Amina Wadud lahir di Betesda, Maryland pada tahun 1952. Ia sempat terjebak pada pernyataan bahwa ‘learning was not important’ oleh karenanya ketika ia menduduki sekolah dasar ia memiliki prestasi yang buruk. Setelah ia memasuki sekolah menengah pertama prestasinya mulai naik.
Wadud masuk Islam ketika ia belajar di universitas, untuk waktunya belum terlalu jelas. Dia mengatakan bahwa pintu masuk Islam perempuan Afrika-Amerika adalah laki-laki Muslim dan pintu ini terbuka untuknya secara tidak sengaja. Meskipun begitu ia memasuki Islam bukanlah tanpa dipikirkan matang-matang dan saat itu ia sangat merindukan kehadiran Tuhan dan berusaha mencari Tuhan.
Pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu pikirannya selama ini ia temukan jawabannya dalam Alqur’an. setelah ia bersahadat di tahun 1972, ia mulai belajar Alqur’an yang berkaitan dengan makna dan kemungkinan yang berkaitan dengan dirinya. Ia menemukan dalam Alqur’an adanya kesetaraan gender.
Ia memiliki pendidikan yang tinggi, ia menyelesaikan gelar Ph.D pada Studi Islam dan Bahasa Arab di Universitas Michigan pada tahun 1988. Ia mendapat gelar B.Sc. dalam bidang pendidikan di Universitas Pennsylvania.
Setelah menjadi sarjana ia di panggil oleh Departemen Islamic Revealed Knowledge and Heritage di International Islamic University di Malaysia untuk mengajarkan ilmunya sampai pada tahun 1992.
Saat di Malaysia ia sempat menerbitkan sebuah karya yang berjudul Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective. Setelah mengajar di Malaysia ia mengajar di Departemen Filsafat dan Studi Keagamaan di Virginia Commonwealth University.
Wadud sangat mahir pada keilmuan tematik dan hermeneutic, tema yang menjadi keahliannya adalah konseptualisasi Alqur’an tentang gender dan hubungan gender. Di bidang hermeneutika ia berfokus pada cara terbaik membaca teks itu sendiri terlebih pada pencarian makna suara perempuan di dalam teks. Keilmuannya memberi warna baru terhadap wacana agama Islam dengan menunjukkan hubungan antara pertanyaan teoritis dan metodologis dalam penafsiran al-Qur’an dan pembuatannya.
Pada penafsiran tradisional ia mengkritik bahwasanya metode yang digunakan muslim untuk membaca Alqur’an pada dasarnya adalah atomistic. Para penafsir era klasik yang memiliki metode dan penafsiran kanonik, pada penafsirannya dimulai dengan ayat pertama dari surat pertama dan dilanjutkan ke ayat kedua dari surat pertama dan seterusnya sampai akhir dari Alqur’an. Para penafsir era itu tidak berusaha mengungkap tema dan membahas Alqur’an dengan dirinya secara tematis.
Bahkan ketika menafsirkan penafsiran hubungan dua ayat mereka tidak menggunakan prinsip hermeneutic karena metode untuk menghubungkan ide-ide al-Qur’an yang serupa, struktur sintaksis, prinsip atau tema bersama-sama hampir tidak ada.
Wadud dalam menentukan hubungan antar Alqur’an (teks) dan keadaan wahyu (konteks) menghubungkan dengan kondisi Arab abad ke-7. Para penafsir tidak berusaha untuk melakukan pendekatan historis karena tidak mengakui bahwa antara isi dalam Alqur’an dan konteksnya memiliki keterkaitan satu sama lain.
Wadud lebih menyukai membaca Alqur’an sebagai keseluruhan teks dan juga mengkontekstualisasikan ajarannya. Bagi Wadud jika penafsiran gagal memahami secara historis maka peranan bahasa yang menciptakan makana gender juga gagal.
Kritik Wadud terhadap tafsir tradisional berkaitan dengan ajaran Alqur’an yang dibingkai melalui gender dan penafsir pada era dahulu otoritas yang menefsirkan adalah seorang laki-laki sehingga dalam tafsirnya mengandung unsur manskulin yang anti perempuan.
Kritik Wadud terhadap tafsir tradisional dimaksudkan untk mengungkapkan kelemahan dalam bacaan partiarki Alqur’an, tetapi juga untuk membuat umat Islam menyadari bahwa yang dipertaruhkan dalam memikirkan Kembali strategi tekstual mereka dengan merancang penafsiran metode baru dan dalam memasukkan wanita dalam proses penciptaan pengetahuan.
Wadud dalam membaca Alqur’an sebagai kesatuan diskursif dan dalam hal klaim kebenaran dengan memperhatikan konteks historis ajarannya maupun struktur linguistic dan sintaksisnya sehingga dalam menafsirkan soal gender ia menghubungkan dan memperhatikan prinsip sosial dasar keadilan, persamaan, dan kesamaan kemanusiaan yang diajarkan Alqur’an.
tujuan Wadud adalah membangun dasar kitab suci tentang kesetaraan seksual atau gender dalam Islam, ia mengingatkan bahwa ada banyak arti yang berbeda tentang persamaan. Dia menolak teori kesetaraan yang menyiratkan bahwa laki-laki dan perempuan sama, dia juga menolak teori-teori yang memandang perempuan dan laki-laki tidak setara karena perbedaan biologis.
Seperti yang terus ditegaskan oleh Wadud bahwa Alqur’an tidak menempatkan manusia, ciptaan, hak pilihan, moralitas, atau individualitas dalam seks dan sebaliknya. Ia menegaskan persamaan kemanusiaan antara perempuan dan laki- laki juga menganjurkan saling cinta, kehormatan, dan perwalian timbal balik di antara mereka.
Prinsip-prinsip yang terkandung dalam totalitas ajarannya inilah yang diyakini Wadud terus membuat Alqur’an begitu relevan dengan kehidupan perempuan (dan laki- laki) Muslim saat ini. Ia menyatakan, Alquran dapat membimbing kita di era apa pun jika tafsir Al-Qur’an terus dilakukan oleh setiap generasi dengan cara yang mencerminkan maksud keseluruhannya.
Karya-karya Wadud yang bertemakan gender dikritik tajam bagi orang yang tidak menyetujuinya. Ia diklaim dengan gagasan kesetaraan gender itu tidak sesuai dengan ajaran Islam. Karyanya dianggap menjadi unsur pembunuhan karakter. Apa yang ia usung ini disebutnya dengan jihad gender. Gagasan apa yang dibawanya menjadikan ia sulit diterima oleh komunitas Muslim arus utama.
Namun, Gagasan Wadud yang bertemakan gender ini disetujui oleh para wanita yang menyadari kesetaraan gender dan beberapa kalangan maupun sarjana yang menyetujui bahwa kesetaraan gender adalah upaya untuk menjunjung tinggi hak-hak perempuan.
1 Comment