Penulis: Roma Wijaya*
KULIAHALISLAM.COM – Islam merupakan agama yang memiliki banyak ajaran dan ilmu pengetahuan, salah satunya ialah ajaran Tasawuf. Tasawuf termasuk kedalam ajaran Islam, karena dalam tasawuf menjelaskan tentang Keislaman atau tentang cara mendekatkan diri kepada Allah agar mendapatkan pengalaman spiritual.
Dalam mengetahui sesuatu tentu kita memerlukan orang yang mampu menjelaskan hal-hal tersebut. Oleh karena itu, dalam tasawuf terdapat tokoh-tokoh tasawuf atau yang bisa di sebut dengan Sufi. Mereka semua menjelaskan tentang cara kita untuk mendekatkan diri kepada sang khaliq.
Salah satu tokoh sufi yang akan dijelaskan pada tulisan ini ialah Syekh Abdul Qadir Al-Jailani. Sebab, dengan memaparkan pemikirannya tentang tasawuf akan membuat kita paham bahwa tasawuf merupakan salah satu ajaran Islam yang harus dipelajari dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mempelajari tentang ontologi tasawuf perspektif Syekh Abdul Qadir Al Jailani.
Kehidupan Abdul Qadir Al Jailani
Nama lengkap beliau ialah Sayyid al-Din Abu Muhammad ‘Abd al-Qadir ibn Abi Shalih Musa Zangi Dausat ibn Abu Abdullah bin Yahya Az-Zahid ibn Muhammad bin Dawud bin Musa ibn Abdullah ibn Musa Al – Jun ibn Abdullah Al – Mahadh, lahir pada 470 H/1077 M dan wafat pada 561 H/1166 M di negeri Jailan (Niff), yaitu kurdistan selatan, terletak 150 KM sebelah timur laut kota Baghdad (wilayah sebelah selatan laut Kaspia).
Beliau dijuluki dengan sayyid karena dari pihak ibunya beliau satu nasab dengan Husein cucu nabi Muhammad SAW. Sedangkan ayahnya dari keturunan Hasan, jadi beliau keturunan dari Ali bin Abi Thalib. Seorang penulis Muslim Jerman, Mehmed Ali Aini dalam bukunya yang membahas tentang tokoh Abdul Qadir Al Jailani mengatakan bahwa Abdul Qadir adalah orang suci terbesar di dunia Islam.
Dirinya pun sudah hafal Alqur’an dan al – Muwatha’ karangan imam Hambali pada 1095 M, kemudian melanjutkannya ke Baghdad pada usia kurang lebih 18 tahun. Yang masih menjadi pusat peradaban Islam. Di Baghdad beliau banyak mempelajari ilmu – ilmu Keislaman dan non Keislaman seperti hukum, filsafat, dan fiqih Imam Hambali serta masih banyak ilmu lagi yang beliau pelajari di sana. Walaupun beliau mempelajari fiqih Hambali, tapi ketika beliau diangkat menjadi mufti, beliau memberikan fatwa berdasarkan mazhab Syafi’i.
Menuntut ilmu di kota Baghdad, ketika itu beliau masih berusia kurang lebih 18 tahun. Pertama kali beliau mempelajari tasawuf kepada Abu Al-Khair Hammad ad – Dabbas (w. 1131/525 H) yaitu guru pertama beliau dalam bidang Tasawuf. Beliau belajar hadis kepada Abu Ghalib Muhammad bin al-Hasan al-Baqilani, Abu Bakar Ahmad ibn al-Muzhaffar, Abu al-Qasim Ali ibn Bayan al-Razaz, Abu Muhammad Ja’far ibn Ahmad al-Siraj, Abu Sa’d Muhammad ibn Khusyaisy, dan Abu Thalib ibn Yusuf.
Sebelum beliau wafat, anaknya yaitu Abdul Wahhab meminta wasiat kepadanya, lalu beliau berkata :
“Bertakwalah kepada Allah. Janganlah takut kepada seorang pun kecuali kepada Allah. Janganlah mengharapkan sesuatu kepada seseorang kecuali kepada Allah. Percayakan seluruh kebutuhanmu kepada Allah dan mintalah semua dari – Nya. Janganlah percaya kepada selain Allah. Jenganlah menyandarkan diri selain keapada Allah. Hendaklah kau bertauhid, tauhid, tauhid. Puncak dari segala perkara adalah tauhid”. Kemudian beliau melanjutkan perkataannya: “Hukum akan berubah, sementara ilmu tidak akan berubah. Hukum akan terhapus, sedangkan ilmu tidak akan terhapus”.
Pemikiran dan Ajaran Syekh Abdul Qadir Al-Jailani tentang Aspek-aspek Tasawuf
Syari’at dan Tarekat
Keseimbangan syari’at dan tarekat termasuk juga hakikat dan marifat dalam ilmu tasawuf menjadi persoalan yang banyak diperdebatkan di antara para pengkaji tasawuf. Jumhur ulama mengatakan dalam hal ini tokoh yang sukses yang dapat menggabungkan antara syari’at dan tarekat fiqih dan tasawuf, yaitu Imam Al Ghazali , sehingga beliau disebut dengan hujjatul Islam, namun sebagian ulama mengatakan , tokoh yang mampu menggabungkannya ialah Abu Mansur Al-Hallaj, murid Hasan al-Junaidi al – Baghdadi.
Abdul Qadir mengatakan bahwa syari’at sebagai aspek zahir ibadah dan tarekatnya sebagai aspek batin. Contoh : ketika membuat kriteria bagi pedagang dalam menjalankan bisnisnya. Syekh berkata, jika seorang pedang memiliki 3 kriteria. Kriteria pertama mulut yang bersih dari dusta, kata – kata yang bermanfaat, dan sumpah.
Kriteria kedua bersih dari sifat khianat serta dengki kepada saya dan tetangga. Ketiga jiwa yang senantiasa menjaga tiga hal : Jum’t, jama’ah, dan mencari ilmu disetiap waktu siang dan malam, serta mendahulukan keridhoan Allah dibanding yang lain.
Kesempurnaan sufi baru tercapai setelah terjadi keterpaduan antara aspek syari’at dengan tarekat. Syari’at untuk mencapai derajat, sedangkan tarekat berguna mencapai Qurbah (kedekatan dengan Allah). Dari situlah ma’rifat akan diperoleh oleh seorang sufi. Al – Jilani berkata, celakalah engkau bila mengaku sufi padahal hatimu keruh. Sufi adalah orang batin dan lahirnya mengikuti kitab Allah dan sunnah rasul – Nya. Ketika kebeningan hatinya bertambah, dia akan keluar dari lautan wujudnya. Meninggalkan kehendak, pilihan, dan urusannya karena kebeningan hatinya.
Substansi Kehidupan dan Kematian
Abdul Qadir Al – Jailani berpendapat bahwa kehidupan di dunia ini terjadi hanya untuk orang yang beriman dan kehidupan itu akan terus dialaminya sampai akhirat, kematian hanya peralihan atau bukanlah kematian yang hakiki. Beliau menyatakan bahwa orang mukmin itu hidup, sementara orang kafir itu mati.
Akhir zaman menurut Abdul Qadir ialah telah dipenuhi oleh sifat riya’, munafik, zalim, serta perkara – perkara yang syubhat dan haram, ditambah dengan kekufuran terhadap ni’mat Allah, banyak orang yang terpedaya dengan kesibukkan mereka, orang takut di toko mereka sendiri, orang atheis yang suka mabuk, dan orang jujur yang hanya terpaku di kursi, tanpa berbuat apa-apa. Jadi di dunia ini, manusia sebenarnya sedang berada di alam kubur, alam kematian, karena kebanyakan jiwa mereka kebanyakan berada dalam penderitaan.
Hakikat kematian sebagai perantara, sebab kematian yang sesungguhnya adalah kehidupan dunia yang penuh dengan kekafiran, kemunafikan, dan kemusyrikan. Pandangan ini paralel dengan doktrin Abdul Qadir yaitu bersatunya insaniyah dengan ilahiyyah. Maka bagi orang – orang yang sibuk dengan Allah dan mencapai kesempurnaan berdzikir kepada Allah, ia akan mendapatkan surga yang telah Allah janjikan.
Dirinya ridho terhadap ketentuan Allah, hatinya dekat dengan Allah, dan selalu bermunajat kepada Allah. Pada itulah, pemilik hati itu akan selalu berada dalam khalwatnya bersama Allah di dalam seluruh keadaan yang tidak dapat digambarkan.
Pembersih Jiwa, Kesucian Hati, dan Penyingkapan hijab
Menurut Abdul Qadir jiwa memiliki sifat menentang dan membangkang. Oleh akrena itu, manusia harus berusaha untuk melawan jiwa yang membangkang itu, karena jiwa mengandung keburukan yang berlapis – lapis.
Karena karakter jiwa yang mengandung keburukan barlapis, maka kaitan jiwa ini tidak terpisah dengan hati serta akal sebagai tempat pertimbangan. Di antara jiwa dan hati. Akal ini yang menjadi pembeda antara manusia dengan binatang.
Posisi akal berguna untuk memahami syari’at dan ilmu, serta untuk mencari cara bertaqarrub dan menggapai ma’rifat, walaupun semua asalnya memang satu. Dengan demikian jiwanya akan senantiasa menyesuaikan diri dalam menjalani seluruh keta’atan dan dalam meninggalkan kema’siatan.
Syarat utama dalam penyingkapan tabir dan percepatan proses kebeningan hati dan kesucian jiwa menurut Abdul Qadir adalah taubat an – nasuha. Taubat ini ialah penyesalan hati, meratapi kesedihan yang telah dilakukan, terbungkamnya lisan dari segala yang tidak berfaedah, dan terhentinya anggota tubuh dari kema’siatan kembali.
Cara hati menjadi baik, seseorang harus bertawakal dan takwa, selalu mentauhidkan Allah, dan selalu ikhlas dalam beramal. Dari sifat tersebut akan membuat kita dekat kapada Allah. Hati membutuhkan konsumsi berupa munajat kepada Allah, qiyam, rukuk, dan sujud dalam kehidupannya. Ia harus dalam mencari Allah.
Abdul Qadir menegaskan bahwa apabila dekat dengan Allah, maka akan memperoleh cahaya langit, cahaya ilmu, dan matahari pengetahuan. Ada empat yang merupakan kunci kebaikan hati : Pertama, melihat makanan dengan hati-hati; kedua, menyediakan waktu untuk menaati Allah;ketiga, menjaga kehormatan;keempat, meninggalkan hal-hal yang menyibukkan diri dari selain Allah.
Fana’, Baqa’, dan Penyatuan dengan Allah
Abdul Qadir menjadikan maqamat ru’yatullah (melihat dan berhadapan dengan Allah secara langsung), sebagai pintu masuk langsung dengan ahwal penyatuan diri dengan Allah. Seorang salik yang telah melintasi berbagai hijab, maqamat, dan mengarungi berbagai ahwal (keadaan spiritual sebagai pengalaman keagamaan), berada pada puncak perjalannya.
Ia akan sampai pada maqam fana’ saat dirinya melebur dalam diri Allah (ngeplay), sekaligus berada dalam maqamat baqa’, dan dirinya yang fana’ terserap masuk ke dalam lautan keabadian. Inilah yang disebut abdul Qadir sebagai “penyatuan diri” dengan Tuhan.
Referensi
Al-Qathani, Said bin Musfir, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, Darul Falah:Jakarta, 2006.
At-Tadafi, Muhammad bin Yahya, Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Mahkota Para Aulia Kemuliaan Hamba yang Ditampakkan-Nya, Prenada Media:Jakarta, 2005.
Al-Kailani, Abdul Razzaq, Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Guru Para Pencari Tuhan, Mizania :Bandung, 2009.
Sholikhin, Muhammad, Menjadikan Diri Kekasih Ilahi Nasihat dan Wejangan Spiritual Syaikh Abdul Qadir Al – Jailani, Erlangga : Jakarta, 2009.
*) Dosen STAI Syubbanul Wathon Magelang. Minat Kajian: Tafsir, Hadis, Sejarah, Pemikiran Islam, Gender