Keislaman

Daulah Islamiyah dan Jejak Khulafur Rasyidin (2)

4 Mins read
KULIAHALISLAM.COM – Kedua, Umar ibn Khattab. Ia lahir pada tahun 579 M dan meninggal pada tanggal 06 November tahun 644. Berkuasa sekitar 10 tahun. Bernama lengkap Umar ibn Khattab ibn Nufail ibn Abd al-Uzza ibn Riyah ibn Qurth ibn Razah ibn Adiy ibn Ka’ab ibn Lu’ay al-Qurasyiy al-Adawiy.
Kita tahu, awal kali Umar adalah orang yang sangat memusuhi dakwah Islam. Ia musuh keras akan dakwah Nabi. Namun pada akhirnya beliau masuk Islam dan menjadi orang yang sangat penting perannya dalam sejarah Islam.
 
Bisa dianggap, pasca Nabi wafat peran Islam bisa ditentukan oleh Umar. Dalam hal ini bukan berarti sahabat yang lain tidak penting, akan tetapi karena dibawah kekuasaan Umar lah Islam sebagai lembaga politik mengalami konsolidasi yang luar biasa, serta wilayah Islam mengalami perluasan luar biasa. Pendek kata, Umar adalah pembangun kekuasaan Islam.
 
Tak hanya Abu Bakar, Umar juga mempunyai peninggalan kebijakan. Salah satunya adalah kebijakan perluasan kekuasaan Islam. Dibawah Umar lah kekaisaran Persia terbesar dan Romawi jatuh ke tangan Islam. Pada masa Umar lah Jerussalem jatuh ke tangan kekuasaan Islam, hingga akhirnya Umar meneken satu perjanjian dengan kepala Gereja Jerusslem.
 
Fakta Umar inilah yang kita kenal dengan sebutan “al-uhdah al-umariyah” dikenang sebagai pondasi penting dalam meletakkan kebijakan kekuasaan Islam terhadap orang-orang non-Muslim. Adalah kebijakan menghormati hak-hak minoritas.
 
Warisan kebijakan Umar lainnya adalah bidang penyelenggaraan negara. Pertama, saat Umar menjadi penguasa beliau tidak pernah membagikan tanah-tanah yang dirampas dari orang non-Muslim, ketika tanah itu ditaklukkan pasukan orang Islam.
 
Andaikan mengikuti sunnah Nabi, ketika tanah itu sudah ditaklukkan pasukan muslim maka tanah itu dibagikan kepada orang muslim (pasukan Islam), seperti yang terjadi pada tanah Khaibar (tanah Yahudi di Madinah). 
 
Namun tidak dengan Umar. Misalnya, waktu Irak jatuh ke tangan pasukan Islam ia melarang tanah dibagikan kepada para pasukan Islam, melainkan dijadikan milik negara.
 
Kemudian, ketika Umar menjadi khalifah, ia menghapuskan bagian zakat yang diberikan kepada orang muallaf (baru masuk Islam). Tentu bukan tanpa alasan. Kata Umar, karena Islam sudah menjadi agama besar maka tidak butuh untuk menerik simpati orang-orang muallaf, dan karena tidak perlu diberikan zakat.
 
Poinnya adalah Umar melakukan interpretasi ulang terhadap sunnah Nabi karena konteksnya berbeda. Oleh karena itu, sebagian sarjana modern mengatakan bahwa Umar adalah sahabat yang berfikir secara kontekstual dan progresif.
 
Ketika zaman berubah maka penafsiran terhadap agama seharusnya berubah. Jelasnya, dengan kecerdasannya Umar benari melakukan reinterpretasi terhadap ajaran Islam karena konteksnya berubah.
 
Ketiga, Utsman ibn Affan. Ia dikenal dengan sahabat yang kaya raya. Berkuasa sekitar 12 tahun. Berasal dari klan Bani Abdi Syams. Kita tahu, di dalam suku Quraisy ada dua suku yang selalu bersaing sejak sebelum Islam datang, yaitu Bani Hasyim dan Bani Abdi Syams (klan yang aktif dalam bidang ekonomi dan mereka memang dikenal kaya raya).
 
Utsman dikenang karena kebijakan utamanya ketika menjadi khalifah meneruskan proyek penulisan al-Qur’an, yang tentu dibawah super visi Zaid ibn Tsabit. Setelah selesai diterbitkanlah kodek resmi “Mushaf Utsmani” dan dikirimkan keberbagai belahan dunia Islam.
 
Berkat Qur’an Utsmani inilah kita kemudian memiliki Qur’an yang standar. Hanya saja, dalam proses pengumpulanya ada hal yang menarik. Waktu Utsman mengumpukan hingga menerbitkan secara resmi, maka seluruh mushaf selain Utsmani disingkirkan, bahkan dibakar.
 
Alih-alih dibakar, ditangan beberapa para sahabat ada mushaf di luar mushaf Utsmani. Konon ada mushaf Ibnu Mas’ud dan Ali. Namun karena kebijakan, akhirnya disuruh bakar. Tentu ada positifnya. Pertama, kita mempunyai Qur’an satu, namun kedua, kita kehilangan jejak sejarah tentang versi-versi Qur’an yang lain, meskipun versi mushaf di luar Utsmani ini masih direkem sebagian ulama dalam karya-karya.
 
Hal lain yang menarik dari Utsman adalah pada saat Utsman inilah benih-benih perpecahan umat Islam mulai muncul. Konon Utsman dikenal karena kebijkannya yang kontroversial, antara lain meng-anak-emas-kan keluarga Bani Abdi Syams. Sebagian kebijakannya cenderung nepotistik, karena itu ada banyak ketidakpuasan terutama dari Mesir.
 
Di ujung pemerintahannya ribuan banyak orang datang ke Madinah melakukan protes, rumahnya dikepung berhari-hari sampai akhirnya beliau meninggal terbunuh. Proses penguburannya di dalam buku-buku sejarah dikatakan sangat mengenaskan, sebab beliau dikuburkan secara diam-diam malam hari khawatir akan dibongkar oleh orang-orang yang melakukan protes kepada Utsman; mungkin hanya diikuti sekitar 10-15 orang.
 
Dan sebetulnya, benih-benih Sunni dan Syiah dimulai pada saat khalifah Utsman. Tentu sejarah Islam menjadi lain setelah Utsman (dan akan menemukan rekam jejak berbeda seandainya Utsman menerapkan kebijakan yang berbeda juga). Dan, sama sekali kita tidak akan meratapi sejarah, melainkan kita patut mempelajarinya sebagai cermin untuk kita saat sekarang. Bagaimanapun, Utsman mempunyai peran yang besar tetapi juga mempunyai kontroversial.
 
Keempat, Ali bin Abi Thalib. Ia adalah khalifah ke empat di dalam Islam dan berkuasa sekitar 5-6 tahun. Sepupu dan orang yang sangat berjasa dalam sejumlah fase kehidupan Nabi. Beliaulah yang menyertai Nabi ketika hijrah dari Makkah ke Madinah, bahkan ia adalah sahabat yang sering ditugasi oleh Nabi sebagai pengganti Nabi saat Nabi melakukan ekspedisi militer atau perang keluar Madinah.
 
Tak hanya itu, Ali juga sahabat yang menandai fase penting dalam sejarah Islam karena beliaulah sahabat yang memulai terjadinya perpecahan umat Islam yaitu, antara kubu Syiah dan Sunni. Kubu Syiah menjadi kubu pendukung Ali, sementara Sunni memilih jalan politik lain.
 
Yang jelas, selain Abu Bakar semua khalifah terbunuh di dalam pembunuhan politik. Pada waktu Ali berkuasa, masalah pembunuhan Utsman menjadi politik yang sentral. 
 
Gubernur Syiria (Damaskus) Muawiyah bin Abi Sufyan menuntut kepada Ali supaya pembunuh Utsman diungkapkan dan dihukum. Namun, oleh pendukung Muawiyah, Ali tidak anggap terlalu cepat memproses siapa yang membunuh Utsman, hingga akhirnya mereka memberontak.
 
Dua pemberontakan yang terjadi pada masa Sahabat Ali. Pertama, pemberontakan yang dilakukan oleh istri Nabi sendiri yaitu Siti Aisyah dalam suatu perang yang disebut Perang Unta (jamal); kedua, perang besar melawan Muawiyah yang disebut Perang Shiffin. 
 
Perang ini berakhir dengan kekalahan Ali melalui diplomasi yang dianggap oleh sebagian sejarawan penuh dengan tipuan dan trik-trik. Dan Ali berhasil dibunuh oleh seorang bernama Abdurrahman ibn Muljam.
 
Akibatnya, lahirnya kelompok bernama Khawarij (membangkang kepada Ali) dan kelompok Syiah yang mendukung kepada Ali, dan kemudian ada orang-orang Sunni yang tidak setuju dengan kelompok Syiah.
Nah, sejarah perpecahan ini sampai sekarang masih kita warisi, bahkan kelompok pendukung dan pemberontak kepada masih kita saksikan sampai hari ini juga (konflik Sunni vs Syiah).
 
Sebaiknya dan seharusnya, sejarah permusuhan yang dimulai dari sejarah awal Islam ini diakhiri. Sebab, tidak ada gunanya umat Islam meneruskan permusuhan-permusuhan ini. Permusuhan tidak patut dilanggengkan terus menerus karena akan membuat orang Islam semakin lemah.
 
Sudah saatnya umat Islam melampaui memori sejarah traumatik yang terlalu pahit ini, dan mulai membangun dialog yang lebih harmonis antara kelompok Sunni vs Syiah. Orang Sunni bukan berarti tidak cinta Ali dan ahlul bait, justru mereka sangat mencintainya dan mengungkapkannya dengan cara yang berbeda pula.
 
Namun juga, sikap sebagian kalangan Sunni yang memusihi Syiah dengan menyebarkan fitnah dan informasi buruk seperti tuduhan Syiah mempunyai Qur’an sendiri dan doktrin sendiri yang berbeda dengan kalangan umumnya Islam, adalah tuduhan yang tidak sehat di dalam membangun ukhuwwah islamiyah.
 
Bagaimanapun, kampus Al-Azhar di Mesir mengakui akan salah satu mazhab yang sah di dalam Islam (fikih), yaitu “Mazhab Itsna Atsariyah” (Mazhab Jakfariyah). Sangat tidak bijaksana jika meneruskan pertikaian antara Syiah vs Sunni. Wallahu a’lam bisshawab.
 
*) Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo dan PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Penulis juga kontributor tetap di E-Harian Aula digital daily news Jatim.
Baca...  Sejarah Walisongo dalam Menyebarluaskan Agama Islam di Pulau Jawa 
63 posts

About author
Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo dan PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Penulis juga kontributor tetap di E-Harian Aula digital daily news Jatim.
Articles
Related posts
KeislamanTafsir

Penegakan Hukum dan Keadilan dalam Lensa Tafsir Al-Qurthubi

4 Mins read
Hukum dan keadilan adalah dua prinsip mendasar yang sangat dijunjung tinggi dalam Islam. Alqur’an sebagai sumber utama hukum Islam memberikan pedoman yang…
KeislamanNgaji Al-Iqtishad Fi Al-I’tiqad

Gus Ulil Ngaji Al-Iqtishad Fi Al-I’tiqad: Sesat Pikir Karena Asosiasi

3 Mins read
Kita ketahui bersama bahwa pandangan akidah Asy’ariyah mengenai soal af’alullah (tindakan Tuhan) adalah bahwa semua tindakan Tuhan sifatnya jaiz (boleh). Dalam hal…
Keislaman

Diskursus Penafsiran Ayat Pernikahan Beda Agama dalam Alqur'an

3 Mins read
Pernikahan beda agama selalu menjadi topik yang hangat di masyarakat. Ada yang menentangnya keras, ada yang membolehkan dengan syarat tertentu. Tapi bagaimana…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights