Babi makhluk ajaib yang diharamkan untuk dikonsumsi dalam Alquran. Para cendekiawan kedokteran Islam zaman dahulu telah memahami bahwa nash-nash Alquran menganjurkan mereka supaya mempelajari semua yang ada di langit dan bumi. Para cendekiawan muslim dengan cemerlang menemukan ilmu hewan (zoologi), diantaranya Ibnu Sina dalam bukunya “Al-Wafa” yang mengupas masalah babi secara ilmu kedokteran.
Sama halnya dengan Zakariya bin Muhammad Al-Qazwiniy (1203-1283) dengan bukunya Aja’ib al-makhluqat wa ghara’ib al-maujudat (makhluk-makhluk ajaib dan hal-hal aneh yang ada).
Pada abad ke-12 Masehi, Al-Qazwiniy di dalam bukunya menjelaskan manfaat babi, dalam bukunya tersebut ia menemukan “jika taring babi direndam dalam minyak selama seminggu, lalu dioleskan pada kepala akan dapat memanjangkan rambut dan menghambat pertumbuhan uban, jika taring babi dijemur lalu ditempelkan pada wasir maka akan sembuh, kemudian air seni babi diminumkan kepada penderita sakit ayan maka penyakitnya akan hilang, daging babi lebih lezat dibandingkan daging binatang lainnya, tulang babi jika disambungkan dengan tulang manusia yang patah maka akan cepat lurus dan sembuh.”
Ibnu Sina (Bapak ilmu kedokteran modern) berkata “Jika kencing babi dicampur dengan perasan anggur dan diminum maka dapat menghancurkan kencing batu, kotoran babi digunakan sebagai pupuk pohon apel maka warna buahnya akan merah.”
Penelitian dan studi yang dilakukan para cendekiawan Islam zaman lampau mengenai babi, menunjukan bahwa mereka memandang bahwa tidak ada salahnya bagi orang yang melakukan studi tentang babi baik melalui dissection (pembedahan) atau secara teoritis, termasuk eksperimen-eksperimen ilmiah menurut ilmu kedokteran.
Jika kitab lihat dari segi sejarah, di masa pra-Islam, seluruh kawasan jazirah Arab yang membentang dari Hijaz (Saudi Arabia kini), negeri Syam (Syriah, Palestina, Yordania), Mesir, Afrika beternak unta, kambing (domba), unggas, jadi peternakan babi tidak diminati masyarakat saat itu.
Ayat pertama yang membahas ketentuan haramnya mengkonsumsi babi adalah Alquran Surah Al-Maidah ayat (3):
“Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah, daging babi, daging hewan yang disembelih disebut nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih.”
Dan QS. Al-Baqarah ayat (173) yang berbunyi “Diharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih disebut nama selain Allah, tetapi barang siapa yang dalam keadaan terpaksa memakannya sedang ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang.”
Daging babi merupakan binatang yang memiliki beberapa manfaat namun demikian syariat Islam mengharamkannya untuk dikonsumsi, hal ini merupakan ketentuan syariat yang wajib dipatuhi umat Muslim.
Sayyid Qutb dalam Tafsir Qur’annya bagian Surah Al-Baqarah berjudul “Fi Zhilalil Qur’an” (Di Bawah Naungan Qur’an) menyatakan bahwa pada hakikatnya daging babi diharamkan dalam Alquran karena mengandung banyak penyakit, cacing pita dan kemungkinan ada penyakit lain yang belum terungkap oleh sains dan teknologi yang bisa disebabkan karena mengkonsumsi daging babi.
Ahli kedokteran Islam dan Ulama Islam dari Al-Azhar University Of Cairo yaitu Prof Syekh Muhammad Mutawalli Sya’rawi (wafat.1998) mengungkapkan “Ketika perintah larangan memakan daging babi dilaksanakan, orang-orang belum mengerti hikmahnya, mereka didasari rasa keimanan yang tinggi, menerima tanpa alasan, mereka menyadari bahwa pasti ada hikmahnya dari setiap larangan Allah, tanpa boleh dipersoalkan dan dibahas oleh setiap mukmin, ia harus menerima utuh apa yang diperintahkan Allah.”
Lebih lanjut, Syekh Mutawalli Sya’rawi dalam karyanya Anda Bertanya Islam Menjawab menyatakan bahwa “Keimanan, adalah dasar setiap hukum yang datangnya dari Allah, hikmah dari suatu larangan mungkin lebih tinggi dari perintah atau larangan itu sendiri, dan biasanya terasa akibatnya sesudah dikerjakan/dipatuhi, hikmah dari perintah itu suatu larangan tidak akan mendahului pelaksanaanya, sebab jika lebih dahulu dari pelaksanaanya, tentu orang akan melaksanakannya akan patu pada hikmahnya, padahal seharusnya patuh kepada yang memerintah atau yang melarang yaitu Allah.”
Soal hikmah dari larangan Allah ini, masih banyak yang belum terungkap ilmu pengetahuan.
Mengkonsumsi bagian atau bahan-bahan yang berasal dari babi menurut ulama hukumnya boleh jika keadaan dalam darurat atau terpaksa dan tidak berlebih-lebihan serta bertujuan menyelamatkan nyawa manusia yang dalam keadaan terancam jiwanya bisa karena penyakit yang dialaminya atau hal lainnya.
Kemudian, memang daging babi diharamkan dikonsumsi dalam syariat Islam namun ada yang perlu diteladani dari karakter seekor babi yaitu babi ketika berjalan selalu kepalanya merunduk, kenapa dia merunduk ? Mungkin bisa jadi karena dia tahu, dia makhluk ajaib yang dalam tubuhnya ada sejuta manfaat untuk makhluk hidup khususnya manusia namun ia tetap merendah diri, jadi manusia pun harusnya jangan kalah sama karakter merendah diri seekor babi.
Manusia harus menyadari bahwa semakin ia bermanfaat untuk kebanyakan dan dibutuhkan orang banyak, berilmu, memiliki keahliaan, maka harus tetap merendah diri, tidak menyombongkan dirinya karena ia tahu semua kelebihan, kekurangan ada hikmahnya yang diberikan oleh Allah. Demikian, semoga beramanfaat.
Editor : Adis