Kontestasi demokrasi lima tahunan secara konstitusional baik pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah (Pemilu/Pilkada) merupakan resultan politik sebagai manifestasi kedaulatan rakyat untuk memilih dan di pilih secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) merupakan hal yang perlu terus dijaga dan diawasi, Bawaslu sebagai bagian penyelenggara pemilu yang diamanatkan UU untuk mengawasi proses Pemilu/Pilkada harus bersikap proaktif agar memastikan event Pemilu/Pilkada dapat berjalan secara adil dan seimbang antara calon yang memiliki kekuasaan dengan calon yang tidak memiliki relasi kuasa dilingkungan birokrasi pemerintahan.
Penting bagi Aparatur Sipil Negara sebagai pemerintahan yang mewkili kepentingan umum (general interest) untuk tidak terpengaruh oleh rayuan politik. Sebab ketidaknetralan ASN dapat merusak stabilitas politik. Urgensi netralitas ASN juga dipertegas dalam Pasal 71 UU No. 1/2015 yang berbunyi: “Pejabat Negara, Pejabat Aparatur Sipil Negara, dan Kepala Desa atau Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon selama masa kampanye”.
Jelang pemilihan kepala daerah provinsi kabupaten/kota 2024 mendatang, kabupaten Bima diwarnai berbagai persoalan. Utamanya adalah dimana birokrasi pemerintahan kabupaten Bima digunakan untuk kepentingan politik calon tertentu. Keterlibatan dan keberpihakan ASN dalam politik pada setiap tahapan Pilkada bukan lagi menjadi rahasia umum, dibeberapa media online akhir-akhir ini diwarnai persoalan keterlibatan ASN baik pada tahapan pendaftaran pasangan calon maupun deklarasi akbar yang dilakukan oleh pasangan calon secara terang-terangan melibatkan ASN.
Pada tahapan Pilkada provinsi kabupaten/kota terdapat bebebarapa kasus keterlibatan ASN dalam pilkada yang dilakukan oleh beberapa oknum ASN kabupaten Bima sebagai sampel persoalan, sebut saja pada momentum deklarasi IQBAL-DINDA dan pendaftaran pasangan Calon YANDI-ROS. Sementara itu, ditengah masifnya POLITISASI BIROKRASI DAN BIROKRASI BERPOLITIK Bawaslu kabupaten Bima yang diamanatkan oleh Undang-Undang sebagai pengawas pemilihan tidak memiliki taring dan miskin konsep dalam mencegah, mengawasi dan menindak pelanggaran-pelenggaran yang secara terang-terangan dilakukan oleh oknum-oknum birokrasi.
Bawaslu sibuk gelar kegiatan-kegiatan formalitas yang menghabiskan banyak anggaran negara. Himbauan-himbauan yang tidak berfaedah digalakkan seolah tidak berkuasa mencegah dan menindak. Sisi lain, kepala dinas, camat, kepala desa, kepala sekolah dan aparatur daerah kabupaten Bima lainnya tetap merasa bebas dan leluasa untuk berkampanye dan mendukung serta mengarahkan pilihan pada paslon tertetu tanpa merasa melakukan pelanggaran. Dengan tidak adanya tindakan tegas terhadap pelanggaran-pelanggaran tersebut saya menilai Bawaslu kabupaten Bima “ompong” dalam menjalankan fungsi pengawasannya. Hal ini juga memperkuat dugaan publik adanya aroma suap-menyuap dan kongkalingkong yang dilakukan paslon dan Bawaslu. Dengan demikian Bawaslu Kabupaten Bima gagal menciptakan pilkada yang adil dan stabil. Tagline cegah, awasi dan tindak hanya dihormati dalam retorika dan himbauan. Namun dihianati dalam tindakan.
Oleh. M. Yahya (Ketua Bidang Kajian dan Pengembangan Keilmuan, PC IMM Bima)