ArtikelKeislamanPendidikan

Tingkatan Yakin Dalam Islam

4 Mins read

Kuliahalislam. Yakin (Yaqin) artinya adalah merasa pasti/rasa kepastian. Pengetahuan dengan perasaan pasti terhadap sesuatu. Kebalikan dari yakin adalah Syakk (rasa kurang percaya). Dalam menghadapi suatu objek ada lima keadaan manusia. Pertama, Jahl, yakni tidak berpengetahuan sama sekali terhadap suatu objek, sehingga tidak ada keyakinan sama sekali terhadap objek tersebut.

Kedua, Wahm (Waham), yaitu sangat samar terhadap suatu objek dan lebih berat kepada ketidaktahuan, sehingga hati lebih condong untuk mengingkarinya. Ketiga, Syak yakni sanksi, antara sikap membenarkan atau menyangkal suatu putusan/ganbaran tentang suatu objek. Keempat, Zan yaitu dugaan kuat untuk membenarkan suatu gambaran tentang suatu objek daripada menyangkalnya. Kelima, Yakin.

Al-Jurjani, ahli bahasa Arab dan teologi dalam kitabnya “at-Ta’rifat (Definisi-Definisi) menjelaskan beberapa definisi yakin antara lain ; ” kemantapan kalbu terhadap suatu objek”, ” penglihatan batin yang bersih terhadap suatu objek yang gaib”, ” penglihatan mata hati dengan cahaya iman”, ” pengetahuan yang diperoleh setelah adanya kesangsian”.

Dari definisi-definisi tersebut, Al-Juranji mengatakan yakin adalah kepercayaan hati (iktikad) terhadap sesuatu objek bahwa objek tersebut berwujud seperti itu dan wujudnya sesuai dengan kondisi objektifnya. Kepercayaan hati yang demikian sulit untuk berubah. Oleh karena itu, al-Junaid al-Baghdadi ( tokoh sufi modern, wafat 910 M) mengatakan bahwa yakin adalah mantapnya pengetahuan, sehingga orang yang memilikinya tidak ingin berpaling dan berubah haluan.

Abu Bakar al-Warraq (Ulama Sufi) mengungkapkan bahwa keyakinan tidak muncul dengan sendirinya, tetapi merupakan hasil dari suatu upaya yang dilakukan secara intensif. Menurutnya, suatu keyakinan dapat tercapai melalui salah satu dari tiga media yaitu pertama, Khabar (berita) seperti keyakinan akan adanya hari kiamat. Keyakinan ini disebabkan adanya berita yang dibawa oleh para rasul berupa wahyu atau kitab suci.

Kedua, Dalil (petunjuk), seperti keyakinan adanya api di suatu tempat karena adanya asap. Ketiga, Musyahadah ( penyaksian langsung keindahan, kebesaran dan kemuliaan Allah), seperti keyakinan adanya Ka’bah di Kota Mekah setelah melihatnya secara langsung. Dalam pengalaman kesufian, orang tidak hanya dapat menyaksikan sesuatu yang bersifat fisik secara langsung, tetapi juga sesuatu yang bersifat spiritual dan nonfisik dengan mata hatinya. Oleh karena itu, Amir bin Abdul Qais (Ulama Sufi) berkata ; ” bila telah terbuka hijab akan bertambahlah keyakinanku”.

Akan tetapi, sebagian Sufi antara lain Sahl at-Tustari (wafat 282 H/896 M) memandang bahwa yakin itu adalah pengetahuan yang diperoleh dari limpahan karunia Allah semata-mata. Apabila Allah menghendaki untuk memberikan sesuatu pengetahuan berupa keyakinan kepada seorang, maka Allah membukakan mata hati orang itu untuk dapat melihat suatu objek secara langsung sehingga muncul di dalam kalbunya suatu keyakinan yang mantap.

Dari kedua pandangan di atas, Al-Qusyairi (wafat 1074 M), mengutip pandangan Abu Bakar Tahir (Ulama Sufi) mengatakan bahwa pada mulanya Keyakinan itu adalah hasil usaha (kasbi) manusia tetapi akhirnya keyakinan itu merupakan limpahan karunia (Mauhibah) dari Allah.

Dikatakan demikian, karena pada mulanya keyakinan merupakan buah dari ‘ilm al-mu’amalah ( pengetahuan yang diusahakan). Akan tetapi bila manusia telah mencapai puncak ‘ilm al-mukasyafah ( pengetahuan langsung dari kesaksian batin), maka keyakinan baginya adalah karunia Allah semata-mata.

Berdasarkan teori yang dikemukakan di atas maka Ulama Sufi membagi keyakinan atas tiga tingkatan. Pertama, ‘Ilm al-Yaqin ( keyakinan atas dasar ilmu), yakni menerima adanya sesuatu kebenaran baik nyata maupun tidak nyata, dan tetap atas pendirian itu.

Hal ini, keyakinan seseorang hanya didasarkan atas logika ilmu yang bersifat relatif. Dengan demikian, keyakinannya pun terbatas karena dibangun atas praduga ilmu yang tidak sepenuhnya dapat dijadikan pegangan. Keadaan demikian dapat diumpamakan dengan keyakinan seseorang terhadap kelezatan satu jenis buah sebelum ia memakannya.

Dia tahu kelezatan buah tersebut dari cerita orang yang telah memakannya. Keyakinan dalam bentuk ini didasarkan atas firman Allah yang menceritakan kesia-siaan bermegah-megahan dengan harta, anak yang banyak kekuasaan, kemuliaan dan sebagainya ; ” Bermemegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam alam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui akibat perbuatan itu dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahuinya. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin”, (Q.S. 102; 1-5).

Kedua, ‘Ain al-Yaqin ( keyakinan atas dasar kesaksian mata kepala). Berbeda dengan ‘Ilm al-Yaqin, keyakinan pada tingkat ini didasarkan atas kesaksian mata kepala secara langsung. Jika pada tingkat ‘Ilm al-Yaqin orang baru mengetahui adanya buah tertentu dan kelezatannya dari cerita orang lain yang telah pernah memakannya, maka pada tingkatan ini orang itu mengetahui kelezatannya setelah melihat buah itu dengan mata kepalanya secara langsung. Dengan demikian, ‘ain al-yaqin bersifat lebih pasti dan lebih tinggi dari ‘ilm al-yaqin. Hal ini didasarkan atas firman Allah ; ” niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka jahanam dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ‘ain al-yaqin”, (Q.S 102 : 6-7).

Ketiga, Haqq al-Yaqin ( keyakinan Hakiki). Pada tingkatan ini, keyakinan dibangun atas dasar pengalaman. Apabila pada tingkat ‘ain al-yaqin, orang mengetahui kelezatan satu jenis buah setelah melihat buah itu dengan mata kepalanya, maka pada tingkat haqq al-yakin, orang telah mencicipi buah itu secara langsung dan merasakan kelezatannya.

Dengan demikian, haqq al-yakin lebih tinggi tingkatannya dan lebih pasti dibandingkan ‘ain al-yaqin dan ‘ilm al-yaqin. Keyakinan pada tingkat ini didasarkan firman Allah ; ” Jika dia (orang yang mati) termasuk orang yang didekatkan kepada Allah, maka dia memperoleh ketentraman dan rezeki serta surga kenikmatan. Dan Adapun Jika dia termasuk golongan kanan maka keselamatan bagimu karena kamu termasuk golongan kanan. Jika dia termasuk golongan orang yang mendustakan lagi sesat, maka dia mendapat hidangan air yang mendidih dan dibakar di dalam neraka. Sesungguhnya yang disebutkan ini adalah satu keyakinan yang benar”, (Q.S 56; 88-95).

Abdullah al-Harawi (396-481 H/1005-1089 M), ulama tasawuf sunni, mengkaitkan tingkatan keyakinan di atas dengan masalah keimanan dalam beragama. Menurutnya, yakin lebih tinggi dari iman. Iman hanya kepercayaan dalam bentuk penerimaan ajaran keagamaan secara taklid, sedangkan keyakinan ialah menerima ajaran keagamaan dengan salah satu dari tiga hal yaitu ilmu, kesaksian mata kepala dan kesaksian pengalaman.

Penerimaan ajaran agama secara taklid lebih rendah tingkatannya dibandingkan dengan penerimaan ajaran agama atas dasar ilmu. Demikian pula, penerimaan ajaran agama dengan logika ilmu lebih rendah tingkatannya daripada penerimaan ajaran dengan kesaksian mata kepala dan penerimaan dengan mata kepala lebih rendah dari penerimaan dengan pengalaman.

Akan tetapi, iman itu sendiri sebenarnya merupakan bentuk umum dari keyakinan. Iman tidak akan ada jika tanpa keyakinan, sekalipun dalam bentuk paling rendah. Oleh karena itu, setiap keimanan dalam bentuk agama dimulai dengan keyakinan terhadap kandungan ajaran agama tersebut. Ini berlainan dengan filsafat yang dimulai oleh adanya salah satu dari dua hal yakni keheranan ataupun keraguan.

Imam Al Ghazali mengatakan bahwa keyakinan yang tertinggi adalah makrifat. Dia pernah menyangsingkan kemampuan pemikiran. Menurutnya, makrifat dapat mengakhiri kesangsiannya. Makrifat adalah pengetahuan secara langsung terhadap Tuhan setelah tersingkapnya hijab antara Tuhan dan hamba-Nya. Keyakinan demikian hanya tertentu bagi orang-orang yang dekat dengan Allah.

 

99 posts

About author
Redaktur Kuliah Al Islam
Articles
Related posts
KeislamanTokoh

Potret Raksasa Genius dari Persia

3 Mins read
Jika kita kembali telisik biografi-biografi pakar bahasa Arab, akan ditemui banyak sekali dari mereka adalah orang-orang Persia (Furs). Sebutlah, Sibawaih, Abu Ali…
KeislamanPendidikan

Mengenal Ahlur Ray'i dalam Hukum Islam

3 Mins read
Kuliahalislam. Ahlur Ra’yi (ahl ar-ra’y) merupakan sebutan para pakar hukum Islam yang ditujukan kepada Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi) dan para pengikutnya,…
KeislamanTokoh

Tjoet Njak Meutia Pejuang Perang Aceh

2 Mins read
Kuliahalislam.Tjoet Njak Meutia lahir di Pirak, Keureutoe, Aceh Utara tahun 1870 Masehi dan wafat di Alue Kurieng, Aceh, 24 Oktober 1910 M….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights