Keislaman

Hermeneutika Sufisme: Menyelami Makna Pengenalan Diri Terhadap Eksistensi Pengenalan Tuhan

4 Mins read

Belakangan ini kita seringkali di suguhi oleh aforisme atau ungkapan yang mendorong kita untuk senantiasa mengenal diri. Perihal ini senada dengan fenomena yang terjadi dimana kecenderungan dari kita mulai memiliki tabir atas diri. Maknanya banyak dari kita yang tidak mengetahui siapa dirinya, untuk apa ia diciptakan dan apa tujuan dari hidupnya.

Dalam Islam anjuran untuk mengenal diri  terindikasi menjadi perbuatan yang disunnahkan. Sebab dengan mengenal diri dapat membantu dalam memahami tujuan hidup serta berusaha menelaah secara transenden mengenai kelebihan dan kekurangan. Selain itu untuk dijadikan sebagai refleksi kebersyukuran atas anugrah yang diberikan oleh Tuhan.

Merujuk pada pengenalan diri, terbesit ungkapan atau hadist yang menjadi kontroversi hingga kini. Lantaran apakah bisa dikatakan hadist atau sekadar doktrin ucapan semata dari para fuqaha. Namun yang pasti risalah tersebut menjelaskan “Siapun seorang hamba yang mengenal dirinya, maka hakikatnya ia pasti mengenali Rabb-Nya” “Ma’arafa Nafsahu Fa Qod Arafa Robbahu”. Risalah ini tidak bisa dikatakan shahih atau tidak, namun lebih cenderung bernuansa sufistik. Dengan demikian pengutipnya pun juga berada pada kalangan orang-orang sufis seperti Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali yang menjadi pelopor pendidikan Islam sekaligus bidang filsafat dan teologi. Adapun risalah yang dikutip oleh Al-Ghazali ini sebagai bentuk penekanan bahwa dalam setiap diri terdapat manifestasi Rabb di dalamnya.

Menelusuri makna “Rabb” Al-Ghazali berusaha menunjukkan bentuk singular dari sebuah terjemahannya terhadap Tuhan. Dengan kata lain “Rabb” sendiri mengisyaratkan tingkatan dan keagungan Yang Maha Esa yakni Allah sebagai sang pencipta, pemelihara dan Tuhan semesta alam. Sehingga bila dikaji melalui segi makna, tiap-tiap makhluk mempunyai unsur “Rabb” di dalamnya.

Baca...  Gus Ulil Teologi Asy'ariyah (4): Klaim Tentang Tindakan Tuhan

Lalu apabila manifestasi Rabb hadir dalam setiap makhluknya, bagaimana cara mereka untuk mengenal Rabb-Nya?

Bagi Al-Ghazali jikalau manusia hendak mengenali Rabb-Nya, maka terlebih dulu ia harus mengenali dirinya sendiri. Artinya dari dualitas tersebut, memiliki afinitas antara satu dengan yang lainnya. Misalkan ikatakan Rabb dengan hambanya yang akan berkontinuitas pada meningkatnya ketaqwaan seorang hamba terhadap Rabb-Nya. Al-Ghazali menyebutkan manusia bisa mengenali Rabb-Nya melalui kehendak Rabb-Nya sendiri yang memperkenalkan dirinya. Namun cara itu nampaknya tidak begitu relevan bila disandingkan oleh status manusia yang tabiatnya sebatas hamba. Oleh karnanya, pendekatan atau cara mengenal Allah bagi kaum sufisme dikenal dalam istilah “Makrifatullah”. Disiasatkan makrifatullah sendiri merupakan penggambaran gnosis dari manusia terhadap Rabb-Nya.

Lantas dengan memahami setiap konsep yang ditajalikan, melalui pengelihatan kalbu serta renungan akan tanda-tanda kebesaran Allah, sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Ghazali “Kalau mata yang terdapat rahasia Allah di dalamnya terbuka, niscaya mata kepalanya akan tertutup, disaat itu yang di tampakkan hanyalah perwujudan dari Rabb-Nya”. Kutipan tersebut menunjukkan tatkala Allah memperlihatkan diri-Nya, ketika itu manusia hendaknya menyelami diri dengan membersihkan segenap dosa dan maksiat melalui serangkaian penyembahan serta pengakuan terhadap kemuliaan Allah SWT.

Selanjutnya, Al-Ghazali dalam interpretasinya merangkum,  “Ma’arafa Nafsahu Fa Qod Arafa Robbahu” sejatinya bukan di artikan secara sederhana yakni “kalau manusia mengenal dirinya secara konstan ia juga akan mengenal Rabb-Nya”. Tetapi dengan mengenali Rabb-Nya, secara impulsif manusia juga akan mengenali dirinya. Pasal itu dikarenakan Sang Rabb-lah yang ontologisnya dzat Maha Mutlak, Maha Esa. Dari Dialah awal dari segala permulaan, hanya Dialah yang dapat dikatakan “Ada” dari yang sebelumnya ada sekarang. Selain-Nya merupakan hakikat dari adanya perwujudan sang pencipta dan kuasa-Nya. Bagaikan orang yang sedang bercermin bayangannya akan mengikuti maujud aslinya.

Baca...  Kasyf Terbukanya Rahasia Ketuhanan

Namun yang menarik disini adalah diri kita yang manakah harus dikenali? Dalam bentuk fisik atau bentuk yang lain? Diri kita yang sejati sebenarnya bukan dalam bentuk jasad, bukan dalam bentuk teori kepribadian psikologi yang dikiaskan karna perbaduan antara lingkungan yang berinteraksi dengan aspek jasad serta psikis. Akan tetapi yang dimaksud diri dan telah disebutkan dalam Al-Qur’an serta risalah di atas yakni Nafsahu atau Nafs” jika di literalkan berarti ruh, jiwa atau anima. Mengapa nafs? Karna yang di sumpah oleh Allah untuk mempersaksikan bahwa dialah satu-satunya Rabb-mu adalah jiwa.

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap ruh mereka, “Bukanlah aku ini Tuhanmu”? Mereka menjawab, “Betul” (Engkau Tuhan kami), Kami bersaksi. Kami lakukan yang demikian itu agar di hari kiamat kami tidak mengatakan, “Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini”. QS. Al-A’raf ayat 172

Dari ayat ini kita beranjak bahwa entitas yang patut kita kenali sebelum melanjutkan perjalanan menuju makrifatullah ialah memahami kesaksian nafs sebagai hamba yang taat kepada Rabb-nya. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, nafs sendiri di dorong untuk melakukan deviasi yang diasaskan oleh hawa nafs atau nafsu sendiri. Sehingga ia pun mulai terbelenggu dalam keduniawian serta tipu daya nafsunya.

Lalu langkah untuk mengenal nafs ialah dengan membebaskan diri terlebih dahulu dari segala jeratan nafsu, tampungan dosa, sifat-sifat syahwat yang menyelimuti nafs. Maknanya, memulai perjalanan taubat kepada Allah SWT sebagai bentuk pancaran penyesalan dan kembali pada kesucian. Adapun yang bersifat suci, tentu saja akan diproleh dengan cara yang suci juga. Ibaratnya rumah yang bersih, lalu kita memasukinya dengan keadaan kotor penuh dengan lumpur. Pastinya kita pun akan ditolak untuk masuk ke dalam rumah tersebut atau kita disarankan untuk kembali membersihkan diri baru diperbolehkan untuk masuk.

Baca...  Membongkar Salah Kaprah Ayat yang Dikaitkan dengan Terorisme

Akan tetapi konsep ketuhanan dengan manusiawi tentunya jelas berbeda. Meskipun dalam diri manusia terselip kata penolakan, namun tidak bagi Allah yang sejatinya selalu menerima kepulangan seorang nafs demi bisa bersulang dengan-Nya.

“Katakanlah, “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri. Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pangampun, Maha Penyayang”. QS. Az-Zumar ayat 53

Jadi inferensi dari “Ma’arafa Nafsahu Fa Qod Arafa Robbahu” ialah ketika seorang hamba telah menemukan siapa dirinya melalui pensucian jiwa, secara spontan ia akan mengetahui untuk apa sebenarnya ia diciptakan. Tiada lain hanya untuk mengenali Rabb-Nya. Melalui ibadah, zikir, kepatuhan, bertawaqal dan menjauhi segala angkaranya. Niscaya barang siapa yang berhasil mengenal diri, maka Allah akan menampatkan dalam surga firdaus. Sehingga nafs akan bertemu dengan sang Pencipta.

“Dan orang-orang yang bertaqwa kepada Tuhannya, niscaya ia akan diantar ke dalam surga secara berombongan”. QS. Az- Zumar ayat 73.

9 posts

About author
Program Studi Bimbingan Konseling Islam Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Mataram
Articles
Related posts
ArtikelKeislamanPendidikan

Tingkatan Yakin Dalam Islam

4 Mins read
Kuliahalislam. Yakin (Yaqin) artinya adalah merasa pasti/rasa kepastian. Pengetahuan dengan perasaan pasti terhadap sesuatu. Kebalikan dari yakin adalah Syakk (rasa kurang percaya)….
KeislamanPendidikan

Mengenal Ahlur Ray'i dalam Hukum Islam

3 Mins read
Kuliahalislam. Ahlur Ra’yi (ahl ar-ra’y) merupakan sebutan para pakar hukum Islam yang ditujukan kepada Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi) dan para pengikutnya,…
KeislamanTokoh

Tjoet Njak Meutia Pejuang Perang Aceh

2 Mins read
Kuliahalislam.Tjoet Njak Meutia lahir di Pirak, Keureutoe, Aceh Utara tahun 1870 Masehi dan wafat di Alue Kurieng, Aceh, 24 Oktober 1910 M….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
Berita

Baitul Arqam Pimpinan Universitas 'Aisyiyah Surakarta: Wasaṭiyyah Islam dan Masa Depan Moderasi Beragama di Indonesia

Verified by MonsterInsights