Penulis: Nazwa Febiyanti Siregar*
KULIAHALISLAM.COM – Abu Nawas dikenal dengan nama asli Abu Ali Al Hasan bin Hani Al Hakim atau Abu Nuwas, ia adalah seorang pujangga Arab yang dilahirkan dikota Ahvaz di negeri Persia pada tahun 747 Masehi dengan darah Arab-Persia mengarah di tubuhnya.
Abu Nawas dianggap sebagai penyair terbesar sastra Arab klasik pada masa kekhalifahan dinasti Abassiyah tepatnya pada masa kepemimpinan Harun Ar Rasyid. Ia digambarkan sebagai sosok yang kocak, cerdik dan bijaksan.
Sebagai seorang penyair, mula-mula Abu Nawas masyhur sebagai sosok nyentrik. Ia suka mabuk-mabukan. Namun, pada akhirnya lelaki ini memperoleh pencerahan. Ia menemukan tambahan ekspresi jiwanya melalui dunia sufi. Sejak saat itulah, inspirasi puisinya bukan lagi minuman memabukkan, melainkan nilai-nilai tauhid melalui syair puisi.
Sejak kecil Abu Nawas hidup sebagai anak yatim. Berkat kegigihan sang ibu, ia dapat tinggal dan belajar di Basrah, kota kosmopolitan terbesar di Irak. Abu Nawas belajar sastra dan bahasa Arab kepada Abu Zaid Al Anshari dan Abu Ubaidilah. Selain belajar sastra Abu Nawas juga belajar tentang Alqur’an dan hadis, masing-masing kepada Ya’qud Al Hadrami dan Abu Walid bin Ziyad.
Walibah bin Hadad `adalah sosok yang mengubah total jalan kepenyairan Abu Nawas, berkatnya Abu Nawas memahami esensi bahasa sehingga diksi yang digunakan kian mengena. Abu Nawas sempat hijrah ke Kufah dan bergaul dengan suku-suku Arab Badui di sana.
Dari pergaulanya dengan mereka, Abu Nawas semakin pirawi berbahasa Arab dari Kufah ia pun pindah lagi ke Baghdad yang pada kala itu kota ini sebagai pusat peradaban dunia Islam. Berkat kehebatanya menulis puisi, Abu Nawas masuk ke lingkaran para bangsawan.
Banyak puisi Abu Nawas yang mengandung pesan moral dan filosofis yang mendalam. Ia mampu memadukan kecerdasan intelektual dengan humor yang menghibur. Salah satu humor yang membuat Abu Nawas terkenal adalah kritiknya terhadap penguasa elit pada masanya. Ia dikenal dengan puisinya yang jenaka dan lucu.
Dikisahkan dalam buku kisah lucu kecerdasan Abu Nawas susunan Sukma Hadi Wiyanto, kala itu jumlah penduduk Baghdad berkumpul di depan istana khalifah Harun Ar Rasyid. Sebagian berteriak dan meminta agar Abu Nawas di tangkap para penduduk protes karena baliho raksasa milik Abu Nawas yang di pasang di depan rumahnya yang berbunyi “dijual cepat matahari Baghdad, siapa cepat dapat bonus anak unta” para penduduk lain merasa panik dan unjuk rasa di depan istana. Mereka takut sekaligus bingung, jika matahari Baghdad dijual maka bagaimana mereka bisa hidup?
Hingga akhirnya AbuNawas di tanya oleh Harun Ar Rasyid apa benar kamu ingin menjual matahari Abu Nawas? Abu Nawas pun menjawab benar baginda, supaya kita bisa ikut cara mereka menggunakan otak. Maksundnya? Khalifah pun Kembali bertanya. Begini baginda apakah baginda senang infrastruktur di Baghdad ini terbangun hebat di zaman baginda?
Baginda bangga bisa menjadi teladan buat rakyat bahwa selama ini baginda tidak melakukan korupsi sama sekali? Baginda senang tidak memperlihatkan keserakahan dengan menguasai ratusan ribu hektar padang pasir, padahal baginda bisa melakukanya dengan kekuasaan yang sekarang baginda genggam?” Kata Abu Nawas.
Khalifah Harun Ar Rasyid yang bingung lantas meminta Abu Nawas untuk menjelaskan maksud dari ucapannya. “Abu nawas coba ke inti masalahnya!”
“Jika baginda turun dan tanya massa yang sekarang berdemostrasi itu, ketahuilah bahwa mereka akan menjawab buat apa bangunan infrastruktur, infrastruktur tidak bisa dimakan! Jadi, jalan- jalan mulus yang baginda bangun saat ini, puluhan bendungan yang baginda banggakan, lapangan terbang dan rel kereta api itu semua percuma tak bisa di makan kata Abu Nawas menjelaskan lagi. Khalifah Harun Ar Rasyid terdiam.
Baginda bangga tidak korupsi? Anak baginda berjualan pisang goreng ? Itu malah membuat rakyat marah dan cemburu. Buat mereka baginda mestinya melakukan korupsi agar mereka tak perlu repot-repot lagi bikin isu tak masuk akal, misalnya baginda keturunan Mongolia, baginda memusuhi ulama, wah pokoknya banyak baginda.”
Kemudian Harun Ar Rasyid bertanya lagi lalu apa hubunganya dengan menjual matahari?” Abu Nawas kemudian menjelaskan apa yang dianggap khalifah Harun sebagai prestasi nasional justru dianggap pemborosan dan membebani negara karena mereka terbiasa melihat prestasi yang ada di ruang gelap.
Tapi kalaupun mata mereka tak melihat ruang gelap, bukankah telinga mereka mendengar, hati mereka terbuka? Bagaimana mungkin mereka menuduhku memusuhi ulama padahal wakilku seorang ulama? Jika pun mereka tak menyukaiku, bukankah kepada mereka sekarang aku perlihatkan ulama yang dulu mereka klaim dan mereka bela? Mengapa sekarang mereka tinggalkan?
Abu Nawas kemudian berkata lagi,“baginda itulah enaknya melihat dunia di ruang gelap sambil terbalik. Kita bisa melihat apa yang mereka nikmati selama ini. Apa baginda tidakelah selalu berpikir rasional?”
Percayalah baginda, hanya dengan melihat segala sesuatu di kegelapan, baginda akan paham mengapa selama ini mereka melihat infrastruktur megah, pemerataan pembangunan di daerah tertinggal, semua sama sekali tidak berguna karena tidak bisa di makan.
Mohon jangan katakana, infrastuktur memang tak bisa dimakan, tapi dengan infrastruktur kita semakin mudah cari makan, itu cara berpikir rasional dan normal, paduka,” massa di luar semakin membludak. Khalifah Harun Al Rasyid masih diam, Ia lantas memberi isyarat membenarkan ucapan Abu Nawas.
Kisah ini menunjukkan Abu Nawas tidak hanya kocak dalam puisinya ia juga seorang pribadi yang cerdas dan peduli. Mimpi tidak akan nyata karena adanya keajaiban melainkan butuh pengorbanan, tekad dan kerja keras untuk mewujudkanya. Hingga saat ini banyak karya Abu Nawas yang masih ada sampai sekarang salah satunya 1001 malam.
*) Mahasiswa UIN Satu Tulungagung.
Editor: Adis Setiawan