Keislaman

Kesal Elegan Ala Nabi Musa dan Sabar Seperti Nabi Khidir

5 Mins read

Kalimat terkini yang akhir-akhir ini memutar di benak saya adalah ungkapan “wajar manusia bukan nabi boy.” Konteks penggunaannya adalah ketika manusia ini membuat kesalahan, kekhilafan ataupun ketidaksempurnaan dalam melakukan segala sesuatunya.

Benar, dalam perkembangan usia kita yang terkungkung budaya agama ketimuran, nabi ialah mereka orang-orang yang “tidak tersentuh” dengan tangan dan perasaan manusia. Kisah-kisah nabi diceritakan sedemikian sempurna tanpa ada ruang untuk sebuah cela. Kisah-kisah mereka demikian inspiratif, konservatif dan heroik.

Tidak boleh ada kritik. Sedemikian rupa mereka dikisahkan paripurna kepada anak-anak kecil, dirangkai dalam sebuah buku berilustrasi warna-warni, sehingga anak-anak merasa begitu takjub. Saya merupakan salah satu “alumnus” dari penikmat kisah para nabi, paling tidak efektif untuk mengantarkan tidur dengan cara yang sedemikian luhur.

Saya memahami dan sangat mengingat, beberapa pertanyaan seperti “mengapa Musa bisa membelah laut?” bahkan “mengapa orang zaman dahulu bisa sakti?” hanya bisa dijawab oleh kakek saya. Tanpa menghakimi, tanpa memarahi atau menghardik, justru menjelaskan secara logis.

Saya telah mencoba menanyakan hal serupa, pada orang sekitar uang kebetulan kala itu membacakan saya buku. Tidak ada yang lulus dalam menjawab pertanyaan saya, seperti jawaban mbah yang sangat masuk akal dan bisa dicerna untuk dipahami dengan pikiran.

Begitu banyak pertanyaan filosofis yang apabila saya menanyakannya—dalam hal ini menyangkut reputasi kredibilitas kisah para nabi—dan mereka tidak dapat menjawab—saya akan dimarah. Atau paling minim dihardik dengan mengatakan bahwa tidak sepantasnya saya menanyakan itu. Apalagi jika itu adalah suatu dogma ajaran agama.

Mirisnya, mereka yang seperti itu akan terus tumbuh menjadi manusia yang seperti itu. Manusia yang tidak paham caranya mengkritisi, emosi ketika dirinya dikritisi dan tidak mau terima kritik dari orang lain. Kata mbah saya, orang itulah yang akan sulit hidup.

Beliau pernah memberikan wejangan, “kalau kamu ingin didengar orang lain, maka banyakkan waktumu untuk mendengar secara tuntas meskipun kamu tidak sepakat. Karena mendengar adalah suatu bentuk paling dasar dari sebuah integritas. Jangan mudah merasa benar, sekecil ketika telingamu telah kian sumbang, enggan mendengar.”

Baca...  Khawatir Berlebihan Sabar dan Tawakal Menjadi Kunci Menghindarkan Diri dari Rasa Takut

Semenjak itu, mendengar adalah bagian paling menyenangkan bagi saya dalam hidup. Terlalu panjang latar belakang ini. Lalu, pertanyaan saya ke mbah saat remaja ialah, “mengapa mbah tidak marah seperti mereka?” Padahal kalau orang lain diberikan pertanyaan yang persis, maka saya kerap kali dimarah dan dihardik.

Ingat betul pada saat tanya itu terlontar, mbah saya menggeliat, “ya karena mereka tidak bisa menjawab” begitu rupanya. Lain hal dengan pertanyaan filosofis, jika menyangkut agama beliau hanya bisa menjawab “kamu harus ngaji, nduk. Supaya kamu dapat menjawab”. Mendengar ini, saya bingung dari mana mengaji bisa menjadikan saya dapat menjawab.

Tetapi saya lakukan apa yang beliau katakan. Hingga sampai saya ambil akidah filsafat fakultas ushuluddin. Karena saya sadar dan paham, tidak ada pertanyaan yang salah. Mereka marah karena itu tabiat mereka dalam mempertahankan ketidaktahuannya. Memilih anarki darsesa mengkritisi dan mendalami. Dan saya rasa, hal itu harus berhenti pada saya.

Saya harus bisa menjelaskan segala sesuatu seperti cara mbah menjelaskan. Tenang, sabar, dengar. Tidak boleh ada lagi cara hardikan, hanya karena yang dewasa tidak berpengetahuan. Salah satu pesan beliau yang melekat adalah “jadilah sarjana yang mendengar, karena mendengarkan adalah suatu bentuk dari pembelajaran. Jangan pernah menjadi tuli, tidak semua pendapatmu itu benar sendiri.”

Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir Alaihissalam

Kisah nabi Musa terabadikan dalam Al Quran. Bukan mengenai kehebatan tongkatnya yang membelah laut merah. Bukan pula dipukul kemudian menjelma ular. Dan bukan saat diburu Firaun atau dilarung ke sungai Nil oleh ibundanya.

Melainkan, bagaimana nabi Musa pernah khilaf ketika ditanya perihal siapa orang yang paling alim di bumi? Musa mengira dirinyalah yang menjadi jawabannya. Allah pun menegurnya karena nabi Musa mengatakan yang demikian.

Nabi Musa tidak lantas marah atau kecewa, beliau justru meminta Allah untuk memberitahukan di mana keberadaan hamba yang lebih alim itu. Kemudian Allah memerintahkan Nabi Musa melakukan perjalanan dengan pelayaran di samudera. Dengan membawa ikan sebagai penunjuk lokasi. Apabila ikan itu terlepas, di sanalah hidup seorang hamba yang lebih mulia daripada Nabi Musa. Beliau pun lekas bergegas berlayar bersama sahabat (murid)-nya, Yusya bin Nun.

Baca...  Memetik Hikmah Kisah Perjalanan Nabi Musa dan Nabi Khidir

Mereka berdua senantiasa mencari keberadaan hamba tersebut hingga bertemu di salah satu tepian laut. Nabi Musa pun mengemukakan keinginan beliau untuk belajar kepada Nabi Khidir. Namun, Nabi Khidir telah memperingatkan Nabi Musa bahwasanya beliau tidak akan bisa bersabar kala mengikuti perjalanan seorang Khidir.

Kendati demikian, Nabi Musa memiliki keyakinan diri bahwa beliau akan sabar dan tahan terhadap Nabi Khidir. Kemudian berjalanlah mereka, yang dalam perjalanan itu, terdapat perkara-perkara yang Nabi Musa tidak bisa menalar mengapa Nabi Khidir berlaku demikian. Beberapa kali Nabi Musa membantah, dan kerap kali mempertanyakan apa alasannya. Beliau melakukannya dengan santun dan tata krama dan ilmu yang demikian sempurna.

Hingga Nabi Khidir pun mengulang-ulang kalimat yang sama, “sesungguhnya engkau tidak akan pernah sanggup untuk sabar menahan diri bersamaku ketika aku berbuat sesuatu dihadapmu”.

Nabi Musa gigih mempertanyakan mengapa demikian? Lalu Nabi Khidir pun balik mempertanyakan, “dan bagaimana engkau akan dapat bersabar atas sesuatu yang aku lakukan ketika engkau menyaksikannya, sedang engkau belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu, yakni engkau tidak mengetahui hakikat tentang perbuatan yang saya lakukan itu”. Kemudian kedua kalimat ini abadi dalam Al Quran Surah ke-18 Al Kahfi ayat 67-68.

Ada satu ayat lain yang indah dan menggugah bagi saya. Inilah benang merah dari kisah Nabi Khidir dan Nabi Musa. Terdapat dalam surah Al Kahfi ayat 73. “Dia (Musa) berkata, ‘Janganlah engkau menghukumku karena kelupaanku dan janganlah engkau membebaniku dengan kesulitan dalam urusanku.”’

Bahwasanya orang yang bertanya terkadang lupa, bahwa mungkin belum ia dapati ilmunya. Jangan dihardik, dimarahi, dicemooh ataupun dihina. Konteks dalam ayat tersebut adalah Nabi Musa memohon kepada Nabi Khidir agar memberi beliau kesempatan. Bahwa manusia yang mau belajar, haruslah diberikan ruang dan kesempatan untuk merevisi dan mempelajari.

Baca...  Turunnya Al-Qur’an: Antara Proses Bertahap dan Sekaligus

Karena manusia tempatnya salah dan khilaf. Tidak ada batasan untuk melakukan kesalahan, sekalipun seorang nabi, Nabi Musa pun masih kerap bersalah dalam menjalani kehidupan. Saya merasa bersyukur ketika mendapati al quran yang mengabadikan kisah sedemikian indah ini. Pada ayat inilah saya jatuh hati dengan kisah para nabi.

Ayat lain yang membuat saya tercengang adalah ketika Nabi Khidir mengatakan, “Dia “Inilah (waktu) perpisahan antara aku dan engkau. Aku akan memberitahukan kepadamu makna sesuatu yang engkau tidak mampu bersabar terhadapnya.”’ Beliau tetap berusaha menjelaskan sesuatu ilmu yang Nabi Musa belum mengerti mengapa harus seperti itu.

Beliau berintegritas dengan mempertimbangkan seberapa jauh perjalanan yang Nabi Musa tempuh hanya untuk memperoleh lebih banyak ilmu. Sehingga beliau jelaskan. Ketika saya sampai pada ayat ini, demi Allah saya merasa mbah saya sedemikian cerdas dalam mendidik saya untuk sabar mendengar.

Dan sungguh beliau merupakan seorang yang senantiasa sabar dalam mendengarkan kemudian menjawab pertanyaan dari saya. Tanpa marah, tidak menghardik, justru mengajari saya dengan logika dan kesabaran.

Ayat terakhir dari surah Al Kahfi yang menjadi closing statement dari mengapa harus memiliki cara yang elegan untuk rasa kesal, dan kesabaran untuk mendapat ilmu dan menjelaskan suatu ilmu kepada seseorang adalah seutas kalimat lain dari surah Al Kahfi, “Hingga ketika sampai di antara dua gunung, dia mendapati di balik keduanya (kedua gunung itu) suatu kaum yang hampir tidak memahami pembicaraan.”

Adalah kisah Dzulkarnain yang melakukan perjalanan dan mendapati kaum yang tidak mengerti. Bagi saya, dan konklusi dari seorang kawan yang merupakan mahasiswa jurusan studi agama-agama, sebagai manusia hendaknya kita tidak memaksakan ilmu kita diajarkan kepada orang yang belum bisa menerimanya.

Amalkan ilmu kepada mereka yang siap. Karena kalau tidak seperti itu, pertengkaran akan cenderung lebih mudah untuk terjadi. Jadilah orang cerdas yang mencerdaskan, bukan yang memaksakan kecerdasan.

4 posts

About author
Mahasiswa Aqidah dan Filsafat UIN Sunan Ampel
Articles
Related posts
Keislaman

Isra dan Mikraj Nabi Muhammad

5 Mins read
  سُبْحَٰنَ ٱلَّذِىٓ أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِۦ لَيْلًا مِّنَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ إِلَى ٱلْمَسْجِدِ ٱلْأَقْصَا ٱلَّذِى بَٰرَكْنَا حَوْلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنْ ءَايَٰتِنَآ ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ…
KeislamanKhutbah Jumat

Khutbah Jumat ; Rasulullah Rahmat Bagi Alam Semesta

7 Mins read
A. Khutbah Jumat Pertama; السلام عليكم ورحمة الله وبركاته 1. Hamdallah; 2. Syahadatain; 3. Salawat Allahumma shalli ala’ Muhammad. Wa’ala alihi wa…
KeislamanTafsir

Nilai-nilai Pendidikan Karakter dalam Surat Al-Mujadalah Ayat 11 dan Luqman Ayat 13 Menurut Tafsir Al-Misbah dan Al-Azhar

5 Mins read
Nilai-nilai pendidikan karakter adalah suatu kebutuhan yang berlangsung terus-menerus untuk meningkatkan kesadaran individu, pembentukan karakter berkontribusi pada masa depan yang lebih baik….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
Berita

Perkuat Peran Kepemimpinan, Aisyiyah Sumedang Sukses Menggelar Baitul Arqam

Verified by MonsterInsights