Kuliahalislam-Syihabuddin Mahmud Al-Alusi lahir di Baghdad, Irak tahun 1217 H/1802 M dan wafat di Baghdad, Irak tahun 1270 H/1854 M. Nama lengkapnya adalah Abu as-Sana’ Syihabuddin as-Sayyid Mahmud Af-fandi al-Alusi al-Baghdadi. Ia merupakan seorang ulama Irak, pernah menjabat Mufti Baghdad, maha guru, pakar tafsir al-Qur’an, pemikir Islam dan ahli berpolemik.
Keluarga besarnya merupakan keluarga terpelajar di Baghdad pada abad ke-19. Nama al-Alusi berasal dari kata Alus, suatu tempat di tepi Barat Sungai Eufrat yaitu antara kota Abu Kamal dan kota Ramadi. Al-Alusi memiliki pengetahuan yang luas sehingga ia dikenal sebagai ‘allamah (ulama besar) baik di bidang ilmu naqli (berdasarkan nash al-Qur’an dan Hadis) maupun bidang ilmu ‘aqli (akal), dengan apresiasi yang mendalam pada setiap cabang dan dasar kedua bidang tersebut.
Sejak usia muda dia sudah giat mengajar dan mengarang. Dia mengajar di berbagai perguruan. Selain dari negeri tempat ia mengajar, murid-muridnya berasal dari berbagai negara yang jauh. Banyak anak didiknya yang telah menjadi tokoh di negerinya sendiri. Al-Alusi tercatat sebagai penanggung jawab wakaf di Madrasah Marjanjiyah, sebuah yayasan pendidikan yang mensyariatkan penanggung jawabnya seorang tokoh ilmuwan di negeri itu.
Al-Alusi dikenal sebagai seorang pendidik yang sangat memperhatikan sandang pangan dan perumahan para muridnya. Ia memberi mereka pemondokan yang lebih baik dari tempat tinggalnya sendiri sehingga orang-orang semakin menaruh perhatian pada ilmu pengetahuan. Dengan wawasan ilmu yang luas, Al-Alusi mendiktekan penjelasan-penjelasannya dengan cara yang sangat mudah ditangkap dan mengemukakan perumpamaan-perumpaan dengan jelas dan dapat dimengerti.
Sekitar tahun 1248 H, Al-Alusi mengikuti fatwa-fatwa kalangan mazhab Hanafi. Dia menghayati dan mengetahui perbedaan-perbedaan mazhab serta berbagai corak pemikiran dan aliran aqidah. Dia menganut aqidah Salaf dan Mazhab Syafi’i meskipun dalam banyak hal dia mengikuti Imam Abu Hanifah. Namun, dia juga memiliki kecenderungan untuk berijtihad.
Hanya sedikit karyanya yang diwariskan kepada generasi sekarang. Salah satu karya besarnya adalah kitab Tafsir Ruh al-Ma’ani Fi Tafsir Al-Qur’an al-Azim wa as-Sab’ al-Masani (Semangat Makna dalam Tafsir Al-Qur’an yang Agung dan Al-Fatihah), yang telah dia tulis sejak usia muda.
Setelah dia meninggal, kitab itu disempurnakan oleh anaknya yang bernama, as-Sayyid Nu’man al-Alusi. Disebutkan bahwa nama kitab tabusir tersebut diberikan oleh Perdana Menteri Rida Pasya setelah al-Alusi lama mempertimbangkan judulnya. Tafsirnya tersebut sempat mengundang takjub dan senang Sultan Abdul Majid Khan ketika dia mengunjungi Kota Konstantinopel pada tahun 1267 H dan memperkenalkan karyanya. Di kota ini ia menetap selama dua tahun.
Kitab tafsir al-Alusi tersebut berisi berbagai pandangan baik dari ulama Salaf maupun khalaf dan juga merangkum kesimpulan tafsir tafsir sebelumnya, misalnya tafsir Ibnu Atiah, tafsir Ibnu Hibban, tafsir al-Kasysyaf, tafsir Abi as-Su’ud, tafsir al-Baidawi dan tafsir Fakhruddin ar-Razi. Al-Alusi berusaha keras menempatkan dirinya pada posisi netral dan adil ketika menukilkan tafsir-tafsir tersebut untuk selanjutnya mengemukakan komentar dan pendapatnya sendiri secara merdeka tanpa terpengaruh pada salah satu tafsir tafsir tersebut.
Sebagai seorang yang berakidah salaf dan berpemahaman suni, dia mencoba menunjukkan kekeliruan kaum mu’tazilah dan kaum Syiah serta mazhab-mazhab lain yang dipandangnya keliru. Secara runtut ia berbicara dan menerangkan ayat-ayat kauniyah (tentang alam) dan mengomentari pendapat-pendapat para ahli Falak dan filsafat.
Komentar al-Alusi terkadang sangat luas terhadap masalah ketatabahasaan, melampaui kapasitasnya sebagai seorang Mufassir (ahli tafsir). Dalam menafsirkan ayat-ayat Ahkam (tentang hukum), dia mengemukakan pandangan-pandangannya tanpa rasa ta’asub (fanatik) pada pendiriannya sendiri. Dia bersikap tegas terhadap riwayat-riwayat isra’iliyah ( bersumber dari adat kebiasaan orang Israel) dan riwayat-riwayat bohong lainnya yang dicantumkan oleh sebagian mufasir dalam kitab tafsir mereka karena mereka menduga semua itu benar.
Sebagai mufasir, al-Alusi memberikan perhatian terhadap cabang-cabang Ilmu Tafsir diantaranya ilmu kiraah (cara-cara bacaan), ilmu munasabah ( hubungan antara surah-surah al-Qur’an), dan ilmu Asbabun Nuzul. Dalam ilmu Asbabun Nuzul, dia banyak merujuk pada syair-syair Arab yang mengungkapkan arti satu kata.