertama kali berkedudukan di Pematangsiantar yang waktu itu menjadi ibukota provinsi Sumatera. Pada tahun 1947, pemerintah pusat membagi Sumatera menjadi tiga provinsi yaitu Sumatera Utara Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan.
Partai Masyumi pun membentuk pimpinan Masyumi untuk setiap provinsi. Mansoer Daud Datuk Palimokayo yang akrab dipanggil dengan Buya Datuk ditunjuk menjadi pemimpin Masyumi di Sumatera Tengah.
Pada tanggal 2 – 4 Mei 1943 para pemuka adat Minangkabau yang melaksanakan musyawarah ada di Bukittinggi memilih Buya Datuk menjadi Ketua Umum Badan Permusyawaratan Adat Minangkabau.
Kemudian alim ulama dan mubaligh Sumatera tengah dalam musyawarah mereka pada 20-21 Agustus 1953 sepakat membentuk Badan Permusyawaratan Alim Ulama dan Mubaligh Islam Sumatera Tengah dan menunjuk Buya Datuk Palimokayo sebagai ketua umumnya. Ketika Pemilihan umum pertama Indonesia berlangsung tahun 1955, Buya Datuk terpilih menjadi salah seorang anggota Dewan Perwakilan Rakjat.
Namun jabatan ini tidak lama dipangkunya karena pada tanggal 20 September 1956 dia ditunjuk oleh pemerintah menjadi duta besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Irak. Dia kembali aktif ke Masyumi dengan menduduki jabatan ketua umum Masyumi wilayah Jakarta Raya sekaligus pengurus Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Pusat. Setelah itu, dia ditunjuk sebagai koordinator dewan dakwah Islamnya Indonesia untuk daerah Sumatera Tengah yang meliputi daerah Sumatera Barat, Riau dan Jambi yang berkedudukan di Bukittinggi.
Sejak itu dia mengabdikan dirinya di bidang dakwah dan berbagai kegiatan pendidikan Islam di Sumatera Barat. Pada 3 Januari 1968, ketika Rumah Sakit Islam Ibnu Sina didirikan di Bukittinggi, dia ditunjuk sebagai ketua Yayasan Rumah Sakit tersebut.
Dalam musyawarah alim ulama se-Sumatera Barat tanggal 16 – 27 Mei 1968 di Bukittinggi, ia terpilih menjadi ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Barat. Selain itu dia juga diangkat sebagai anggota dewan pertimbangan Majelis Ulama Indonesia Pusat. Pada tahun 1980 dia terpilih kembali menjadi ketua umum Majelis Ulama Indonesia Sumatera Barat.
Kemudian pada tahun 1984 ketika beberapa tokoh dan cendekiawan Islam di Padang membentuk Yayasan Dana Pembinaan dan Pengembangan Islam (YADAPPI), dia dipercaya untuk memimpin yayasan yang bertujuan untuk membantu perguruan-perguruan Islam di Sumatera Barat di bidang dana itu.
Tetapi tidak lama kemudian setelah mengalami sakit beberapa hari, ia meninggal dunia di Rumah Sakit Umum Dr. M. Jamil, Padang dan dimakamkan di pemakaman Tunggul Hitam Padang. Atas jasa-jasanya kepada bangsa Indonesia baik sebelum dan sesudah Indonesia merdeka, pemerintah Indonesia memberikan penghargaan kepada Mansoer Daoed Datuk Palimokayo sebagai salah seorang perintis kemerdekaan Republik Indonesia melalui surat keputusan Menteri Sosial No. Pol.16/II/PK tanggal 20 Mei 1960 yang kemudian dikuatkan lagi dengan surat keputusan Menteri Sosial No.Pol.103/63/PK tanggal 13 Juni 1963.
Sumber : Enskilopedia Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta