KULIAHALISLAM.COM – Benarkah kepercayaan terhadap Surga dan Neraka hanya hipotesa ? Ketika saya berbincang dengan seseorang soal alam akhirat, surga, neraka, orang tersebut membuat pernyataan bahwa keberadaan surga dan neraka itu berkaitan dengan konsep keadilan Tuhan.
Karena di dunia ini ada benar dan ada salah, ada kebaikan dan keburukan, ada si lalim dan ada si teraniaya yang mustahil semua bisa dituntaskan oleh pengadilan dunia. Artinya melihat soal tersebut dari aspek akal budi maka orang itu melihat serta menilai dari aspek lain, ia menyatakan kepercayaan saya pada surga neraka “sekadar hipotesa.”
Sumber gambar: Tempo.co |
Tentu saja saya jadi tertegun, setahu saya istilah “hipotesa” adalah terminologi yang biasa dipakai dalam dunia sains untuk memposisikan sebuah rumusan yang sifatnya baru dugaan sementara, artinya belum final. Karena belum final—belum merupakan kebenaran empiris maka terus dicari bukti-bukti baru agar status kebenarannya bisa dipastikan apakah sebuah kebenaran empiris atau bukan.
Artinya hipotesa adalah sebuah tahapan ilmiah dalam sains dalam rangka tujuan mencari kebenaran empiris—bukan mencari kebenaran metafisik seperti kebenaran rasional.
Nah sekarang apakah istilah “hipotesa” ini cocok digunakan sebagai instrumen untuk mengelaborasi persoalan metafisik ?
Seperti yang disepakati para ahli metafisika termasuk yang membahas soal ketuhanan itu tujuannya bukan untuk mencari kebenaran empiris tapi kebenaran metafisik seperti rasionalitas yaitu bentuk kebenaran yang bisa diterima akal pikiran. Ilmu teologi atau hukum logika adalah contohnya.
Jadi final dari mencari kebenaran metafisik itu adalah rumusan-rumusan metafisik seperti pemahaman terhadap adanya surga dan neraka seperti yang saya sebut diatas. Karena final yang dicari adalah rumusan metafisik, maka pemikir metafisik tidak berbelok kepada membuat hipotesa-hipotesa sainstifik karena itu tidak relevan.
Pemikir metafisik perihal surga dan neraka tidak mempermasalahkan, misalnya, bukti surga dan neraka secara sainstifik sehingga harus ikut berhipotesa seperti para sainstis karena mereka hanya mencari pemahaman akali-akalbudi. Jadi, buat apa membuat hipotesa tentang surga dan neraka ?
Itulah pemakaian terminologi sains bila dipakai secara serampangan diranah metafisika bakal menimbulkan kontradiksi diantaranya dari segi tujuan. Apa yang orang cari di ranah metafisika, apakah mencari kebenaran empiris sebagaimana sains ?
Jadi pencarian ilmu kebenaran itu mengenal finalisasinya tersendiri dan finalisasi di ranah fisik berbeda dengan di ranah metafisik. Di ranah fisik-sains (ilmu dunia fisik-materi) finalisasinya adalah kebenaran empiris. Artinya kebenaran tertinggi dan terakhir dalam pandangan sains adalah kebenaran empiris.
Tetapi seperti kita tahu manusia itu mustahil bisa mengetahui kebenaran empiris secara utuh menyeluruh karena pengalaman dunia indrawi walau ditopang peralatan sains tetap terbatas.
Maka ilmu metafisik seperti yang di gumuli dalam filsafat dan agama itu orientasi mencari—mendalami hal metafisik dibalik yang fisik sebab itu muara, tujuan atau finalisasi yang dicari oleh ilmu metafisik berbeda dengan ilmu fisik.
Finalisasi ilmu atau wacana metafisik adalah membuat rumusan, konklusi, proposisi, simpulan metafisik bukan rumusan atau konklusi fisik seperti rumus fisika.
Dan para ahli metafisika paham bahwa realitas itu mustahil keseluruhannya bisa di empiriskan secanggih apapun sains sebab itu konsekuensinya adalah akan banyak hal gaib bagi manusia. Misalnya, sains tidak akan bisa menjawab apa yang akan terjadi sesudah mati atau apa yang terjadi sebelum bigbang atau sampai batas mana alam semesta kecuali sebatas berhipotesa.
Nah karena kemustahilan realitas keseluruhannya bisa di empiriskan itulah maka ilmu metafisika tidak fokus mengejar-ngejar fakta empiris tapi lebih kepada mencari pemahaman metafisik dibalik yang fisik.
Maka dalam ranah metafisika lahir beragam ilmu yang tujuannya membuat konklusi atau rumusan metafisik. Dalam ranah filsafat kita mengenal konsep ilmu logika, dalam ranah agama kita mengenal konsep ilmu hakikat dan ilmu hikmat.
Ilmu logika mendalami—melogikakan beragam fenomena dengan cara berpikir akal budi untuk membuat rumusan-rumusan akali yang kita kenal konsep rasionalitas. Cukupkah dengan logika manusia bisa menjawab persoalan-persoalan metafisik ? Jawabnya, tidak, karena akal manusia terbatas dan mustahil bisa menjawab persoalan metafisika yang lebih sulit.
Sebab itu kita mesti menapak ke bentuk ilmu lain yang memiliki otoritas yang lebih tinggi yang melampaui hasil berlogika manusia. Maka dalam agama kita mengenalkan konsep ilmu hakikat dan ilmu hikmat yang menjawab hal-hal yang tidak bisa dijawab oleh filsafat—akal pikiran manusia.
Ilmu hakikat memberitahukan hakikat terdalam dari segala suatu yang memang hanya bisa diberitahukan sang penciptanya sendiri. Sedangkan hikmat mengajarkan makna atau maksud tujuan Ilahiah dibalik segala suatu.
Itulah, intinya beda dengan para saintis, para ahli metafisika tidak bermain hipotesa atau menggunakan peralatan ilmu sains yang biasa digunakan dalam rangka mencari finalisasi yang bersifat empiris karena finalisasi yang dicari adalah konsep-konsep metafisik. Kalaupun harus memakai peralatan sains itu sebatas sebagai alat bantu untuk menopang suatu proposisi metafisik.
Dalam dunia sains banyak bahasan yang masih kategori ranah teoritis dan disana hipotesa-hipotesa pasti banyak dimainkan dan di sisi lain-—pada kutub yang berbeda banyak wacana metafisik yang dibicarakan dan di diskusikan dan disini spekulasi-spekulasi metafisik tetap akan selalu ada sebagaimana hipotesa dalam dunia sains.
Filsafat itu didalamnya berisi spekulasi-spekulasi metafisik disamping rumusan metafisik semisal hukum logika. Tapi kurang tepat mengganti istilah “spekulasi” dengan “hipotesa” misalnya karena maknanya bakal berbeda, spekulasi bermakna metafisik sedang hipotesa bermakna sainstifik. Dalam sains pun istilah “spekulasi” tidak banyak digunakan sebagaimana istilah “hipotesa”. Orang tidak menyebut bigbang sebagai spekulasi tapi sebagai “hipotesa.”
Artinya, karena menggunakan istilah serta metode berbeda dan tujuannyapun berbeda maka karakter dua bahasan ini tetap akan selalu berbeda, dan tak boleh memaksa harus serba disederajatkan, misalnya memaksa kaum beragama mengempiriskan keyakinan metafisik mereka ini bakal absurd dan melenyapkan makna ilmu metafisika. Yang harus dipahami dari kaum metafisik itu pandangan metafisik—misalnya bukan selalu mempersoalkan bukti empiris dari apa yang mereka yakini.
Sebab itu tak layak membawa peralatan sains ke ranah metafisik untuk mengukur atau menyelesaikan atau menghakimi persoalan metafisik tertentu karena itu bakal menimbulkan absurditas dan kekacauan metodologis.
Intinya dalam dunia ilmu pengetahuan orang mesti bisa bijak dan bisa memilah mana ranah sains, mana ranah filsafat dan mana ranah agama. Demikian pula peralatan ilmu yang bagaimana yang harus dipakai ketika menggumuli masing-masing institusi keilmuan tersebut.
Karena kita harus paham bahwa kebenaran itu tidak satu dimensi karena ada kebenaran fisik dan kebenaran metafisik dan ilmu untuk menelusuri dua bentuk kebenaran itu pada dasarnya ada dua diantaranya ilmu fisik dan ilmu metafisik dan masing-masing memiliki turunan—kaidahnya tersendiri.
Oleh: Irwan Wiharja