Al Quran adalah Hipotesis ? |
KULIAHALISLAM.COM – Banyaknya ilmuwan (saintis) yang mendalami ilmu agama tentu sebuah fenomena yang menggembirakan. Perlu kita sambut dan kita dukung. Semakin banyak ilmuwan yang mengerti agama (Islam) dan ulama yang paham sains akan mempercepat proses Islamisasi ilmu pengetahuan.
Kata-kata “perlu dukungan” ini menunjukkan tidak sekedar memuji tapi juga mengkritisi, jika ada yang perlu dikritisi atau diluruskan. Salah satunya adalah pernyataan seorang ilmuwan bahwa Al-Quran adalah hipotesis.
Mungkin maksudnya adalah, galilah kandungan ayat-ayat yang ada di dalam Al-Quran melalui penelitian empiris dan jadikan ayat-ayatnya sebagai hipotesis. Sebagai contoh, ada yang mengemukakan kisah Nabi Ibrahim di dalam QS Al-An’am 75-80 sebagai Ibrahim “mencari Tuhan”.
Ketika Ibrahim menyangka Tuhannya adalah bintang, dia melakukan observasi terhadap keberadaan bintang dan ternyata hasil observasinya bintang saat pagi akan tenggelam (tidak terlihat). Maka perkiraan bahwa bintang adalah Tuhan tertolak.
Kemudian dia mencari lagi dan menyangka tuhan adalah bulan. Dengan aktivitas observasi yang sama, dia pun menolak bulan sebagai Tuhan, demikian juga dengan matahari. Lalu, tepatkah kita menyebut aktivitas Ibrahim “mencari Tuhan” dikatakan sebagai proses ilmiah?
Memang banyak ayat di dalam Al-Quran yang melarang kita berprasangka (dzan) dan menyuruh kita bertabayun (check and recheck). Misalnya Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak berprasangka. Sesungguhnya sebagian dari prasangka itu merupakan dosa.” (QS al-Hujurat 12).
Demikian pula firman-Nya, “Wahai orang-orang yang beriman, jika datang seorang fasik kepadamu membawa suatu berita, maka lakukan tabayun agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.” (QS al-Hujurat: 6).
Perintah tabayun (penelitian, observasi, klarifikasi, eksperimen, dsb) dan larangan berprasangka (asumsi dasar) seolah Allah menyuruh kita bahwa hipotesis (dzan) yang kita buat harus dibuktikan dengan proses tabayun. Itulah, kata sebagian ilmuwan tadi, proses ilmiah dalam Al-Quran.
Betul bahwa Al-Quran menyuruh kita membuktikan hipotesis kita seperti penjelasan di atas, pertanyaannya, apakah Al-Quran itu sendiri sebuah hipotesis yang harus diuji kebenarannya?
Sebelumnya, barangkali sebagian ada yang belum mengerti apa itu hipotesis. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hipotesis adalah suatu anggapan dasar; sesuatu yang dianggap benar untuk alasan atau pengutaraan pendapat (teori, proposisi, dan sebagainya) meskipun kebenarannya masih harus dibuktikan.
Hipotesis berasal dari bahasa Yunani “hupo” (sementara) dan “thesis” (pernyataan atau teori). Jadi Hipotesis adalah pernyataan sementara yang harus dibuktikan kebenarannya. Dalam ilmu Statistika Inferensial ada bab uji hipotesis di mana suatu pernyataan sementara diuji secara teknik statistika untuk menarik suatu kesimpulan apakah pernyataan itu ditolak atau diterima.
Sebagai contoh praktis, ada seseorang datang kepada saya membawa satu karung pupuk dan menyatakan bahwa pupuk ini manjur untuk memupuk—katakan pohon cabe. “Pupuk ini manjur” adalah sebuah pernyataan sementara yang harus saya buktikan kebenarannya, memang betul manjur (menerima) atau tidak (menolak).
Pupuk ini manjur adalah sebuah hipotesis. Sedikit tentang hipotesis, hipotesis ada dua. Yaitu hipotesis 0 (nol) atau biasa ditulis Ho dan hipotesis 1 atau a (alternative) atau ditulis H1/Ha. Artinya kalau kita menerima Ho berarti kita menolak Ha. Kalau kita menolak Ho berarti kita menerima Ha. Maka dengan contoh di atas kita letakkan Ho=pupuk manjur, Ha=pupuk tidak manjur.
Lalu, mulailah kita melakukan penelitian lapangan secara empiris, baik melalui observasi atau penelitian. Misal, kita tanam cabe 3 pohon di demplot (demonstration plot) di mana pohon cabe A kita berikan pupuk dosis X, cabe B dosis 2x dan cabe C sebagai control atau dosis 0 (tidak diapa-apakan).
Tentang perancangan percobaan ini juga ada ilmunya tersendiri yang disebut dengan Rancangan Percobaan (Rancob atau experimental design). Hari-hari pertumbuhan ketiga tanaman cabe itu kita amati/ukur dan kita catat seperti tinggi pohon, lebar daun, lingkar dahan dsb, sampai pada waktu tertentu apakah hasilnya berbeda secara signifikan atau tidak.
Jika signifikan berarti manjur alias Ho kita terima dan otomatis Ha kita tolak. Dalam penelitian, biasanya hipotesis yang kita inginkan (misal pupuk ini manjur) kita letakkan sebagai Hipotesis Alternatif (Ha). Penjelasan mengenai hal ini cukup panjang sehingga kita skip saja.
Dari penjelasan singkat tentang hipotesis dan penelitian ilmiah (empiris kuantitatif) ini kita sebenarnya sudah bisa menyimpulkan bahwa Al-Quran bukam sebuah hipotesis. Sebab, hipotesis adalah pernyataan sementara yang harus di buktikan kebenarannya.
Sedangkan dalam keyakinan kita umat Islam (rukun iman ketiga percaya kepada kitab Allah), kebenaran Al-Quran adalah final dan tidak perlu dibuktikan kebenarannya (kecuali ini dikatakan seseorang yang belum memeluk agama Islam).
Lalu, apakah Al-Quran sudah menutup pintu untuk para saintis melakukan penelitian empiris dan menggali kandungan ayat-ayatnya? Tentu tidak. Hanya saja, namanya bukan hipotesis. Tapi tafsir atau ta’wil (kapan-kapan kita bahas perbedaannya, sementara ini dianggap sama saja).
Jadi kita sudah meyakini kebenarannya tinggal kemudian kita menjelaskan rinciannya (tafsir atau ta’wilnya) melalui penelitian ilmiah. Jika hasil penelitian kita tidak/belum sama dengan kandungan ayat tersebut bukan berarti ayatnya kita tolak, karena kebenaran Al-Quran (dan juga hadis) sudah nyata dan kita yakini. Keyakinan dan keimanan (terhadap kitab suci) berada di atas hasil penelitian empiris karena kita mengakui keterbatasan panca indra, ilmu dan otak manusia.
Di dalam Al-Quran misalnya dikatakan bahwa alam semesta ini mengembang (QS Adz-Dzariyat 47). “Dan langit Kami bangun dengan kekuasaan (Kami), dan sesungguhnya kami benar-benar meluaskan/mengembangkannya.”
Pernyataan bahwa alam semesta ini berkembang ditafsirkan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan, alhamdulillah, dengan ditemukannya teleskop hubble tahun 1929, dapat diamati bahwa jarak antar planet dan galaksi dari waktu ke waktu semakin menjauh.
Inilah yang disebut oleh para astronom dengan the expanding universe bahwa alam semesta ini mengembang dari waktu ke waktu. Jadi jangan dikatakan alam semesta meluas ini sebagai hipotesis, karena hipotesis itu masih perlu dibuktikan benar atau salah. Sementara kebenaran al-Quran bersifat mutlak.
Demikian pula dalam hadis misalnya, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sumuu tashihuu. Berpuasalah kalian niscaya kalian akan sehat.” Kalau ada penelitian ilmiah membuktikan bahwa orang puasa malah bikin sakit, tentu bukan berarti hadis tersebut salah dan kita tolak.
Tetapi mungkin parameter, alat, kondisi, asumsi dll dalam penelitian kita yang bermasalah. Mungkin juga kita harus berkali-kali melakukan penelitian agar mendapatkan hikmah (insight) dari sabda Nabi Muhammad SAW tersebut.
Itulah beda nilai kebenaran hakiki dalam perspektif Islam dengan Barat. Western Worldview menjadikan keragu-raguan atau skeptisme menjadi asumsi dasar bagi segalanya, bahkan ditarik sebagai bagian dari epistemologi ilmu di Barat.
Ragukan semua dan buktikan itu benar atau salah. Termasuk kebenaran dan Tuhan. Maka, di “sana” sering kita dengar para ilmuwan “mencari kebenaran”. Kadang kebenaran itu tidak berhasil mereka temukan. Sedangkan dalam Islam, kebenaran itu sudah final.
Para saintis muslim menerjemahkan dan menguraikan kebenaran dalam kandungan ayat-ayat Al-Quran melalui observasi dan penelitian, sebagaimana pernah dilakukan oleh Al-Khawarismi, Ibnu Sina, Al-Biruni, Az-Zahrawi, Ibnu Haitsam dan ribuan atau mungkin jutaan ilmuwan muslim abad pertengahan. Dalam Islam tidak ada istilah “mencari kebenaran” karena kebenaran hakiki itu sudah ketemu.
Kesimpulannya, di dalam Islam sesuatu yang prinsip itu sudah pasti kebenarannya, seperti Al-Quran, hadits, kematian, kehidupan setelah mati, keberadaan Tuhan, dan sebagainya. Lalu diyakini kebenarannya dan diuraikan melalui berbagai kegiatan ilmiah.
Sedang segala sesuatu yang bersifat teknis, termasuk kegiatan ilmiah dalam bidang natural/social sciences (contohnya seperti soal pupuk di atas), silakan dijadikan hipotesis dan dibuktikan kebenarannya.
Kegiatan ilmiah ini juga perlu kita galakkan lagi di kalangan ilmuwan muslim seperti dulu kala. Mari kita raih kembali kepemimpinan sains dan teknologi di dalam pangkuan peradaban Islam. Wallahu a’lam.
Oleh: Budi Handrianto