Esai

Kurikulum Tanpa Silabus: Pelajaran dari Kitab Kuning di Tengah Kota

4 Mins read

Dalam dunia pendidikan formal, silabus dan perangkat ajar menjadi fondasi utama: semua serba terukur, tertulis, dan terstruktur. Namun di Pondok Pesantren Nurul Jalal, Warakas, Jakarta Utara, kurikulum tidak hadir dalam bentuk dokumen, tetapi hidup dalam tradisi lisan, relasi sosial, dan kesinambungan adab keilmuan.

Sistem ini dikenal sebagai “kurikulum kitab kuning” —sebuah pola pendidikan Islam klasik berbasis teks-teks berbahasa Arab tanpa harakat, yang diwariskan lintas generasi tanpa tersurat dalam standar nasional pendidikan.

Ketika sistem pendidikan nasional sibuk menyusun silabus, target capaian, dan indikator kompetensi, dunia pesantren tampak bergerak dalam ritme yang berbeda. Tidak ada kurikulum baku. Tidak ada ujian pilihan ganda. Namun pendidikan tetap berlangsung.

Para santri datang, duduk bersila, membuka kitab kuning, dan menyimak pengajaran dengan metode bandongan atau sorogan. Kitab kuning bukan sekadar teks, melainkan titik tolak seluruh proses pendidikan pesantren.

Di tengah hiruk-pikuk Jakarta Utara, Pesantren Nurul Jalal berdiri sebagai contoh nyata bagaimana tradisi ini tetap bertahan. Dipimpin oleh Kyai Abi Ichwanuddin dan dikelola oleh Buya Wahyu Mischbah, pesantren ini menggabungkan sistem madrasah formal dan pesantren tradisional. Kitab kuning diajarkan setiap hari, sementara pagi hingga siang para santri belajar di MTs, dan MA yang bernaung di bawah yayasan pesantren.

Melalui pendekatan sosiologi pengetahuan Peter L. Berger dan Thomas Luckmann (1966), kurikulum kitab kuning dapat dipahami sebagai konstruksi sosial atas pengetahuan.

Ia bukan sekadar sistem pengajaran, tetapi juga cerminan dari nilai, otoritas, dan cara hidup yang dilembagakan secara sosial. Kitab kuning tidak hanya dibaca, tetapi dijalani. Ia hidup bukan karena peraturan, tetapi karena diyakini dan dihidupi oleh komunitasnya.

Kurikulum Tanpa Silabus: Sebuah Sistem Sosial

Meskipun tidak tertulis secara formal, kurikulum kitab kuning di pesantren memiliki struktur internal yang mapan. Di Pesantren Nurul Jalal, pembelajaran kitab dibagi menjadi tiga jenjang: ula (dasar), wustho (menengah), dan ulya (lanjutan).

Baca...  Keadilan Gender dalam Perspektif Alquran

Setiap jenjang memiliki kitab-kitab khas. Safinatun Najah diajarkan di tingkat ibtida, Jurumiyah dan Imrithi di tingkat wustho, dan Alfiyah Ibnu Malik atau Tijan ad-Daruri di tingkat ulya.

Pembagian ini tidak berasal dari struktur kurikulum pemerintah, melainkan dari logika keilmuan yang tumbuh dalam tradisi pesantren. Bahkan, dalam wawancara singkat saya dengan Buya Wahyu Mischbah, beliau menegaskan bahwa “setiap tingkatan kitab bukan sekadar soal isi, tapi soal kesiapan nalar dan adab santri.” Ungkapan ini menegaskan bahwa pendidikan kitab kuning tidak dapat dipisahkan dari proses pembentukan karakter.

Menariknya, dalam sistem madrasah formal yang dijalankan pesantren, pendekatan ini tetap digunakan. “Pelajaran agama seperti fikih, akidah, hadis, dan akhlak di MTs dan MA Nurul Jalal itu tidak pakai LKS. Kita gunakan buku paket, bahkan langsung kitab kuning, kalau untuk pelajaran umum seperti IPA atau IPS baru pakai buku biasa.” ujar Buya Wahyu.

Sehingga dalam hal ini dapat dilihat bahwa kitab kuning tidak sekadar diajarkan di halaqah malam hari, tetapi juga diintegrasikan ke dalam ruang kelas formal.

Tak hanya itu, pesantren ini juga menerapkan metode pembelajaran cepat khas Krapyak Yogyakarta untuk mendukung efektivitas belajar santri. “Dan di Nurul Jalal ini kita ajarkan santri dengan metode cepat ala Krapyak, yaitu dengan Metode 33 dan Shorof Praktis,” timpal Buya Wahyu melengkapi jawabannya.

Metode 33 merujuk pada pendekatan sistematis dalam memetakan kaidah nahwu agar mudah dihafal dan dipahami, sementara Shorof Praktis membantu santri menguasai pola perubahan kata kerja Arab secara aplikatif dalam waktu singkat. Dua metode ini menjadi tulang punggung pembelajaran gramatika Arab secara intensif, terutama bagi santri pemula.

Baca...  Jadilah Diri Sendiri: Membangun Kepercayaan Diri

Penerapan metode ini bukan semata soal teknis, tetapi bagian dari sistem transmisi keilmuan yang efisien tanpa meninggalkan kedalaman makna. Ia menunjukkan bahwa meskipun kitab kuning sering dianggap kuno, pendekatannya terus berinovasi dalam ruang tradisi yang hidup.

Berger dan Luckmann (1966) menyebut proses ini sebagai objektivasi pengetahuan: saat hasil interaksi sosial dilembagakan sebagai kenyataan bersama. Struktur pembelajaran kitab kuning telah menjadi kebiasaan yang diterima tanpa perlu diformalkan. Santri tahu apa yang harus dipelajari, kapan waktunya, dan bagaimana caranya —meski tak pernah melihat silabus.

Tradisi yang Diuji Regulasi

Meski teguh dalam tradisi, pesantren seperti Nurul Jalal tetap harus berhadapan dengan realitas birokrasi. Untuk bisa diakui negara, mereka harus memiliki Nomor Statistik Pesantren (NSP), menyusun laporan, dan menyelaraskan sebagian sistem dengan kurikulum nasional. Namun alih-alih menolak total, pesantren mengambil jalan tengah.

Mereka membangun dua sistem secara berdampingan: formal dan tradisional. Santri menjalani pendidikan formal di siang hari dan mengaji kitab kuning di malam hari. Ini adalah bentuk penyesuaian strategis yang memungkinkan pesantren tetap eksis di tengah tuntutan negara, sekaligus menjaga identitas keilmuannya.

Konsep ini relevan dengan gagasan Karl Mannheim (1954) tentang ideologi pengetahuan, yaitu bahwa sistem pengetahuan selalu mencerminkan nilai dan kepentingan kelompok. Dalam konteks ini, pesantren mempertahankan ruang otonomi melalui kurikulum kitab kuning, bahkan saat harus bernegosiasi dengan kekuasaan eksternal.

Menimbang Arah Pendidikan dari Sebuah Tradisi

Kitab kuning mungkin tak tercatat dalam sistem ujian nasional. Ia tak dinilai lewat skor, tidak terstandarisasi, dan tidak tersertifikasi. Namun justru di situlah kekuatannya. Ia hidup dalam ruang sosial yang luas, dalam laku, adab, dan relasi guru-murid yang tak tergantikan oleh sistem digital atau instrumen birokrasi.

Baca...  Gaya Hidup Konsumtif dalam Pandangan Islam

Pesantren bukan hanya tempat belajar agama, tetapi ruang di mana pengetahuan diproduksi dan diwariskan secara sosial. Di tengah krisis kepercayaan terhadap sistem pendidikan yang makin administratif, pesantren menyuguhkan alternatif: pendidikan yang berbasis makna, bukan sekadar data.

Pesantren Nurul Jalal mengajarkan bahwa pendidikan sejati tidak selalu harus hadir dalam bentuk dokumen. Selama ada tradisi, relasi, dan keyakinan bersama, pendidikan tetap bisa berlangsung. Di era yang kian cepat dan serba terukur, barangkali pesantren justru yang paling lambat, namun paling dalam.

Referensi

Berger, P., & Luckmann, T. (1966). The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge. Anchor Books.
Dhofier, Z. (2011). Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES.
Mastuhu. (1994). Dinamika Pesantren: Suatu Studi tentang Unsur dan Nilai Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS.
Wahid, A. (2001). Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren. Yogyakarta: LKiS.
Mannheim, K. (1954). Ideology and Utopia: An Introduction to the Sociology of Knowledge. Harcourt, Brace & World.

1 posts

About author
Mahasiswa Sosiologi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia.
Articles
Related posts
Esai

Perkumpulan Panitia Santunan Anak Yatim di Desa Jabalsari

3 Mins read
Santunan anak yatim menjadi salah satu bentuk kegiatan sosial yang rutin dilakukan di berbagai wilayah Indonesia, termasuk di Desa Jabalsari, Kecamatan Sumbergempol,…
Esai

Ijazah Jokowi dan Epidemi Ketidakpercayaan: Ketika Fakta Dikubur dalam Kuburan Hoaks

3 Mins read
Isu ijazah palsu Joko Widodo (Jokowi) kembali menghangat pada 24 Juli 2025, seolah menjadi ritual politik yang terus dihidupkan setiap kali ada…
Esai

Pemberdayaan Remaja Baran: Edukasi Seks oleh Mahasiswa KKN UIN Raden Mas Said melalui Sosialisasi 'Berani Lindungi Diri'

4 Mins read
Pada Jumat, 11 Juli 2025, dua belas mahasiswa KKN Kelompok 59 UIN Raden Mas Said Surakarta di Desa Baran, Kecamatan Cawas, Kabupaten…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
Keislaman

Menemukan Kebahagiaan Hakiki: Sebuah Refleksi Teologis dan Psikologis

Verified by MonsterInsights