Islam merupakan agama yang sempurna, mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk kepemimpinan. Dalam hadis, Rasulullah bersabda:
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْ أَمْرَهُمْ اِمْرَأَةً
“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita.” (HR. Al-Bukhari).
Hadis ini memicu perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ada yang menyatakan haram mutlak mengangkat perempuan sebagai pemimpin, namun ada pula yang membolehkan dengan syarat memiliki kemampuan dan kredibilitas tertentu. Sebagai contoh, di masa pemerintahan Islam di Aceh terdapat sosok perempuan bernama Sultanah Safiatuddin, seorang pemimpin perempuan dari Kesultanan Aceh yang memerintah pada abad ke-17.
Beliau sosok pemimpin perempuan pertama yang luar biasa, yang telah mengukir sejarah dengan kepemimpinan dan kebijaksanaan yang tak tertandingi. Sultanah Safiatuddin Tajul Alam Syah memimpin dari tahun 1641–1675, di masa kepemimpinannya ini menjadi simbol kekuatan, keadilan, dan kebijaksanaan di tengah tantangan sejarah yang besar.
Kepemimpinannya yang visioner tidak hanya menjaga Aceh tetap gemilang sebagai pusat peradaban Islam dan perdagangan, tetapi juga menyebarkan pengaruh besar yang menerangi Nusantara hingga kancah dunia.
Kisah Sultanah Safiatuddin dimulai pada masa yang penuh ketidakpastian bagi Aceh setelah kematian Sultan Iskandar Thani. Saat itu, kerajaan Aceh menghadapi krisis kepemimpinan. Sultanah Safiatuddin, putri dari Sultan Iskandar Muda, diangkat oleh ulama dan para pemimpin Aceh sebagai pemimpin yang tepat untuk menggantikan sang ayah.
Dan ini merupakan keputusan berani yang melawan norma sosial saat itu, di mana peran perempuan dalam kepemimpinan sangat terbatas. Namun, Sultanah Safiatuddin berhasil menunjukkan bahwa kepemimpinan tidak tergantung pada gender, melainkan pada visi dan integritas seorang pemimpin.
Aceh sebagai Pusat Peradaban Islam dan Perdagangan
Di bawah kepemimpinan Sultanah Safiatuddin, Aceh tetap menjadi pusat perdagangan strategis yang menghubungkan dunia Barat dan Timur. Dengan kecerdasannya dalam diplomasinya, ia menjalin hubungan kuat dengan kekuatan besar seperti Kesultanan Utsmaniyah, Mughal, Belanda, dan Inggr ini Kebijakan ini tidak hanya menjaga stabilitas ekonomi Aceh, tetapi juga memastikan bahwa Aceh tetap menjadi pintu gerbang utama jalur perdagangan rempah-rempah yang sangat bernilai.
Kebijakan diplomatik Sultanah Safiatuddin juga berfokus pada pembangunan aliansi yang menguntungkan, yang semakin memperkuat posisi Aceh di kancah internasional. Selain itu, Aceh berkembang pesat sebagai pusat kebudayaan dan keilmuan Islam di Nusantara.
Pusat Keilmuan Islam di Nusantara
Salah satu kontribusi terbesar Sultanah Safiatuddin terletak pada pengembangan ilmu pengetahuan Islam di Nusantara. Di bawah pemerintahannya, Aceh dikenal sebagai “Serambi Mekkah” yang menjadi pusat pendidikan Islam yang melahirkan banyak ulama dan cendekiawan.
Sultanah mendirikan lembaga-lembaga pendidikan yang menggabungkan ilmu agama dan pengetahuan modern, serta membuka akses pendidikan untuk perempuan, menjadikan Aceh sebagai salah satu pelopor kesetaraan gender di dunia Islam.
Sultanah Safiatuddin percaya perempuan mrmiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan dan berperan aktif dalam bermasyarakat. Langkah ini memperkuat peran perempuan dalam kehidupan sosial dan politik Aceh.
Sultanah Safiatuddin tidak hanya memimpin dalam hal pemerintahan tetapi juga mengajak perempuan untuk turut serta dalam pengembangan masyarakat. Di bawah kepemimpinannya, Aceh menjadi contoh nyata peradaban Islam yang inklusif, di mana perempuan memiliki ruang untuk berkembang dan berkontribusi.
Kepemimpinan Berdasarkan Kebijaksanaan
Kepemimpinan Sultanah Safiatuddin tidak hanya terkenal karena keberaniannya, tetapi juga karena kebijaksanaannya dalam menghadapi berbagai tantangan. Sosoknya dikenal sebagai pemimpin yang tegas namun adil. Setiap kebijakan yang diambil selalu mengedepankan prinsip keadilan, dan ini yang membuat rakyat Aceh merasa dihormati dan didengarkan.
Sultanah mampu merangkul berbagai elemen masyarakat, mulai dari ulama, pedagang, hingga bangsawan, dan selalu menekankan pada pentingnya kesejahteraan rakyat. Meskipun ada keraguan dari sebagian pihak tentang kemampuan perempuan untuk memimpin, Sultanah Safiatuddin membuktikan bahwa seorang pemimpin tidak diukur berdasarkan gender, melainkan visi dan komitmen terhadap rakyat. Di bawah kepemimpinannya, Aceh tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang menjadi salah satu kekuatan besar di Asia Tenggara.
Inspirasi untuk Nusantara dan Dunia Islam
Kepemimpinan Sultanah Safiatuddin memberikan inspirasi tidak hanya bagi masyarakat Aceh, tetapi juga bagi seluruh Nusantara dan dunia Islam. Beliau membuktikan bahwa perempuan juga bisa memimpin dengan kebijaksanaan, keadilan, dan ketegasan. Keberaniannya untuk memegang tahta di masa yang penuh tantangan menjadi simbol bahwa Islam memberi ruang bagi perempuan untuk berperan aktif dalam politik dan pemerintahan.
Dalam karya Sovereign Women in a Muslim Kingdom, disebutkan bahwa Sultanah Safiatuddin berhasil menantang pandangan tradisional mengenai peran perempuan dalam Islam. Beliau membuktikan bahwa Islam tidak melarang perempuan untuk menjadi pemimpin, asalkan mereka memiliki kemampuan, integritas, dan komitmen untuk melayani rakyat. Warisan kepemimpinan Sultanah Safiatuddin tetap relevan hingga saat ini, menjadi pelajaran penting tentang inklusivitas dan keadilan gender di era modern.
Sultanah Safiatuddin Tajul Alam Syah adalah bukti nyata bahwa kepemimpinan yang adil dan bijaksana dapat lahir dari siapa saja, tanpa memandang gender. Sebagai pemimpin perempuan pertama di Kesultanan Aceh, ia membuktikan bahwa kepemimpinan tidak bergantung pada gender, melainkan pada kemampuan, visi, dan integritas seorang pemimpin. Di bawah kepemimpinannya, Aceh tetap menjadi pusat peradaban Islam dan perdagangan, serta pusat ilmu pengetahuan di Nusantara.
Sultanah Safiatuddin juga memperjuangkan kesetaraan gender dengan membuka akses pendidikan bagi perempuan dan menunjukkan bahwa perempuan dapat berperan aktif dalam politik dan pemerintahan. Kepemimpinan dan kebijaksanaannya menjadikan simbol kekuatan dan kebijaksanaan, yang membawa pengaruh besar bagi Nusantara dan dunia Islam.
Sultanah Safiatuddin membuktikan bahwa seorang pemimpin yang bijaksana tidak terikat oleh tradisi atau gender. Warisan kepemimpinannya, mengingatkan kita akan pentingnya pemimpin yang memegang teguh nilai kebenaran, keadilan, dan kemajuan, sebagaimana yang dilakukan oleh Sultanah Safiatuddin sebagai cahaya yang menerangi dari Serambi Mekkah.
Daftar Pustaka
Khan, Sher Banu A. L. Sovereign Women in a Muslim Kingdom: The Sultanahs of Aceh, 1641–1699. Z-Library, 2024.