Bagaimana sebenarnya karakteristik Islam fundamentalis – Istilah fundamentalis asalnya dari Kristen di Amerika. Istilah pernah digunakan untuk merujuk pada fenomena Salafiyah-Wahabiyah, Sanusiyah dan Salafìyah Al Afghani. Pun juga istilah ini kemudian mengalami pelebaran, yaitu digunakan untuk semua gerakan revivalisme Islam.
Lalu disempitkan untuk gerakan muslim radikal, ekstrem, literal, garis keras. Dari penyempitan makna inilah, yang kini sering dijadikan sebagai “relational meaning” bagi kata “Islam Fundamentalis”. Karakteristik fundamentalisme yang berasal dari Kristen lain dilekatkan pada Islam adalah skriptualisme, yaitu keyakinan harfiah terhadap kitab suci yang merupakan firman Tuhan secara tekstual.
Dengan keyakinan itu, dikembangkanlah gagasan dasar yang menyatakan bahwa agama tertentu dipegang secara kokoh dalam bentuk literal dan bulat tanpa kompromi, pelunakan, reinterpretasi dan pengurangan.
Latar belakang timbulnya gerakan fundamentalis dalam Islam adalah: Permurnian ajaran Islam dari unsur-unsur asing yang dipandang sebagai penyebab kemunduran Islam, dan menimba gagasan-gagasan pembaruan dan ilmu pengetahuan dari Barat.
Gerakan fundamentalis Islam di Indonesia lebih banyak dipengaruhi oleh instabilitas sosial politik dalam dan luar negeri, mulai zaman penjajahan Belanda sampai akhir masa pemerintahan Presiden Suharto, serta masalah global yang dialami dunia Islam.
Kita tahu fundamentalisme pada awalnya digunakan hanya untuk menyebut penganut Katolik yang menolak modernitas dan mempertahankan ajaran ortodoks agamanya. Namun, saat ini, istilah itu juga digunakan untuk penganut agama-agama lainnya yang memiliki kemiripan sehingga ada juga fundamentalisme Islam, Hindu, dan Budha.
Seiring waktu, penggunaan istilah fundamentalisme menimbulkan citra tertentu, misalnya ekstremisme, fanatisme, atau bahkan terorisme dalam mempertahankan keyakinan keagamaan.
Sementara gerakan fundamentalis Islam di Indonesia lebih banyak dipengaruhi oleh instabilitas sosial politik dalam dan luar negeri, mulai jaman penjajahan Belanda sampai akhir masa pemerintahan Presiden Soeharto.
Era reformasi, kebebasan berpendapat dan berkelompok, merupakan momen bagi kaum fundamentalis untuk menyuarakan pendapatnya, menawarkan solusi mengatasi krisis multidimensi yang terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, dakwah bi al hikmah, nasihat harus terus dijalin dengan kelompok fundamental Islam untuk meluruskan sebagian dari mereka telah keluar dari rambu-rambu “amar ma’ruf nahi mungkar”.
Sejak kejatuhan Khilafah Utsmani pada tahun 1924, setiap kelompok masyarakat yang beragama Islam seolah-olah berlomba untuk membangkitkan kembali Islam dari keterpurukan yang dideritanya, terutama keterpurukan yang diakibatkan oleh imperalisme Barat. Konsekuensi logis dari usaha membangkitkan Islam tersebut berwujud dalam bentuk dedikasi Islam.
Semangat Pan-Islamisme yang bergelora itu mendorong Sultan Hamid II, untuk mengundang Al Afghani ke Istanbul. Gagasan ini dengan cepat mendapat sambutan hangat dari negeri-negeri Islam. Gagasan Pan-Islamisme redup setelah Turki Utsmani yang bersekutu dengan Jerman kalah dalam Perang Dunia I dan kekhalifahan dihapuskan oleh Mustafa Kemal.
Paham Fundamentalis masuk ke negeri-negeri Islam seiring dengan gagasan nasionalisme yang berasal dari Barat, melalui persentuhan umat Islam dengan Barat yang menjajah mereka dan dipercepat oleh banyaknya pelajar Islam yang menuntut ilmu ke Eropa atau lembaga-lembaga pendidikan Barat yang didirikan di negeri mereka.
Paham fundamentalis ini pada mulanya banyak mendapat tantangan dan pemuka-pemuka Islam, namun akhirnya berkembang dengan cepat setelah gagasan Pan-Islamisme redup dan semakin kuatnya hegemoni Barat mencengkram negeri-negeri Islam.
Karakteristik Paham Islam Fundamentalis
Karakteristik fundamentalisme yang dilekatkan pada Islam adalah skriptualisme, yaitu keyakinan harfiah terhadap kitab suci yang merupakan firman Tuhan secara tekstual. Dengan keyakinan itu, dikembangkanlah gagasan dasar yang menyatakan bahwa agama tertentu dipegang secara kokoh dalam bentuk literal dan bulat tanpa kompromi, reinterpretasi, dan pengurangan.
Banyak kelompok Islam yang menolak disebut sebagai fundamentalis, meski beberapa karakteristik yang menjadi platform gerakannya diberikan label fundamentalis. Sekurang-kurangnya penulis mengemukakan empat karakter paham Islam fundamentalis.
Pertama, cenderung melakukan interpretasi literal terhadap teks-teks suci agama, dan menolak pemahaman kontekstual atas teks agama karena pemahaman seperti ini dianggap akan mereduksi kesucian agama. Dari segi metodologi, pemahaman, dan penafsiran teks-teks keagamaan, kaum fundamentalis mengklaim kebenaran tunggal.
Kebenaran hanya ada di dalam teks dan tidak ada kebenaran di luar teks, bahkan sebetulnya yang dimaksud adalah kebenaran hanya ada pada pemahaman mereka terhadap hal yang dianggap sebagai prinsip-prinsip agama.
Tidak ada ruang bagi pemahaman dan penafsiran lain. Tidak ada kebenaran di luar itu, baik pada agama lain, maupun dalam aliran lain atau denominasi lain dari agama yang sama. Sikap yang demikian dalam memperlakukan teks keagamaan adalah sikap otoriter.
Seolah-olah upaya yang dilakukan oleh penafsir teks lalu dianggap itulah kehendak Tuhan. Para tokoh agama sekarang ini tidak lagi berbicara tentang Tuhan, melainkan berbicara atas nama Tuhan, bahkan menjadi corong Tuhan untuk menyampaikan pesan-pesan moral di atas bumi. Hal ini cukup berbahaya karena ketika terjadi perselingkuhan antara agama dan kekuasaan, maka yang muncul kemudian adalah otoritarianisme.
Kedua, menolak pluralisme dan relativisme. Bagi kaum fundamentalis, pluralisme merupakan produk yang keliru dari pemahaman terhadap teks suci. Pemahaman dan sikap yang tidak selaras dengan pandangan kaum fundamentalis, yang merupakan bentuk dari relativisme keagamaan. Hal itu terutama muncul tidak hanya dari intervensi nalar terhadap teks kitab suci, tetapi juga karena perkembangan sosial kemasyarakatan yang telah lepas dari kendali agama.
Ketiga, monopoli kebenaran atas tafsir agama. Kaum fundamentalis cenderung menganggap dirinya sebagai penafsir yang paling absah atau paling benar, sehingga memandang sesat kepada aliran yang tidak sepaham dengannya. Tidak bisa membedakan antara agama dan pemikiran keagamaan yang berbentuk tafsir.
Bahkan parahnya adalah adanya klaim hanya tafsir dan pendapatnya yang paling benar. Tafsir dan pendapat orang lain adalah salah. Sikap keagamaan yang seperti ini berpotensi untuk melahirkan kekerasan, dengan dalih atas nama agama, atas nama membela agama, atas nama Tuhan.
Keempat, setiap gerakan fundamentalis hampir selalu dapat dihubungkan dengan fanatisme, eksklusifisme, intoleran, radikalisme. Kaum fundamentalisme selalu mengambil bentuk perlawanan yang bukannya tak sering bersifat radikal terhadap ancaman yang dipandang membahayakan eksistensi agama dalam bentuk modernitas atau modernisme, sekularisasi atau tata nilai Barat pada umumnya.
Kaum fundamentalisme sebenarnya tidak serta-merta mesti memilih jalan kekerasan, namun banyaknya fundamentalis yang tidak sabar melihat penyimpangan dalam masyarakat dan melakukan tindakan kekerasan atas mereka yang dianggap bertanggung jawab.
Syahdan, sikap militan tidak jarang terlihat dengan jelas dalam gerakan fundamentalisme. Orang-orang fundamentalis merasa terpanggil, bahkan terpilih untuk meluruskan penyimpangan dalam bentuk pembelaan terhadap agama.
Hal ini tampaknya sangat wajar. Pesan-pesan dasar agama sudah sangat jelas, yang harus dilakukan adalah melaksanakannya dengan segala konsekuensinya, termasuk meluruskan orang-orang yang dianggap berusaha membelokkan pesan-pesan agama. Sikap fundamen tidak terbangun dengan sendirinya. Bisa jadi kesadaran tersebut lahir karena dialektika yang berlangsung secara produktif dalam dinamika hidup yang panjang.
Oleh: Salman Akif Faylasuf (Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di PP Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo).