Kuliahalislam- Sunan Kalijaga merupakan seorang wali dari suku Jawa asli. Nama aslinya adalah Raden Mas Syahid (R.M Syahid), putra dari Ki Tumenggung wilatika, Bupati Tuban. Sementara sumber riwayat menyatakan bahwa nama lengkap ayah Sunan Kalijaga adalah Raden Sahur Tumenggung Wilatika.
Istri Sunan Kalijaga adalah Dewi Saroh binti Maulana Ishaq. Dari hasil pernikahannya, Sunan Kalijaga memiliki satu putra dan dua orang putri yaitu Raden Umar Sa’id (Muria), Dewi Rukayah dan Dewi Sofiah.
Sunan Kalijaga termasuk 9 orang wali yang bekerja keras dan tanpa Kenal lelah menyebarkan agama Islam di kalangan penduduk Jawa yang ketika itu pada umumnya masih beragama Hindu dan Budha atau Syiwa Budha. Sunan Kalijaga merupakan seorang wali yang sangat besar toleransinya, seorang pujangga (ahli hikmah) dan filsuf.
Dalam dakwahnya dia tidak terbatas pada daerah tertentu. Penulis Belanda menyebutkan Sunan Kalijaga sebagai ” Reizende Mubalig (Mubalig Keliling)”. Tiap pergi ke mana saja untuk berdakwah ia selalu diikuti oleh beberapa orang bangsawan Jawa dan cendekiawan. Mereka menaruh simpati besar kepada Sunan Kalijaga bukan karena Wali ini orang Jawa asli, melainkan karena ia berpikiran kritis, cermat dan berpandangan jauh ke depan.
Sunan Kalijaga Mengislamkan Seni Jawa
Di antara Wali Songo Sunan Kalijaga termasuk Wali yang sangat dihormati dan disegani. Selain itu dia juga seorang Wali dan sekaligus seorang pujangga berprakarsa menciptakan cara-cara untuk memperlancar dakwahnya. Dialah yang memasukkan unsur-unsur dan pandangan-pandangan Islam ke dalam cerita-cerita Wayang.
Dia memasukkannya sedemikian rupa sehingga mudah diraba maknanya, mudah dimengerti maksudnya dan tidak mengejutkan pendengar atau penonton pementasan wayang.
Ia sangat mahir memasukkan warna keislaman ke dalam seni musik Jawa (Gending dan Gamelan) dan pandai pula memberikan corak Islam kepada beberapa adat istiadat penduduk Jawa yang pada saat itu masih banyak dihayati oleh masyarakat Jawa sebagai warisan Hinduisme dan Budhisme (Syiwa Budha).
Tampaknya susunan Kalijaga berpedoman pada prinsip ” Alon-alon waton kelakon” (perlahan-lahan asalkan tercapai tujuan). Demikianlah cara Sunan Kalijaga dalam perjuangan mengatasi kepercayaan lama dan sisa-sisanya yang masih melekat pada adat kebiasaan penduduk.
Semua Wali Songo pada dasarnya berpegang pada kebijaksanaan seperti di atas, namun Sunan Kalijaga lah yang paling besar perhatiannya memanfaatkan seni budaya Jawa sebagai salah satu media dakwah, setelah diwarnai dengan corak Islam. Ada sementara pihak yang mengatakan bahwa Sunan Kalijaga “mengawinkan” atau “mengasimilasikan” ajaran Islam dengan seni budaya lama (Syiwa Budha) di Jawa.
Jelas itu tidak mungkin karena Sunan Kalijaga adalah seorang ulama yang sangat besar ketakwaannya kepada Allah dan mengenal baik apa yang dihalalkan oleh Islam dan yang diharamkan.
Dengan memasukkan semangat ajaran Islam ke dalam seni budaya, ia teguh berkeyakinan pada “idza ja-al-Haqqu zahaqatal-bathil ( apabila kebenaran telah tiba yakni diterima dan dimengerti oleh penduduk maka kebatilan pasti sirna)”.
Sunan Kalijaga Dakwah Bil-hal
Sama halnya dengan dakwah para wali yang lain, dia pun tidak hanya melaksanakan dakwah yang memberi pengertian dengan ucapan dan kata-kata tetapi juga melaksanakan dakwah bil-hal (dakwah dengan amal perbuatan konkrit menjadikan dirinya sendiri sebagai contoh dan teladan).
Dia mengenal baik cara berpikir dan adat kebiasaan masyarakat Jawa, karena dia sendiri adalah orang Jawa, lahir dan dibesarkan di dalam masyarakat Jawa.
Nama sunan Kalijaga hingga zaman kita dewasa ini tetap harum dan dikenal semua lapisan masyarakat Jawa dari lapisan atas kaum bangsawan sampai rakyat jelata. Itu membuktikan bahwa dia seorang besar, berjiwa besar dan jasanya pun besar. Sebagai Pujangga dia banyak mengarang cerita-cerita yang mengandung ajaran filsafat Islam, etika dan moral berdasarkan syariat Islam.
Cara penuangannya disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat yang dihadapinya. Adalah sulit dan berbahaya jika masyarakat Jawa yang pada masa itu masih banyak beragama Syiwa Budha dan fanatik terhadap agamanya dihadapi dengan cara-cara tidak bijaksana.
Sama halnya dengan para Wali lain, Sunan Kalijaga mengetahui benar bahwa rakyat Majapahit masih belum dapat meninggalkan kesenian dan kebudayaan mereka. Masih banyak sekali yang menggemari pertunjukan Wayang dan upacara keagamaan yang berisi pada ajaran agama Syiwa Budha.
Mengislamkan Masyarakat Jawa
Untuk mengislamkan masyarakat Jawa yang masih demikian itu, para Wali dalam musyawarah menyetujui usul Sunan Kalijaga tentang cara-cara yang perlu ditempuh. Antara lain adalah memanfaatkan kesenian dan kebudayaan Jawa sebagai media dakwah.
Sunan Kalijaga sendiri meskipun bukan penggemar kesenian namun dia menguasai dengan baik ilmu Karawitan ( gending-gending dan lagu Jawa termasuk teori musik Gamelan).
Dipesan lah olehnya serancak (seperangkat) Gamelan dari seorang Empu terkenal. Gemalan itu diberi nama “Kyai Sekati”, kemudian ditempatkan di serambi Masjid Demak. Seni rebana dan lagu-lagunya berirama Arab yang sudah mulai dikenal oleh sebagian kaum muslimin Jawa dibiarkan terus berlangsung.
Sunan Kalijaga juga menambah media dakwah lainnya berupa Gamelan. Baik seni rebana maupun seni gamelan, dua-duanya dihidupkan bersama terutama pada tiap perayaan memperingati hari lahirnya nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam maupun peringatan Sya’ban.
Gamelan yang berada di bawah sebuah tarub (atap terbuka) di depan serambi Masjid Demak dihias dengan berbagai jenis bunga untuk menarik perhatian banyak orang dan gamelan itu ditabuh tiada henti-hentinya. Dalam kesempatan peringatan Maulid Nabi itulah para Wali yang hadir secara bergantian menyampaikan nasihat-nasihat dan wejangan untuk menambah pengertian masyarakat tentang Islam dan ajarannya.
Semua pengunjung dibolehkan masuk ke dalam Masjid dengan syarat harus berwudhu lebih dahulu pada sebuah kolam yang telah disediakan dekat pintu gerbang masjid. Pintu gerbang masjid ini disebut dengan nama “Gapura” yang berasal dari bahasa Arab yaitu ” Ghafura” yang bermakna ampunan.
Tegasnya ialah siapa yang telah berwudhu kemudian turut salat berjamaah di dalam Masjid maka dia mendapatkan ampunan atas segala dosa-dosanya. Demikian salah satu cara yang diperoleh oleh Sunan Kalijaga dalam dakwahnya menyebarkan agama Islam di kalangan penduduk Jawa.
Sunan Kalijaga tidak hanya mengislamkan manusia tetapi juga mengislamkan berbagai cabang kebudayaan Jawa seperti seni musik (Gamelan dan Gending), seni drama ( dalam bentuk penetasan wayang kulit), seni pahat dan kesusastraan. Pada masa kejayaan Majapahit banyak corak batik berbentuk motif burung yang beraneka ragam bentuknya dan warnanya.
Sunan Kalijaga sungguh pandai dalam menciptakan makna kata yang berasal dari bahasa Jawa kuno (Kawi) hingga bermakna menurut tuntunan agama Islam. Misalnya, “burung” dalam bahasa Kawi yaitu “Kukila”. Oleh Sunan Kalijaga kata “Kukila” diserasikan dengan kata ” Qu Qila” yang dalam bahasa Arab bermakna “Qu artinya jagalah” dan “Qila artinya apa yang diucapkan”. Dengan penyelesaian itu maka kata “Kulila” menjadi “Qu Qila” yang bermakna jagalah apa yang diucapkan. Itu salah satu dari tuntunan agama Islam yang menghendaki agar setiap orang beriman menjaga baik-baik lidahnya, sebagaimana yang telah diwanti-wantikan oleh Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam dalam hadisnya menyebutkan bahwa : ” Berbicaralah yang baik-baik atau diam ; Qul khairan wailla faskut”. Menjaga lidah juga berarti setia kepada janji dan lain sebagainya.
Dengan memberi motif gambar burung pada seni lukis batik, Sunan Kalijaga membimbing pengajian kaum muslimin di Jawa khususnya agama bagian menghias diri dengan keutamaan akhlak antara lain dengan menjaga lidah, tidak mencederai janji. Dalam bidang seni busana, Sunan Kalijaga juga menciptakan sebuah model baju bagi kaum pria yaitu mode yang terkenal dengan nama “Baju Takwo”.Kemudian terkenal hingga saat ini khususnya di kalangan bangsa Jawa itu berasal dari kata baju “takwa”. Dalam bahasa Arab Taqwa makna patuh kepada Allah.
Bentuk-bentuk tuntunan yang diwarnai corak simbolik itu bermaksud mendidik agak setiap orang beriman menghayati cara hidup menurut ajaran Islam itu bertakwa kepada Allah dan bersikap baik terhadap sesama hamba Allah.
Suatu prinsip yang hidup dalam pola istirahat Al-Qur’an disebut Hablun minallah wahablum minannas yang artinya menjaga baik-baik hubungan dengan Allah dan hubungan dengan sesama manusia.
Kita tidak tahu mengapa Raden Syahid Putra Tumenggung Wilatika itu dikenal dengan nama julukan Sunan Kalijaga. Ada yang berpendapat bahwa Sunan Kalijaga itu awalnya dipanggil dengan nama Qadhi Zakka yang artinya adalah pemimpin yang suci diri.
Menurut suatu hikayat menyebutkan bahwa, Sunan Kalijaga dikarunia usia yang panjang sehingga mengalami 3 masa kekuasaan yaitu akhir masa kekuasaan Majapahit, masa Kesultanan Demak dan masa kekuasaan Pajang. Ada sementara penulis yang mengatakan bahwa Sunan Kalijaga pada keturunan Arab yang berpuncak pada Abbas bin Abdul Muthalib Bin Hisyam namun pendapat itu sangat lemah.
Mengenai kapan Sunan Kalijaga dilahirkan dan kapan wafatnya tidak diketahui pasti oleh ahli sejarah Islam di Indonesia namun yang sudah pasti adalah bahwa Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu, yang masih termasuk Kabupaten Demak di sebelah timur laut di kota Demak.