Penulis: Krisna Wahyu Yanuar*
Selepas nongkrong dengan teman-teman, kita membicarakan topik yang hangat yakni kemajuan teknologi, sempat saya berpikir, like dan komen apakah merubah kehidupan kita? Pada realitanya di dunia baru ini atau dunia maya semua bebas untuk menilai kehidupan orang lain. Yang mana berpengaruh dengan kesehatan mental, kemudian ada pertanyaan dari hidup ini “kemana akhir dari diri sendiri?”
Semenjak dari pertanyaan- pertanyaan yang menghampiri, saya memahami kenapa kebanyakan manusia kerap kali overthingking atas dirinya sendiri. Menurutku itu sesuatu yang lumrah sebagai manusia, kegelisahan eksistensial akan dihadapi siapapun tak kenal atribut atau pangkat.
Aristoteles mengatakan “Eudaimonia” sebagai tujuan akhir manusia, berlainan dengan Stoic yang terlalu memfokuskan diri sendiri, hingga nanti lupa kalau penilaian mereka juga perlu untuk perkembangan kita. Kali ini pertanyaan diatas dan pertanyaan mengenai apa kebaikan tertinggi, dan bagaimana mencapainya akan dijawab oleh aliran “Epikurianisme”.
Epicurus meletakkan dasar-dasar Epicureanisme sebagai sekolah filsafat di Athena sekitar 300 SM. Ini tepat pada awal periode helenistik. Epicurus lahir sekitar tahun 342 SM di Samos dan meninggal 271 SM Epicurus hidup di masa gejolak intelektual yang hebat ketika mengekstraksi agama tradisional Yunani muncul.
Salah satu sumber utama ketidakbahagiaan manusia, menurut Epicurus, ini adalah ketakutan yang disebabkan oleh cerita-cerita takhayul sebuah fenomena alam. Menurut Epicurus, rasa takut itu harus dihilangkan. Kepercayaan akan campur tangan para dewa dalam agama populer harus dipatahkan dengan memberi penjelasan rasional dan naturalistik sebagai pengganti penjelasan takhayul. (M. C Kodoati: 2023)
Tapi hari ini, dewa- dewa dan cerita takhayul telah berkembang luas. Banyaknya disinformasi, hoax dan sara’ telah menjadi konsumsi publik sebagai agama “digital”. Banyak dari itu juga kita mengalami kelelahan yang sangat besar, akibat menuruti arus laju perkembangan fyp, atau algoritmik. Membawa kita kepada overthingking yang tidak jelas absurd.
Tapi pertanyaanya, apakah kita tetap berputar- putar pada keoverthingkingan itu? Mindset viral telah merubah cara bernalar juga mengambil sudut pandang kita tentang dunia. Dunia maya sesuatu itu abstrak, seharusnya kita harus pandai-pandai mengidentifikasi kebenaran. Dan mensadarkan diri kita yang terlalu manja akan teknologi.
“Telos” atau tujuan akhir dari hidup manusia, menurut Epikurianism adalah “Hedone”, yaitu kenikmatan. Tetapi dalam tanda kutip bukan kenikmatan sensual, tetapi hedonisme yang sekarang beredar adalah mengalami pergeseran makna. (Ismail: 2019)
Menurut Epikurus, manusia harus terbebas dalam tiga hal yakni pertama ketakutan akan dewa-dewa dalam tanda kutip melakukan sesuatu takut akan siksaan dan hukuman yang selalu orientasi surga atau neraka. Kedua Ketakutan akan kematian, ketiga ketakutan akan masa depan atau nasib. Ajaran dalam Epikurus mengenai “hedon” bahagia setara dengan kenikmatan adalah berkecukupan. (Ismail: 2019)
Ketakutan akan kematian adalah hal yang cukup membodohkan, karena pada hakikatnya manusia diciptakan akan mati, selama ia hidup berarti belum mati. Kata Gus Baha’ kematian tidak perlu ditakuti, itu juga sebagian nikmat- Nya, untuk menghentikan kejahatan kita. Kedua masa depan adalah hal yang penuh probablitas (tebakan) fokusnya bukan menebaknya tetapi, memainkan dan menjalani peranya.
Menurutku ketiga itu juga dialami oleh seluruh Homo Digitalis, yang mana ia takut akan teknologi, kemudian takut akan reputasi, status di media sosial, ketiga takut overthingking melihat content-content mewah bertebaran.
Menurutku itu berlebihan, teknologi pada akhirnya hanya sebuah bingkai dalam kebudayaan manusia, yang perlu di nikmati secukupnya, kedua status atau pun atribut di media sosial hanyalah delusi, yang mana paling penting dari diri sendiri adalah “Karakter yang Autentik”, status, citra di media sosial seperti gunung pasir ketika ombak menyapu hilang sudah gunungan itu. Kemudian jangan terlalu menirukan sesuatu yang tidak sesuai dengan fakta sosial yang kita alami, biarkan conten- conten flexint atau apapun itu di nikmati hanya sebatas hiburan.
Menurutku menulis adalah sarana paling baik untuk menyampaikan kegelisahan- kegelisahan tersebut. Tentunya harus dimulai dengan titik perjalanan spiritual, mencari mana yang benar, dan mencari hikmah yang kuasa menciptakan itu. Kemudian dari tulisan itu kita akan berbagi, tentang overthingking yang seharusnya dilampiaskan kepada hal yang konstruktif.
Kesepian Menuju Ketenangan
Ketika kita merasa bersalah, atau berlebihan memikirkan diri kita, atau pun yang memiliki masalah, kerap kali agama menjadi pelampiasan. Karena dalam agama ada yang namanya spiritualitas dan religiusitas. Dua aspek itu yang mendorong manusia untuk memahami dirinya sendiri, makanya ada jargon “kenali dirimu baru kenali Tuhanmu.”
Dalam mengenali diri sendiri, untuk tujuan menyembuhkan diri sendiri, ada satu patokan yang saya pernah alami, dahulu saya ketika kesepian juga pernah dalam keadaan seperti itu, tapi lantas berpikir, saya akan tidak ada, dan hidup adalah sebuah anugerah, beristirahat boleh asal jangan sampai terbesit mengakhiri hidup.
Memang pada hari ini kita dituntut lebih akan kehidupan yang keras, tetapi dibalik itu kita bisa bertahan dengan menyadari ada yang lebih tertekan dibawah kita. Dan sebaiknya kita mensyukuri kehidupan yang begini-begini saja. Di era kini, menyendiri untuk memahami diri sendiri satu hari kosong adalah yang hadiah yang penting, “Waktu luang adalah Ibu dari Filsafat- Tomas Hobbes”. Kemudian kita kembali bekerja. Manusia itu bukan robot, dia makhluk yang berpikir memiliki perasaan.
Dengan itu kita dapat bermuhasabah atas tuntutan yang keras, dengan pasrah ataupun menerima diri sendiri sebagai kenyataan, menyadari kehidupan itu dinamis adalah penting, tidak selalu kita itu dibawah. Pada akhirnya obyek- obyek luar yang menuntut kita, akan menjadi sebuah bimbingan dalam mendidik kita, menjadi manusia merdeka, “dari gelap habislah terang”. Pendidikan terbaik bermula dari diri sendiri, karena kebijaksanaan hanya dapat dipahami jika kita sudah memahami diri sendiri.
Overthingking bukan penyakit, ia dapat di kelola dengan baik secara rasional jangan terlalu dilebih- lebihkan dengan seuatu yang abstrak. Kita harus overthingking, jika tidak, justru kita akan menghadapi hidup dengan sembrono, yang mana justru menjadikan kita mudah keletihan yang hebat, mengontrol yang diluar kendali kita. Obyek luar akan mengikuti kita, jika kita berhasil yang namanya membangkitkan kesadaran, Self Awakening.
Dunia yang saling terhubung, semua bebas berinteraksi, hal- hal yang membuat negatif untuk kita, akan menjadikan tunggangan untuk kita berpikir positif dan melakukan hal yang lebih positif lagi. Terlepas dari agama mengajarkan doktrin, mari kapan- kapan kita menjelajahi dunia yang luas lagi, jangan jadikan overthingkingmu memikirkan hal- hal yang sempit, mari luaskan, supaya kita menjadi orang yang ulet dalam menghadapi dunia ini.
Dalam dunia ini kata yang terbaik adalah, sayangi tubuhmu, sayangi jiwamu, kata bijak latin mengatakan “Men Sana Corpore In Sano”, jiwa yang sehat dalam tubuh yang sehat juga” maka perhatikan juga sisi kejiwaanmu, untuk mengisinya dengan hal- hal yang menurutmu bisa mengantarkan pada penerimaan diri. Semangat menjalani hidup, apa yang dikenang setelah kita meninggal, maka pikirkanlah, sayangi jiwamu !. Sekian, Semoga Bermanfaat
*) Mahasiswa UIN SATU Tulungagung
Referensi:
Ismail Maryam. 2019. “Hedonisme dan Pola Hidup Islam”, Jurnal Ilmiah Islamic Resources FAI-UMI Makassar, Vol 16, No 2. Hlm 195.
Kodoati Charles Michael. 2023. “Epikureanisme dan Stoikisme: Etika Helenistik untuk Seni Hidup Modern”, MEDIA: Jurnal Filsafat dan Teologi, ol. 4, No. 1, hlm 93.