Keindahan (atau dalam istilah filsafat, estetika) kerap dianggap sebagai aspek periferal dalam kehidupan manusia. Dalam wacana ekonomi, ia nyaris tak mendapat tempat karena tak secara langsung menunjang kemajuan dan kesejahteraan kolektif layaknya sektor-sektor dominan, seperti teknologi, konsumsi, perbankan, dan energi.
Persepsi inilah yang menyebabkan sebagian besar orang enggan mendorong kerabatnya untuk meniti karier sebagai seniman atau estetikus. Hingga kini, estetika beroleh stigma buruk dalam dunia profesi.
Kalaupun keindahan tampak berkiprah di arena ekonomi, posisinya ibarat penumpang dalam konvoi kendaraan bermotor: hadir sebagai pemeriah. Ia hanya memoles wajah kapitalisme dan menarik atensi publik demi menopang dominasi sektor-sektor utama. Sektor hiburan secara implisit memanipulasinya demi membentuk selera dan orientasi kultural masyarakat.
Estetika pun jarang beroleh tempat utama dalam diskursus filosofis. Kehadirannya inferior di hadapan kedua padanannya, kebenaran dan kebaikan. Sokrates dan Plato mengangkat kebenaran dan kebaikan sebagai poros eksistensi manusia.
Aristoteles merumuskan sistem logika dan etika yang terperinci, tetapi estetika tak ia kembangkan secara sejajar. Analisis Immanuel Kant atas keindahan tampak seperti kumpulan catatan kecil di hadapan kritik sistematisnya atas nalar murni dan nalar praktis.
Maka, tidak mengherankan bila diskursus filsafat lebih ramai oleh perdebatan tentang ontologi, etika, dan politik ketimbang wacana produktif mengenai estetika. Dalam ruang tersebut, estetika hanyalah sosok “Cinderella” yang harus tinggal di rumah tatkala para saudarinya—kebenaran dan kebaikan—pergi berpesta.
Namun seperti Cinderella, estetika menyimpan potensi untuk bersinar. Tokoh yang mungkin berperan sebagai “pangeran” dalam kisahnya adalah Fyodor Dostoevsky, novelis Rusia yang dalam refleksi kelamnya atas hidup dan moralitas menandaskan bahwa “keindahan akan menyelamatkan dunia (beauty will save the world).”
Sementara itu, “sepatu kaca” metaforisnya bisa jadi adalah fenomena lookism, bias sosial yang mengaitkan nilai individu dengan penampilan fisiknya. Di era ketika keindahan dapat mengangkat derajat hidup seseorang atau menjatuhkannya ke jurang diskriminasi, relevansi estetika menjadi semakin nyata, meskipun tetap ambigu.
Tentu, analogi ini tidak sempurna. Dostoevsky dan lookism tak berada dalam garis epistemik yang sama untuk menjustifikasi pentingnya keindahan. Namun, keduanya menggarisbawahi pengaruh signifikan keindahan dalam kehidupan manusia, bukan karena kelogisannya, melainkan karena eksistensinya yang tak terbantahkan. Mereka yang berbicara tentang estetika secara mendalam telah mengafirmasi signifikansinya tanpa perlu membenarkannya secara eksplisit.
Ironisnya, membicarakan estetika secara mendalam tak kalah sukar dibandingkan membenarkannya. Pertanyaan mendasar tentang apa yang menjadikan sesuatu “indah” dengan mudah membawa kita ke jalan buntu. Ungkapan lama “keindahan ada di mata pengamatnya (beauty is in the eye of the beholder)” menawarkan solusi pragmatis dengan menautkan keindahan dan preferensi subjektif.
Dalam semangat Protagoras yang menjadikan manusia ukuran segala sesuatu, peribahasa ini menegaskan bahwa kriteria keindahan sepenuhnya bergantung pada subjek yang menyaksikannya. Namun, karena tolok ukur setiap subjek saling berbeda, diskusi estetika tak memiliki dasar objektif. Perbincangan tentang estetika pun menjadi perdebatan tanpa ujung yang sia-sia.
Akan tetapi, apakah diskursus estetika niscaya menemui kebuntuan karena ketiadaan dasar objektif? Pengandaian seperti ini masuk akal mengingat topik-topik dominan dalam perbincangan intelektual biasanya memiliki tolok ukur umum yang memungkinkan terjadinya diskusi.
Sekalipun begitu, saya berpandangan bahwa objektivasi keindahan hanya menunda kebuntuan konseptual yang tak terelakkan. Mari kita periksa hal ini melalui perkembangan mutakhir dalam kajian neuro-estetika.
Neuro-estetika merupakan area riset kontroversial yang mencoba mengaplikasikan ilmu neurosains pada studi seni. Para ilmuwan di dalamnya berusaha untuk memandang apresiasi keindahan dari perspektif evolusioner. Usaha ini mereka pertanggungjawabkan dengan hasil pengamatan mereka atas mekanisme saraf yang berlangsung ketika manusia mengapresiasi suatu karya seni.
Sebagai contoh, Nancy L. Etcoff, Profesor Psikologi di Harvard Medical School, menemukan bahwa hampir seluruh subjek penelitiannya menunjukkan penurunan level stres ketika mereka melihat sekumpulan bunga. Etcoff berargumen bahwa reaksi tersebut memiliki akar evolusioner. “Bunga mungkin mensinyalir bahwa lingkungan yang bersangkutan positif untuk habitasi manusia,” ujarnya. “Sehingga, masuk akal bila ia menurunkan kadar stres.”
Lebih jauh lagi, Semir Zeki, salah satu pelopor neuro-estetika dari University College London, berargumen bahwa terdapat bagian otak manusia yang selalu “menyala” tatkala mereka mengalami fenomena estetik. Berbekalkan teknologi neuro-imaging, Zeki menemukan bahwa bagian ini adalah medial orbital frontal cortex, dan ia aktif sebagai respons atas keindahan visual, musikal, matematis, bahkan moral.
Konsekuensinya, keindahan mampu diukur secara empiris melalui scan otak. Zeki pun dengan berani menyampaikan hasil temuannya seraya mengklaim bahwa disiplin ilmu yang ia pelopori telah menyelesaikan kebuntuan estetika dalam diskursus intelektual.
Para filsuf selalu membicarakan keindahan secara abstrak. Clive Bell, seorang kritikus seni Inggris, pernah berkata, “Jika engkau bisa memberitahuku semua kesamaan dari pengalaman-pengalaman estetika manusia, engkau bisa menjawab pertanyaan estetika (the question of aesthetics).” Tak satupun sejarawan seni atau kritikus atau filsuf mampu menyelesaikan masalah ini, tetapi kami telah melakukannya dalam konteks biologis yang terbatas, yaitu kami tahu bahwa pengalaman estetika berkorelasi dengan aktivitas di medial orbital frontal cortex terlepas dari sumbernya. … Dalam artian tertentu, para seniman adalah neurosaintis yang mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan yang sama. …Engkau tak akan pernah menyempurnakan teori estetika kecuali engkau memperhitungkan organ yang melaluinya engkau memiliki pengalaman estetika.
Temuan Etcoff dan Zeki menuai banyak kritik, terutama dari para kritikus seni, filsuf, dan sejarawan yang membela subjektivitas apresiasi keindahan. Namun, demi pencarian kita, anggaplah “pembuktian” objektivitas keindahan ini benar adanya.
Meskipun ia membuka kebuntuan yang ditimbulkan oleh ungkapan Protagorean di atas, pada gilirannya temuan ini mengaburkan definisi estetika itu sendiri. Jika estetika tidak lagi menyoal preferensi atau selera subjektif manusia, lantas apa ia sesungguhnya? Apa definisi bagi hal yang menstimulasi medial orbital frontal cortex manusia itu? Apakah ia kekaguman atau ketakjuban? Bukankah keduanya merupakan nama dari emosi yang kita rasakan ketika bagian otak tersebut aktif?
Lantas, bagaimana dengan hal yang disebut oleh Kant sebagai “the sublime”? Jika frasa ini menunjuk pada kualitas realitas tertentu yang menyebabkan manusia merasa kagum dan takjub, maka apa persisnya kualitas itu? Bila kita berkata “kebesaran,” tidakkah keindahan juga terdapat pada hal-hal yang kecil? Bila kita berkata “kompleksitas,” bukankah hal-hal yang sederhana juga bisa mencerminkan estetika?
Mungkin estetika adalah sesuatu yang bisa kita pahami tetapi tak mampu kita definisikan secara final. Mungkin keindahan, layaknya cinta dan waktu, adalah konsep yang maknanya terletak bukan pada batas-batas linguistik, melainkan pada pengalaman yang ia hasilkan. Maka tak heran bila estetika terus dipinggirkan. Ia bukan tak penting, melainkan penting dalam cara yang berbeda; dan satu-satunya cara untuk mendemonstrasikan signifikansi itu adalah menghidupinya.