Biografi Al-Tabarsi: Ulama Moderat dari Timur Islam
Nama lengkapnya Abu Ali al-Fadl ibn al-Hasan al-Tabarsi, seorang mufassir besar dari tradisi Syiah Imamiyah. Ia lahir sekitar tahun 468 H di Tabristan, wilayah yang dikenal sebagai pusat keilmuan. Ia tumbuh dalam keluarga terdidik, ayahnya seorang alim dan anaknya kelak dikenal sebagai Ridha al-Din Hasan, penulis Makarim al-Akhlaq.
Al-Tabarsi menghabiskan hidupnya di Masyhad al-Radhawi dan belajar kepada sejumlah ulama seperti Abu Ali ibn Syaikh al-Tusi dan Abu al-Wafa’ al-Razi. Ia dikenal moderat, tidak fanatik mazhab, serta terbuka pada pendapat Sunni. Dalam karya-karyanya, ia sering menampilkan perbedaan ulama secara seimbang. Al-Tabarsi wafat pada tahun 548 H, meninggalkan pengaruh besar dalam studi tafsir.
Potret dan Karakteristik Kitab Majma‘ al-Bayān: Ensiklopedi Tafsir Multidisipliner
Majma‘ al-Bayān fi ‘Ilm al-Qur’ān merupakan karya terbesar Al-Tabarsi, terdiri dari sepuluh jilid. Ia mulai menulis sejak muda, namun baru selesai di usia sekitar 66 tahun. Waktu penulisan yang panjang membuat tafsir ini matang dan komprehensif.
Keistimewaan kitab ini adalah struktur penafsiran yang sistematis. Setiap ayat biasanya dianalisis melalui identitas surat, perbedaan jumlah ayat, qira’at, kosa kata, i‘rab, asbab al-nuzul, kisah-kisah terkait, tafsir umum ayat, dan hukum fikih.
Majma‘ al-Bayān menggabungkan metode bi al-ma’tsur dan bi al-ra’yi, serta memuat unsur linguistik dan fikih. Al-Tabarsi menampilkan pendapat Sunni dan Syiah secara proporsional. Ia banyak membahas qira’at mutawatir tanpa membatasi pada jalur mazhab tertentu. Meski ada kritik kecil mengenai riwayat lemah dan israiliyat, secara umum kitab ini dianggap salah satu tafsir tahlili paling penting dalam tradisi Islam
Taqiyah dalam Penafsiran QS. Ali Imran ayat 28
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُوْنَ الْكٰفِرِيْنَ اَوْلِيَاۤءَ مِنْ دُوْنِ الْمُؤْمِنِيْنَۚ وَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللّٰهِ فِيْ شَيْءٍ اِلَّآ اَنْ تَتَّقُوْا مِنْهُمْ تُقٰىةًۗ وَيُحَذِّرُكُمُ اللّٰهُ نَفْسَهٗۗ وَاِلَى اللّٰهِ الْمَصِيْرُ
“Janganlah orang-orang mukmin menjadikan orang kafir sebagai para wali dengan mengesampingkan orang-orang mukmin. Siapa yang melakukan itu, hal itu sama sekali bukan dari (ajaran) Allah, kecuali untuk menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka. Allah memperingatkan kamu tentang diri-Nya (siksa-Nya). Hanya kepada Allah tempat kembali.” (Ali-Imran: 28)
Dalam menafsirkan ayat ini, Al-Tabarsi memulai dengan membahas perbedaan qira’at. Ada dua bentuk bacaan yang dikenal: taqiyyah dan tuqāh. Sekilas terlihat berbeda, tetapi keduanya berakar dari satu kata yang sama, wiqāyah, yang berarti perlindungan.
Penjelasan Al-Tabarsi sangat detail. Ia bahkan menggambarkan perubahan huruf dalam bahasa Arab bagaimana wawu bisa berubah menjadi ta’ untuk mempermudah lafal. Ini menunjukkan bahwa konsep taqiyah bukan “rekayasa teologi” belakangan, tetapi memiliki dasar linguistik yang kuat sejak masa awal Islam.
Salah satu keistimewaan penafsiran Al-Tabarsi adalah analisis gramatikalnya. Ia menjelaskan frasa “illa an tattaqū” sebagai bentuk pengecualian yang sah secara kaidah bahasa Arab. Artinya, ayat tersebut memang menunjukkan adanya ruang keringanan sebuah rukhsah.
Dalam balaghah, rukhsah adalah izin syar’i bagi seseorang untuk melakukan sesuatu yang biasanya tidak diperbolehkan, ketika ia menghadapi kondisi darurat. Di titik inilah Al-Tabarsi ingin menegaskan: taqiyah bukan sekadar pilihan moral, tetapi keringanan yang diberikan Al-Qur’an.
Di tengah pembahasan panjang tentang QS. Ali ‘Imran: 28, Al-Tabarsi menempatkan konsep taqiyah sebagai salah satu kunci penting untuk memahami bagaimana Islam merespons situasi penuh ancaman. Bagi beliau, taqiyah bukan sekadar istilah fikih yang kaku, tetapi gambaran nyata tentang bagaimana seorang mukmin menjaga iman sekaligus mempertahankan hidupnya di bawah tekanan.
Apa Sebenarnya Taqiyah Menurut Al-Tabarsi?
Taqiyah adalah menampakkan sesuatu secara lahiriah yang berbeda dari keyakinan hati karena adanya ancaman terhadap keselamatan. Penjelasan ini membuka satu titik penting bahwa taqiyah bukan sebuah kemunafikan. Orang munafik berpura-pura karena kepentingan dunia, bukan karena takut mati atau terpaksa.
Sementara taqiyah dilakukan ketika seseorang berada dalam situasi ekstrem, di mana mempertahankan keselamatan diri menjadi kebutuhan dasar. Menurut Al-Tabarsi, ada kondisi tertentu yang membuat taqiyah bukan hanya boleh, tapi kadang menjadi satu-satunya jalan paling bijak.
Taqiyah relevan ketika: kaum mukmin berada pada posisi lemah atau minoritas kemudian bilamana ada tekanan atau dominasi dari pihak lain dan juga ancaman terhadap nyawa, keamanan, atau hak hidup berada di depan mata. Al-Tabarsi menggambarkan taqiyah sebagai jembatan yang memungkinkan seorang mukmin tetap selamat tanpa harus menggadaikan keyakinannya.
Salah satu bagian menarik dari penjelasan Al-Tabarsi adalah bahwa ia mengutip pendapat dua ulama besar al-Mufid dan al-Tusi yang menyusun hukum taqiyah secara bertingkat. Menurut mereka, hukum taqiyah bergantung pada kondisi nyata di lapangan diantaranya ada empat hukum: Wajib, ketika nyawa benar-benar berada di ambang bahaya.
Dalam kondisi ini, mempertahankan hidup adalah prioritas terutama seorang mukmin. Kemudian dihukumi boleh, ketika situasi sosial menegangkan dan mengucapkan hal tertentu dapat meredakan konflik. Lalu, sunnah, ketika dengan taqiyah seseorang bisa menjaga keharmonisan umat dan menghindari ketegangan besar, dan haram, jika taqiyah justru menyebabkan terbunuhnya seorang mukmin lain atau merusak agama.
Dalil Hadis: Dua Sikap, Dua Keutamaan
Untuk menguatkan makna taqiyah, Al-Tabarsi menukil sebuah kisah yang tidak hanya menjadi dalil hukum, tetapi juga menggambarkan pergulatan manusia antara keberanian dan ketakutan.
وَقَدْ رَوَى الحَسَنُ أَنَّ مُسَيْلِمَةَ الكَذَّابَ أَخَذَ رَجُلَيْنِ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ، فَقَالَ لِأَحَدِهِمَا: أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: أَفَتَشْهَدُ أَنِّي رَسُولُ اللهِ؟ فَقَالَ: نَعَمْ. ثُمَّ دَعَا بِالآخَرِ، فَقَالَ: أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ؟ قَالَ: نَعَمْ. ثُمَّ قَالَ: أَتَشْهَدُ أَنِّي رَسُولُ اللهِ؟ فَقَالَ: إِنِّي أَصَمُّ. قَالَهَا ثَلَاثًا، كُلُّ ذَلِكَ يُجِيبُهُ بِمِثْلِ الأَوَّلِ، فَضَرَبَ عُنُقَهُ. فَبَلَغَ ذَلِكَ رَسُولَ اللهِ، فَقَالَ: أَمَّا ذَلِكَ المَقْتُولُ فَمَضَى عَلَى صِدْقِهِ وَيَقِينِهِ، وَأَخَذَ بِفَضْلِهِ، فَهَنِيئًا لَهُ. وَأَمَّا الآخَرُ فَقَبِلَ رُخْصَةَ اللهِ فَلَا تَبِعَةَ عَلَيْهِ
Sahabat pertama memilih bersaksi palsu demi menyelamatkan diri. Sahabat kedua menolak berbohong dan akhirnya dibunuh. Ketika Nabi Muhammad mengetahui hal ini, beliau menyatakan keduanya benar sesuai kondisi masing-masing: yang syahid mendapat keutamaan keteguhan, sementara yang bertaqiyah menggunakan rukhsah Allah tanpa berdosa. Kisah ini menunjukkan bahwa Islam memberi ruang bagi keberanian dan kehati-hatian. Taqiyah bukan kelemahan, melainkan pilihan syar’i ketika seseorang berada dalam bahaya nyata.
Daftar Pustaka
Aljufri, Ali, dan Mufidah Aljufri. “Al-Tabarsi Tokoh Tafsir Klasik Syiah Moderat (468–548 H): Telaah atas Kitab Majma’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an.” al-Munir: Jurnal Ilmu al-Qur’an dan Tafsir 3, no. 2 (2021).
Al-Tabarsi, Abu Ali al-Fadl ibn Hasan. Majma’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997.
Shirazi, Abd Karim Biazar. “Majma’ al-Bayan: Menjembatani Pusat-Pusat Pengetahuan.” Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Keislaman Bayan 4, no. 4 (2015)

