Keislaman

Burung Hud-hud Epistemologi Qur’ani

4 Mins read

Dalam Islam, pengetahuan bukan sekadar fakta, tapi harus dapat dipertanggungjawabkan dan selaras dengan nilai spiritual. Kisah Hud-hud dalam Surah An-Naml menunjukkan bagaimana informasi pengetahuan diuji, diverifikasi, dan disampaikan dengan tanggung jawab. Artikel ini mengajak kita memahami epistemologi Islam lewat peran Hud-hud, yang menghubungkan pengetahuan, keberanian menyampaikan kebenaran, dan tauhid sebagai pusat pengetahuan.

Ketidakhadiran Hud-hud sebagai Celah Epistemik

وَتَفَقَّدَ الطَّيْرَ فَقَالَ مَا لِيَ لَآ اَرَى الْهُدْهُدَۖ اَمْ كَانَ مِنَ الْغَاۤىِٕبِيْنَ

Artinya: “Dia (Sulaiman) memeriksa (pasukan) burung, lalu berkata, “Mengapa aku tidak melihat Hudhud? Ataukah ia termasuk yang tidak hadir?”

لَاُعَذِّبَنَّهٗ عَذَابًا شَدِيْدًا اَوْ لَاَا۟ذْبَحَنَّهٗٓ اَوْ لَيَأْتِيَنِّيْ بِسُلْطٰنٍ مُّبِيْنٍ

Artinya: “Pasti akan kuhukum ia dengan hukuman yang berat atau kusembelih ia, kecuali jika ia datang kepadaku dengan alasan yang jelas.”

An-Naml ayat 20-21 memberikan informasi kepada kita bahwa dalam sistem pemerintahan Sulaiman, setiap makhluk mempunyai fungsi epistemologis tertentu. Pada ayat di atas misalnya, burung hud-hud bukan hanya sekadar elemen pemerintahan Sulaiman, melainkan merupakan bagian dari sumber pengetahuan kerajaan Sulaiman.

Ketidakhadiran burung Hud-hud memberikan celah epistemik, yang mana terdapat dugaan adanya kemungkinan sebuah informasi luput dari perhatian, dikarenakan absennya Hud-hud sebagai sumber pengetahuan Sulaiman.

Pada konteks ini, Hud-hud memiliki peran sebagai informan alam. Sehingga ketidakhadirannya bukan hanya sekadar kelalaian saja, melainkan sebuah ancaman atas kelengkapan data pengetahuan serta ancaman putusnya koneksi antara kekuasaan dan realitas yang berlangsung.

Pengetahuan Harus Dapat Dipertanggungjawabkan

Ayat di atas juga memberikan pemahaman bahwa etika dan moral menjadi elemen penting dalam epistemologi Islam, yang mana informasi atas pengetahuan harus dapat dipertanggungjawabkan sebagaimana frasa mubin (nyata/jelas) yang memberikan penekanan mengenai syarat epistemik, yaitu pengetahuan harus dapat dijelaskan, dibuktikan, dan diverifikasi kebenarannya.

Oleh karenanya, Sulaiman tidak langsung menghukum Hud-hud, melainkan memberikan kesempatan bagi Hud-hud untuk membuktikan klaim kebenaran atas informasi pengetahuan yang ia bawa.

Sanksi yang akan diberikan Sulaiman atas ketidakhadirannya Hud-hud di atas secara implisit menjelaskan bahwa alam sistem pengetahuan dalam Islam tidak mentoleransi absennya tanggung jawab ilmiah. Informasi pengetahuan tidaklah hanya disampaikan saja, melainkan harus disertai kelengkapan metodologis. Oleh karenanya epistemologi Islam selalu mengedepankan pertemuan antara moral dan etika.

Baca...  Tafsir Fi Zilal Al-Qur’an: Sebuah Pengantar

Klaim Pengetahuan dan Otonomi Epistemik

فَمَكَثَ غَيۡرَ بَعِيدٖ فَقَالَ أَحَطتُ بِمَا لَمۡ تُحِطۡ بِهِۦ وَجِئۡتُكَ مِن سَبَإِۢ بِنَبَإٖ يَقِينٍ ۝ إِنِّي وَجَدتُّ ٱمۡرَأَةٗ تَمۡلِكُهُمۡ وَأُوتِيَتۡ مِن كُلِّ شَيۡءٖ وَلَهَا عَرۡشٌ عَظِيمٞ ۝ وَجَدتُّهَا وَقَوۡمَهَا يَسۡجُدُونَ لِلشَّمۡسِ مِن دُونِ ٱللَّهِ وَزَيَّنَ لَهُمُ ٱلشَّيۡطَٰنُ أَعۡمَٰلَهُمۡ فَصَدَّهُمۡ عَنِ ٱلسَّبِيلِ فَهُمۡ لَا يَهۡتَدُونَ ۝ أَلَّا يَسۡجُدُواْ لِلَّهِ ٱلَّذِي يُخۡرِجُ ٱلۡخَبۡءَ فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَيَعۡلَمُ مَا تُخۡفُونَ وَمَا تُعۡلِنُونَ

Dan tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata, “Aku telah mengetahui sesuatu yang belum engkau ketahui, dan aku datang kepadamu dari (negeri) Saba’ membawa suatu berita yang pasti. Sesungguhnya aku menjumpai seorang perempuan yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta memiliki singgasana yang besar. Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah matahari, bukan kepada Allah; dan setan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak mendapat petunjuk. (Mengapa mereka tidak) bersujud kepada Allah yang mengeluarkan apa yang terpendam di langit dan di bumi dan yang mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan?” (Q.S. An-Naml: 22–25).

Hud-hud menghadap kepada Sulaiman secara langsung dengan memberikan sebuah klaim epistemik. Ia mengatakan kepada Sulaiman bahwa ia akan memberikan informasi yang belum diketahui oleh Sulaiman sebelumnya. Makhluk kecil tersebut berani dengan klaim kebenaran atas informasi yang ia bawa, serta menyampaikannya pada seorang nabi dan raja. Narasi ini mengisyaratkan kepada kita bahwa kebenaran tidak identik dengan status, siapa pun boleh memiliki klaim kebenaran, asal dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Kata nabā’in menurut tafsir Mafātīḥ al-Ghayb memang cocok dipakai pada ayat tersebut daripada kata khabar, dikarenakan informasi yang dibawa oleh Hud-hud bukan sekadar informasi biasa. Oleh karena itu, ayat di atas secara implisit memberikan tanda bahwa informasi pengetahuan yang disampaikan Hud-hud tersebut memiliki kepastian epistemik.

Baca...  Menyingkap Rahasia Nur Muhammad dalam Jati Diri Seorang Sufi

Hud-hud memperoleh informasi tersebut bersumber dari observasi langsung. Ia telah menjalankan tanggung jawab ilmiah atas informasi tersebut dengan cara mengamati dan menilai. Sehingga informasi pengetahuan Hud-hud tersebut dapat dibuktikan secara ilmiah.

Di sini, Hud-hud menjadi simbol mengenai otonomi epistemik. Ia tidak menunggu intruksi dari Sulaiman untuk mengekplorasi tentang pengetahuan di sekelilingnya. Inisiatifnya tersebut menandakan bahwa dalam pendangan Islam, kebenaran dapat datang dari siapa pun yang memilih terbuka atas realitas serta memiliki kemampuan untuk menyampaikannya.

Observasi Terhadap Struktur Sosial dan Religius

Dalam tafsir Mafātīḥ al-Ghayb disebutkan bahwa informasi yang dibawa Hud-hud melibatkan upaya naẓar (pengamatan) dan ta’ammul (perenungan). Hud-hud menyampaikan informasi tersebut dengan analisis mengenai sosiologis dan teologis. Ia memberikan informasi mengenai sistem pemerintahan (Innī wajadtu imra’atan tamlikuhum), kondisi material bangsa tersebut (Wa ūtiyat min kulli shay’in), dan pada akhirnya memberikan kritisi atas aspek spiritualnya (Wajadtu-hā wa qawma-hā yasjudūna lil-shamsi min dūni Allāh). Hal ini memberikan gambaran mengenai integrasi antara data empiris dan nilai normatif dalam bingkai epistemologi Qur’ani.

Hud-hud memahami bahwa dibalik kekuasaan dan kejayaan Negeri Saba’, terdapat penyimpangan spiritual. Oleh karenanya, informasi pengetahuan yang dibawakan oleh Hud-hud tidak hanya sekadar deskriptif, melainkan telah masuk dalam ranah kritik ideologis yang mengatakan kekuasaan tanpa mengesakan Allah adalah kekeliruan yang mutlak.

Dalam konteks ini, tauhid atau theo-sentrisme merupakan titik evaluasi epistemik dalam bingkai Islam, yang mempertanyakan apakah suatu sistem sosial mampu membawa manusia pada kebenaran mutlak (ilahi) atau justru menjauhkan dari kebenaran tersebut?

Tauhid: Titik Pusat Epistemologi Islam

ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ رَبُّ ٱلۡعَرۡشِ ٱلۡعَظِيمِ

“Allah, tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Tuhan (yang memiliki) ‘Arsy yang agung.” (An-Naml: 26).

Dalam epistemologi Islam, sebuah pengetahuan sejatinya akan mengatarkan manusia pada ketauhidan. Oleh karenanya, Hud-hud tidak berhenti pada ranah deskriptif dan kritik saja, namun ia secara tegas menyampaikan klaimnya atas kebenaran tauhid.

Baca...  Hermeneutika Sufisme: Menyelami Makna Pengenalan Diri Terhadap Eksistensi Pengenalan Tuhan

Dalam frasa Allāhu lā ilāha illā huwa rabbul-‘arshil-‘aẓīm, Hud-hud menunjukkan bahwa Allah adalah inti dari kosmologi Islam. Ia menyatakan Allah sebagai satu-satunya pemilik kekuasaan mutlak. Hal ini menunjukkan bahwa dalam Islam, pengetahuan tidak boleh hanya berhenti pada fakta ilmiah, melainkan harus mengarah pada ranah transenden. Oleh karenanya, pengetahuan dan iman bukanlah dua jalan yang saling mejauh, melainkan dua jalan selalu yang beriringan.

Verifikasi sebagai Etika Pengetahuan

قَالَ سَنَنظُرُ أَصَدَقۡتَ أَمۡ كُنتَ مِنَ ٱلۡكَٰذِبِينَ ۝ ٱذۡهَب بِّكِتَٰبِي هَٰذَا فَأَلۡقِهۡ إِلَيۡهِمۡ ثُمَّ تَوَلَّ عَنۡهُمۡ فَٱنظُرۡ مَاذَا يَرۡجِعُونَ

“(Sulaiman) berkata, ‘Akan kami lihat, apakah engkau benar, atau engkau termasuk orang-orang yang berdusta.’ Pergilah dengan (membawa) suratku ini, lalu jatuhkanlah kepada mereka, kemudian berpalinglah dari mereka dan lihatlah apa yang mereka balas-kan.” (An-Naml: 27-28).

Sulaiman ternyata tidak serta-merta menerima informasi tersebut secara langsung, meskipun Hud-hud adalah burung yang ia percaya sebagai informan alam. Sulaiman lebih memilih untuk memverifikasi informasi tersebut melalui jalur diplomasi. Hal ini menunjukkan bahwa dalam epistemologi Islam, verifikasi atas pengetahuan adalah bagian dari proses epistemik. Kebenaran tidak berhenti pada klaim, namun harus melalui tahapan pengujian.

Dalam keilmuan modern. Peristiwa tersebut menekankan pentingnya peer review, klarifikasi, dan konfirmasi lintas otoritas/klaim. Dalam Islam, epistemologi tidak mengkultuskan satu sumber secara buta, melainkan perlu adanya integritas dan keterbukaan atas segala sumber yang memungkinkan.

Konklusi

Burung Hud-hud dalam QS. An-Naml: 20-28 bukan hanya karakter naratif, tapi simbol epistemologi Qur’ani. Ia mengajarkan bahwa pengetahuan sejati lahir dari keterbukaan, pengamatan kritis, keberanian menyampaikan kebenaran, dan orientasi tauhid.

Dalam era informasi yang penuh manipulasi, Hud-hud memberi pelajaran penting bahwa epistemologi harus dibangun di atas dasar kejujuran, spiritualitas, dan keberanian intelektual. Dalam Islam, ilmu bukan sekadar alat dominasi, tapi jembatan menuju Tuhan dan pembebasan umat manusia dari penyembahan terhadap selain-Nya.

2 posts

About author
Saddam Fachri merupakan Sarjana Agama lulusan Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Mas Said Surakarta. memiliki ketertarikan terhadap studi tafsir Al-Qur’an, khususnya dalam pendekatan kontekstual dan isu-isu kontemporer.
Articles
Related posts
Keislaman

Antara Kasih Sayang Allah atau Istidraj-Nya

3 Mins read
Pernahkah kita merasakan atau melihat teman kita yang sesama muslim dimana dia sangat menjaga ibadahnya seperti salat, mengaji Alqur’an bahkan rajin sedekah…
KeislamanPendidikan

Pengaruh Media Sosial Terhadap Pemahaman Akidah Gen-Z dan Solusi Pendidikan Islam

7 Mins read
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh media sosial terhadap pemahaman akidah pada generasi Z (Gen-Z) serta mengidentifikasi solusi pendidikan Islam yang…
KeislamanTafsir

Mengenal Tafsir Nurul Qur'an Dari Iran

8 Mins read
Kuliahalislam.com-Allamah Kamal Faqih Imani lahir 1934 Masehi di kota Isfahan, di lingkungan keluarga yang taat beragama. Dia menyelesaikan sekolah dasarnya di kota…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
ArtikelKeislamanSejarah

Imam Syafi'i Dituduh Syiah Oleh Khalifah

Verified by MonsterInsights