Penulis: Raisul Amin Loamena*
KULIAHALISLAM.COM – Tradisi-tradisi perlawanan sesungguhnya telah ada terlebih dahulu, jauh sebelum Muhammad Iqbal hingga Kuntowijoyo menuangkan gagasan perlawanannya terhadap barat melalui sosial profetik.
Jauh sebelum Karl Max hingga JJ. Rosseu dan teman-temannya melahirkan revolusi Prancis, bahkan jauh ada sebelum golongan Menshevik dan Bolshevik yang di prakarsai oleh Nicholas II hingga Vladimir Lenin menumbangkan idelogi komunis sehinga melahirkan revolusi komunis di Rusia 1917.
Jika kita ingin kembali ke sejarah, sesungguhnya tradisi perlawanan telah di lakukan oleh para nabi dan para rabi terdahulu. Para nabi dan Rabi yang di utus oleh Tuhan bukan hanya untuk mengeluarkan kaumnya dari kediktatoran hingga kejumudan atas nilai transendental, namun justru peran nabi yang lebih konkret ialah menyuarakan nilai perlawanan dan oposisi terhadap kebijakan penguasa dan raja di zamannya masing-masing.
Sejauh kita memahami, embrio kelahiran paradigma sosial profetik tidak pernah terlepas dari spirit perlawanan, entah itu spirit perlawanan terhadap epistemologi baru yang di tawarkan oleh barat yang anti humanis atau justru humanis kering tanpa nilai transenden.
Namun, jika di lacak, akar kelahiran sosial profetik adalah sebagai bentuk perlawanan sengit terhadap konsep-konsep barat yang menidurkan epistemologi Islam. Tafsiran perlawanan ini justru berbeda jika di letakkan dalam tradisi organisasi dan kemahasiswaan.
Dalam tradisi kemahasiswaan, khususnya kader IMM, pemaknaan atas sosial profetik mengambil peran sebagai “ta’murunabil ma’ruf”, yakni menyeru kebajikan, namun sedikit tidaknya makna misi kenabian (profetik) lebih dari menyeru kebajikan, lebih jauh ialah mencegah kemungkaran “anha anil munkar”.
Kata anha anil munkar tersebut membawa implikasi oposisi terhadap kebijakan yang tidak berorientasi kepada kebaikan bersama atau bahkan mengambil alih hak sebagian orang demi kepentingan pribadi.
Setidaknya, sedekat ini telah terjadi perubahan makna (peyoratif) terhadap pemaknaan akan konsep sosial profetik yang pada dasarnya lebih berorientasi terhadap oposisi, kini beralih menjadi kemesraan dengan pemerintah. Oleh karenanya kita perlu meninjau ulang makna sosial profetik sebagai qalam perlawanan.
Meninjau ulang makna sosial profetik
Secara etimologi, profetik berasal dari kata prophet yang berarti person sent by God To teach People and give them message atau dengan kata lain nabi dan Prophetich yang berarti having the character of a prophetyc yang bisa di artikan kenabian. Jadi, makna akan sosial profetik bisa di artikan sebagai memiliki sifat atau ciri kenabian.
Kelahiran paradigma sosial profetik tidak terlapas dari keberhasilan dua tokoh yang berpengaruh, yakni Muhammadi Iqbal dan Roger Graudy dalam memprakarsai gagasannya. Iqbal mengungkapkan bahwa meskipun kedudukan Nabi sebagai seorang yang memiliki derajat yang tinggi di hadapan Tuhan, namun misi kerasulan mereka tetap di laksanakan.
Jika di tinjau ulang tentang misi kerasulan yang di bawa oleh para nabi-nabi terdahulu sebelum Muhammad SAW, kita tentunya akan mengetahui jika gejolak dan fenomena kebangsaan saat itu terkonsentrasi pada satu kebijakan otoriter sang penguasa. Tuhan melalui seorang utusan yang kita sebut dengan nabi atau rabi membawa misi kerasulan hadir untuk menggugat kemapaman kedudukan para penguasa.
Sebagai contoh, Mesir kala itu menjadi pusat demokrasi di kebudayaan seluruh dunia dan di bawah kendali Firaun (Amonathep III) kala itu mencapai kejayaan, walaupun konon Firaun mengelola tatanan mesir dengan baik melalui ilmu administrasi yang jelas, namun justru pusat kebijakan yang di keluarkan pada akhirnya hanyalah untuk menguntungkan dirinya sendiri, sehingga ketika kedudukan tersebut telah di dapatkan, maka klaim atas nama Firaun sebagai Tuhan hadir dengan segala atribut penguatan melalui keputusannya yang serba otoriter.
Kediktatoran Firaun menyebabkan Tuhan mengutus Moses untuk melakukan perlawanan terhap Firaun yang bahkan ketika Moses merasa tidak mampu, Harun di utus untuk memperkuat kedudukan Moses dalam misi perlawanannya. Atas nama demokrasi, Firaun memperbudak bangsa Israel, dan atas nama oposisi Musa hadir sebagai pelopor perlawanan.
Sehingga kelak nanti, Plato mengungkap dalam karya-nya yang berjudul Republic mengatakan jika konsep demokrasi merupakan konsep terburuk yang pernah ada dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Seharusnya pelacakan atas klaim Plato tersebut tidak terlepas dari pengembaraan Plato ke negeri Mesir hingga saat ia juga bertemu dengan seorang raja diktator yakni raja Dykanius yang menggunakan kekuasaan sebagai alat untuk pembungkaman dan kediktatoran seorang raja di Yunani dengan alasan suara terbanyak membunuh Socrates.
Hal yang sama terjadi pula pada Nabi Daud yang bersama dengan Talut melawan raja Jalut yang di angkat oleh bangsa penjajah Israel. Kala itu, Daud hadir dengan misi kerasulan untuk melakukan perlawanan dan dengan misi menundukkan penguasa yang zalim yang menindas bangsa Israel dengan semena-mena.
Kelak kita akan temukan jika kekuatan Daud dan Jalut yang bertindak sebagai kaum oposisi yang hanya 300 orang mampu menundukkan sikap otoriter seorang raja Jalut, kiranya inilah mungkin makna “Tuhan sangat mencintai orang yang berjuang dalam barisan yang teratur”, karena Daud dan pasukannya (organisasi) nya bertempur dalam barisan yang rapi untuk melawan Jalut.
Lebih jauh lagi, jika kita akrab dengan misi kerasulan Muhammad, ternyata beliau memiliki kesamaan misi dalam artian rekaman kolektif tentang misi kerasulan yang di titahkan oleh Tuhan pencipta Alam merupakan titah perlawanan.
Ungkapan Ahmad Mansur Suryanegara dalam karya fenomenalnya Api Sejarah telah mencatat bahwa Muhammad adalah pembebas dari kejumudan berpikir dan kesewenang-wenangan bangsa Arab. Karena prinsip yang kita temukan dalam kebijakan pertama yang di terapkan oleh Muhammad ialah misi equality yang justru menyamakan kedudukan antara orang terpandang dengan budak, dan itu bertentangan dengan bangsa Arab yang saat itu sangat menjunjung tinggi kedudukan/privilage kaum bangsawan dan para tokoh.
Untuk sejauh ini, kita telah menemukan kesamaan dalam misi kerasulan tiap nabi dan rabi bahwa mereka pertama kali hadir untuk menggugat kemapaman kedudukan para penguasa yang pada akhirnya kelak ini menjadi sesuatu yang membuat Muhammad Iqbal Roger Graudy hingga Kuntowijoyo menjadi orang-orang yang memiliki keinginan kuat untuk menjadi kaum oposisi.
Sehingga nanti, munculnya ilmu sosial Marxis dan Critical Theory yang menggugat kemapaman ilmu sosial dengan ungkapan fenomenal bahwa tugas Ilmu tidak hanya memahami gejala, namun lebih jauh tugas ilmu adalah menebarkan misi perlawanan yang mempunyai kekuatan untuk mengubah menjadi basis pegangan kuat bagi Iqbal, Graudy dan kuntowijoyo.
Sosial profetik adalah qalam perlawanan
Tafsiran atas sosial profetik diperlukan pemaknaan ulang jika telah sampai kepada landasan atas arah pergerakan mahasiswa dan organisasi. Keakraban organisasi kemahasiswaan dengan ciri pergerakan bernuansa profetik lebih khususnya IMM telah kehilangan makna perlawanannnya yang seharusnya menjadi ciri utama dalam spirit profetik.
Atas kejumudan dan kedangkalan literasi, misi kenabian hanya di pahami sebagai upaya untuk menyeru kebajikan, sehingga misi perlawanan terhadap kemungkaran telah di abaikan dengan sepenuhnya. Implikasinya tentu terarah pada sikap romantis mahasiswa dengan pemerintah dan menyaksikan beragam masalah dalam tubuh kepemerintahan tanpa harus bersuara dengan lantang.
Sejarah telah mencatat dan ilmu pengetahuan telah merekam jika gerakan profetik adalah gerakan perlawanan, baik itu terhadap epistemologi atau justru kebijakan yang sewenang-wenang. Tinjauan atas kelahiran epistemologi profetik tentu merujuk pada nilai-nilai perlawanan yang di lakukan oleh para nabi, namun hingga saat ini genjatan dan penanaman nilai profetik setidaknya hanya melihat akhir dari misi kenabian.
Misi kenabian Moses adalah menumbangkan Firaun dengan segala bentuk perlawanan, hal yang sama juga tentunya harus berlaku bagi kader IMM. Bahwa misi profetik IMM khususnya Bima ialah menumbangkan kerajaan Bima yang di pimpin oleh Bupati Bima, karena atas nama kerajaan, demokrasi menjadi ruang yang sempit bagi nilai kebenaran.
Atas nama kebijakan dan Bima yang religius, anggaran pembangunan masjid agung senilai 70 M lebih di sunat dan di korupsi senilai 7 M berdasarkan temuan BPK RI perwakilan NTB. Namun sejauh ini, nilai profetik menjadi sesuatu yang hanya di rasakan dalam forum-forum resmi dan momok buruknya ialah untuk memperindah tema kegiatan tanpa harus melihat kedalam makna profetik, bahwa profetik adalah qalam perlawanan.
Untuk dan atas nama gerakan sosial profetik, IMM Bima harus menafsirkan ulang makna dari sosial profetik, karena di dalamnya terletak nilai perlawanan dan kedalaman makna untuk menumbangkan kediktatoran penguasa. “Sosial Profetik adalah Qalam Perlawanan, bukan keberpihakan terhadap penguasa”.
*) Mahasiswa Ilmu Hukum Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Bima. Pernah menjadi Ketua Umum Pimpinan komisariat IMM Fakultas Hukum Universitas Muhamadiyah Bima. Pegiat Ilmu Hukum dan Filsafat.
Editor: Adis Setiawan