Malam ketujuh Ramadan tiba dengan keheningan yang khas. Cahaya bulan sabit menggantung di langit, seolah menjadi lentera alam yang menerangi bumi. Angin malam berembus lembut, membawa aroma wangi khas masakan sahur yang masih tersisa di udara. Jalanan menuju masjid mulai ramai, anak-anak berlarian dengan sarung yang melambai, sementara para orang tua melangkah dengan tenang, membawa sajadah lipat dalam genggaman.
Di sudut sebuah kampung kecil, berdiri masjid tua yang megah dalam kesederhanaannya. Menara yang tak terlalu tinggi tetap kokoh, memancarkan cahaya redup dari lampu di puncaknya. Seorang muazin tua berdiri di depan mikrofon, suaranya menggema merdu di antara rumah-rumah penduduk, mengajak mereka menunaikan salat Isya dan Tarawih.
Di antara jamaah yang hadir, ada seorang anak laki-laki bernama Daffa. Usianya baru menginjak sebelas tahun, tapi semangatnya menunaikan Tarawih begitu menggebu. Ia mengenakan baju koko putih dengan sulaman sederhana di tepi lehernya, sarung kotak-kotak yang sedikit kebesaran, serta peci hitam yang tersemat rapi di kepalanya. Malam itu, ia datang bersama kakeknya, seorang pria tua yang wajahnya dipenuhi kerutan namun matanya tetap berbinar penuh keteduhan.
“Kakek, kenapa kita harus selalu datang ke masjid untuk Tarawih? Bukankah kita bisa salat di rumah?” tanya Daffa lirih saat mereka memasuki pelataran masjid.
Kakeknya tersenyum. “Nak, Tarawih di masjid bukan hanya tentang salat, tetapi tentang kebersamaan. Di sini kita bisa bertemu saudara seiman, mendengar bacaan imam yang indah, dan merasakan keberkahan berjamaah. Bukankah Rasulullah juga lebih sering melakukannya di masjid?”
Daffa mengangguk, memahami sedikit demi sedikit hikmah yang disampaikan kakeknya. Malam itu, ia duduk di barisan anak-anak di dekat tiang masjid. Imam mulai mengangkat takbir, dan suara lantunan ayat-ayat suci pun mengalun, memenuhi ruangan dengan keagungan.
Di tengah salat, Daffa mulai merasakan kantuk. Matanya mengerjap beberapa kali, namun ia berusaha tetap berdiri tegak. Kakeknya, yang berada tak jauh darinya, sesekali melirik dengan senyum penuh pengertian. Di antara rakaat-rakaat panjang itu, Daffa sesekali menguap, tetapi ia tetap berusaha mengikuti gerakan imam dengan saksama.
Hingga akhirnya, rakaat terakhir pun tiba. Imam menutup dengan doa yang panjang, diaminkan oleh seluruh jamaah dengan khidmat. Setelah salam, Daffa mengusap wajahnya dengan kedua tangan, lalu menoleh ke arah kakeknya yang masih khusyuk dalam doa. Hatinya terasa damai, ada kebanggaan dalam dirinya karena telah menyelesaikan salat Tarawih tanpa menyerah pada kantuk.
Saat mereka berjalan pulang, Daffa mendongak ke langit. Bintang-bintang bertaburan, bersinar terang seolah menyapa bumi. Di hatinya, ia menyadari bahwa Tarawih bukan sekadar ibadah, melainkan lentera yang menerangi hatinya dalam kegelapan malam. Malam ketujuh Ramadan itu, ia merasa lebih dekat dengan Allah, lebih memahami makna kebersamaan, dan lebih mencintai Ramadan. Ia berjanji dalam hati, besok dan seterusnya, ia akan tetap berusaha hadir di masjid, menjadi bagian dari lentera yang menerangi malam Tarawih.