Kepemimpinan wanita di Indonesia khususnya di Jawa Timur, merupakan isu yang semakin populer dalam konteks politik saat ini. Peran wanita sebagai pemimpin sering kali dipertanyakan dan dipandang sebelah mata. Padahal dalam QS. An-Nisa’ ayat 34 menjelaskan tentang kedudukan dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Ayat ini menegaskan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi wanita, namun hal ini tidak berarti bahwa wanita tidak memiliki kapasitas untuk memimpin atau berkontribusi secara signifikan dalam berbagai aspek kehidupan.
Membahas tentang kepemimpinan wanita, terdapat perbedaan pendapat yang signifikan antara yang menolak seorang wanita menjadi pemimpin dan mendukung wanita menjadi pemimpin dengan landasan dalil masing-masing.
Hal ini bisa terjadi dikarenakan perbedaan pendekatan yang diambil oleh ulama’ dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadist dan perbedaan penilaian metode ijma’ ulama’ sebagai sumber dalil hukum atau sebagai metode istimbat hukum, sehingga hal ini menghasilkan konklusi hukum yang berbeda pula.
Karena itu permasalahan tentang kepemimpinan wanita termasuk ke dalam rana ijtihadiyah yang akan selalu dinamis sepanjang masa. Maka sudah sewajarnya ulama’ berbeda pendapat tentang masalah ini serta sikap yang akan diambilpun berbeda.
Perbedaan penafsiran diantara para ulama’ salah satunya terdapat di Al-Qur’an surah An-Nisa’ ayat 34 yang berbunyi :
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوۡنَ عَلَى النِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعۡضَهُمۡ عَلٰى بَعۡضٍ وَّبِمَاۤ اَنۡفَقُوۡا مِنۡ اَمۡوَالِهِمۡ ؕ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلۡغَيۡبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ ؕ وَالّٰتِىۡ تَخَافُوۡنَ نُشُوۡزَهُنَّ فَعِظُوۡهُنَّ وَاهۡجُرُوۡهُنَّ فِى الۡمَضَاجِعِ وَاضۡرِبُوۡهُنَّ ۚ فَاِنۡ اَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُوۡا عَلَيۡهِنَّ سَبِيۡلًا ؕ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيۡرًا ٣٤
Artinya : Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka).
1 Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, 2 hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar.
Ayat ini menjelaskan tentang kedudukan antara laki-laki dan perempuan dan terdapat perbedaan ulama’ tentang penafsiran ayat ini. Pandangan ulama yang tidak setuju dengan kepemimpinan wanita dikemukakan oleh Ibnu Katsir. Ia menafsirkan bahwasanya ayat ini secara jelas menyatakan bahwa laki-laki itu menjadi pemimpin bagi perempuan dalam artian sebagai kepala, hakim, pemimpin dan pendidik perempuan.
Ayat ini menandakan laki-laki lebih utama dari wanita dan laki-laki lebih baik daripada wanita. Dikarenakan hal ini kenabiyan hanya dikhususkan untuk laki-laki, begitupun juga raja, jabatan-jabatan kehakiman dan lain sebagainya.
Ayat ini juga secara langsung menjelaskan tanggungan menafkahi seorang perempuan itu dibebankan kepada laki-laki, baik berupa mahar, nafkah dan macam-macam tanggungan yang telah tercantum di Al-Qur’an. Hal ini menjadi salah satu indikator bahwa laki-laki lebih siap jiwanya dibandingkan perempuan dan memelikii keutamaan sehingga cocok menjadi tanggung jawab atas perempuan.
Terdapat hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari :
عن أبي بكرةَ قال: «لقد نفَعني اللهُ بكلمةٍ سمعتها من رسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم أيامَ الجمل بعدما كِدتُ أن ألحقَ بأصحابِ الجمل فأُقاتلَ معهم. قال: لما بلغَ رسولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم أن أهل فارسَ قد ملَّكوا عليهم بنتَ كِسرَى قال: لن يُفِلحَ قومٌ ولوا أمرَهُم امرأة».
Artinya : Dari Abu Bakrah, ia berkata: di masa perang Jamal, sungguh aku beruntung teringat hadis Nabi ketika hampir saja aku ikut perang Jamal dan bertempur melawan pasukan Ali bersama mereka (pasukan yang dipimpin Aisyah, Thalhah dan az-Zubair). Hadisnya ialah: tatkala sampai kepada Nabi berita bahwa bangsa Persia menunjuk anak wanita Kisra Yazdajird sebagai ratu, Nabi bersabda: tidak akan berhasil suatu kaum yang menyerahkan pemerintahannya kepada wanita.
Hadist ini dinisbatkan kepada Abi Bakrah yang dimintai oleh Aisyah untuk bergabung ke kubunya untuk melawan pasukan Ali bin Abi Thalib. Keputusan Abi Bakrah menolak ajakan itu, kemudian beliau mengucapkan hadist ini dikarenakan pada perang itu pemimpin perang dipegang oleh Sayyidah Aisyah.
Ibnu Katsir menjadikan hadist ini sebagai sebuah penguat argumen untuk melarang dan menolak kepimimpinan seorang perempuan. Hadist ini juga menjadi dasar bahwasanya perempuan tidak memiliki kelayakan untuk menjadi pemimpin, sehingga yang berhak menjadi pemimpin itu seorang laki-laki.
Hal ini juga ditegaskan oleh pendapat al-Baghawi yang mengatakan “jika perempuan tidak sah menjadi pemimpin”. Disisi lain al-Baghawi juga menjelaskan ketidakbolehan perempuan menjadi pemimpin dikarenakan pemimpin pasti keluar dan berjihad demi kepentingan bangsa, serta mampu mengurusi segala urusan masyarakat dengan baik. Posisi ini tidak mungkin dilakukan oleh perempuan, sementara perempuan merupakan makhluk yang lemah.
Terkadang hadist-hadist ini diperkuat dengan kondisi kodrati perempuan, bahwa ketidakbolehan perempuan menjadi pemimpin, selain lemah ada unsur-unsur lain yang pasti hadir pada diri perempuan, seperti menstruasi yang datang setiap bulan, hamil dan melahirkan serta menyusui dan merawat/mendidik anak-anaknya. Kondisi kodrati semacam ini menjadikan perempuan secara psikis dan emosional mudah terganggu, sehingga menjadikan kondisi perempuan sering tidak stabil.
Ulama yang menentang kepemimpinan perempuan hanya membaca teks hadits tanpa mempertimbangkan konteksnya (Asbabul Wurud). Meskipun demikian, pendapat semacam itu dapat diterima karena hadits tersebut diriwayatkan oleh sarjana Hadits terkenal seperti Bukhari, an-Nasa’i, al-Turmudzi, dan Ahmad., akan tetapi penting juga melihat sisi kontekstualitas Hadits tersebut. Karena, ulama yang menyetujui tentang kepemimpinan perempuan penelaahannya dilakukan secara kontekstual.
Hadits-Hadits ini berasal dari peristiwa yang terjadi pada raja Kisra di Persia, menurut konteksnya. Selama dakwahnya, Rasulullah saw. mengutus Abdullah bin Hudzafah as-Sami untuk mengirimkan surat kepada pembesar Bahrain untuk disampaikan kepada Kisra, yang berada di Persia.
Setelah menerima surat dari Abdullah bin Hudzafah as-Sami, Kisra menolak ajakannya dan merobek suratnya. “Siapa saja yang merobek-robek surat dariku, dirobek-robek (diri dan kerajaan) orang itu,” kata Rasulullah saat mendengar peristiwa ini. Apa yang Rasulullah saw. katakan benar-benar menimpah Persia di masa berikutnya. Kerajaan Persia mengalami karut-marut, pemberontakan, dan perebutan kekuasaan.
Nabi Muhammad mengatakan bahwa “bangsa yang menyerahkan kepemimpinan kepada perempuan tidak akan berhasil” dalam konteks sosio-historis ini. Oleh karena itu, hadits tentang kepemimpinan perempuan memiliki konteks yang jelas, yaitu ketika kerajaan Persia runtuh.
Tentu saja, konteks ini tidak sama dengan yang ada saat ini. Karena banyak perempuan saat ini yang mampu menjadi pemimpin. Di sisi lain, status perempuan saat ini berbeda dengan masa lalu; keberadaan mereka dihargai dan dihormati.
Hadits yang berkaitan dengan hal-hal di atas tidak mutlak, tetapi lebih bersifat kontekstual atau khusus. Jika perempuan memiliki pengetahuan, wawasan, dan standar kepemimpinan, jalan mereka untuk menjadi pemimpin sangat terbuka.
Pendapat yang setuju memperbolehkan apabila perempuan menjadi pemimpin dikuatkan oleh al-Thabari. Menurutnya kebolehan perempuan menjadi pemimpin dilandaskan kepada kebolehan perempuan menjadi saksi atas pernikahan. Pada konteks ini terdapat kesetaraan dalam permasalahan saksi antara laki-laki dan perempuan.
Hal ini menjadi salah satu faktor kesetaraan itu berlaku juga pada persoalan kepemimpinan. Hadist yang berkaitan dengan ketidakbolehan perempuan menjadi pemimpin di lain sisi patut dilihat dan dipahami dari konteksnya yang sifatnya merupakan pemberitaan bukan ketetuan hukum.
Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 34 bukan untuk mencipatkan perbedaan yang menganggap perempuan lebih rendah daripada laki-laki, namun keduanya adalah setara. Ayat tersebut hanyalah ditujukan kepada laki-laki dalam posisinya sebagai suami dengan perempuan sebagai isteri.
Mereka adalah satu kesatuan kehidupan, tak ada satupun yang bisa hidup tanpa yang lain. Mereka saling melengkapi, ayat ini ditujukan untuk para suami dengan kapasitasnya sebagai kepala keluarga, yaitu memimpin isterinya, bukan untuk menjadi penguasa ataupun diktator.
Struktur masayarakat akan terbangun secara baik jika kepemimpinan berada di tangan orang yang memiliki kompetensi dan kelebihan, tanpa ada perbedaan jenis kelamin. Jadi, kepemimpinan tidak tergantung pada perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
Pro dan Kontra Kepemimpinan Kafir
Al-Qur’an telah menjelaskan tentang penolakan kepemimpinan kafir yang terdapat di QS. Ali Imran : 28 dan An-Nisa’: 144 yang berbunyi :
لَا يَتَّخِذِ الۡمُؤۡمِنُوۡنَ الۡكٰفِرِيۡنَ اَوۡلِيَآءَ مِنۡ دُوۡنِ الۡمُؤۡمِنِيۡنَۚ وَمَنۡ يَّفۡعَلۡ ذٰ لِكَ فَلَيۡسَ مِنَ اللّٰهِ فِىۡ شَىۡءٍ اِلَّاۤ اَنۡ تَتَّقُوۡا مِنۡهُمۡ تُقٰٮةً ؕ وَيُحَذِّرُكُمُ اللّٰهُ نَفۡسَهٗ ؕ وَاِلَى اللّٰهِ الۡمَصِيۡرُ
Artinya: Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, melainkan orang-orang beriman. Barang siapa berbuat demikian, niscaya dia tidak akan memperoleh apa pun dari Allah, kecuali karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu akan diri (siksa)-Nya dan hanya kepada Allah tempat kembali
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا لَا تَتَّخِذُوا الۡكٰفِرِيۡنَ اَوۡلِيَآءَ مِنۡ دُوۡنِ الۡمُؤۡمِنِيۡنَ ؕ اَ تُرِيۡدُوۡنَ اَنۡ تَجۡعَلُوۡا لِلّٰهِ عَلَيۡكُمۡ سُلۡطٰنًا مُّبِيۡنًا
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin selain dari orang-orang mukmin. Apakah kamu ingin memberi alasan yang jelas bagi Allah (untuk menghukummu)?
Ayat-ayat di atas secara ketika dilihat secara teks telah jelas tidak bolehnya mengangkat pemimpin dari orang kafir. Demikian juga di ayat lainnya, seperti QS. Al-Maidah : 51 Allah melarang menjadikan orang yahudi dan nashrani sebagai auliya’ :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُوْدَ وَالنَّصٰرٰٓى اَوْلِيَاۤءَۘ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۗ وَمَنْ يَّتَوَلَّهُمْ مِّنْكُمْ فَاِنَّهٗ مِنْهُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَ
Artinya : Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia(mu); mereka satu sama lain saling melindungi. Barang siapa di antara kamu yang menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang yang zalim.
Asbab al-nuzul QS. Al-Maidah dan ayat-ayat yang serupa menurut pendapat Ibnu Katsir, diturunkan berkenaan Abdullah bin Ubay bin Salul sebagaimana telah disebutkan oleh Ibnu Jarir. Berdasarkan beberapa keterangan bahwa Abdullah bin Ubay bin Salul telah melespaskan wala’ kepada Rasulullah dan memilih bergabung dengan kawan-kawannya dari kalangan Yahudi yang sedang memusihi umat Islam pada saat itu.
Berdasarkan-ayat-ayat diatas sebagian mufassir menyimpulkan bahwa ketidakbolehanya umat Islam mengangkat pemimpin dari kalangan non-muslim. Penerimaan terhadap non-muslim dianggap sebagai penyangkalan terhadap perintah Allah sekaligus merupakan ketundukan terhadap pemerintahan kafir.
Ayat-ayat di atas menurut al-Tabari di dalam tafsirnya menunjukan adanya larangan secara tegas bagi muslim yang menjadikan orang non-muslim baik dari kafir atau ahli kitab sebagai penolong, shahabat, pendukung dan mencintai mereka. Jika seseorang melakukan hal ini, maka Allah berlepas diri darinya, dan mereka digolongan sebagai bagian orang kafir.
Senada dengan al-Thabari, Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyatakan bahwa Allah melarang hambaNya untuk ber-walā’ kepada Yahudi, Nasrani dan orang kafir. Siapa saja yang membangkang dari perintah Allah ini maka akan mendapat siksa-Nya.
Orang yang melakukan tindakan tersebut maka akan digolongkan sebagai bagian dari mereka (orang kafir). Bahkan menurut Sayyid Quthub, larangan ini berlaku sepanjang zaman, tidak hanya ditujukan kepada kaum mukmin zaman Nabi saja. Khitab larangan ini berlaku untuk seluruh umat Islam, kapan dan dimanapun sampai hari akhir kelak.
Secara umum, larangan menjadikan non-Muslim sebagai awliyā’ di atas bersandar pada tiga hal. Pertama, larangan menjadikan orang Yahudi, Nasrani dan orang kafir sebagai pemimpin-pemimpin.
Kedua, penegasan bahwa sebagian dari mereka merupakan pemimpin sebagian yang lain. Ketiga, ancaman bagi orang Muslim yang mengangkat Yahudi, Nasrani dan orang kafir sebagai pemimpin, maka orang Muslim tersebut akan digolongkan sebagai bagian dari mereka
Pendapat yang memperbolehkan non-muslim menjadi pemimpin salah satunya dipelopori oleh Ibnu Taimiyah yang menyatakan “Lebih baik dipimpin oleh pemimpin non-Muslim (kafir) yang adil, daripada dipimpin oleh pemimpin Muslim yang lalim.”
Al-Maraghi juga terkesan lebih lunak mengenai pembahasan ini. Ia menjelaskan larangan menjadikan orang-orang non-muslim sebagai pemimpin atau teman setia adalah jika mereka menyandang sifat-sifat yang diungkapkan dalam ayat-ayat tersebut.
Di antaranya pertama, tidak segan-segan merusak urusan umat Islam, kedua menginginkan urusan dunia dan mengharapkan kehancuran Islam, ketiga mereka mengeskpresikan kebencian tersebut secara terang-terangan. Dengan demikian, jika ketiga sifat tersebut tidak kita temukan pada seorang non-Muslim, maka persoalannya akan menjadi lain.
Beberapa pendapat para mufasir yang lebih toleran ini lebih memperhatikan illat larangan daripada keseluruhan teks Al-Qur’an. Menurut sebab nuzûl ayat tersebut, larangan bersekutu dengan orang non-Muslim disebabkan oleh adanya penentangan dan perlawanan terhadap keutuhan umat muslim. Tidak dibenarkan bagi kaum Muslim untuk bersahabat atau ber-walâ’ kepada setiap orang yang memiliki sifat yang sama dengan tujuan khitāb ayat tersebut, baik itu Muslim atau non-Muslim.
Daftar pustaka
Kerwanto, K. “Kepemimpinan Non Muslim: Konsep Wilāyah Dalam al-Qur’an Sebagai Basis Hukum Kepemimpinan Non-Muslim.” Kontemplasi: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, no. Query date: 2024-11-02 12:29:00 (2017). https://ejournal.uinsatu.ac.id/index.php/kon/article/view/869.
Lutfiyah, L, and L Diyanah. “Kepemimpinan Perempuan Dalam Al-Qur’an Kajian Tafsir Tematik.” Al Furqan: Jurnal Ilmu Al Quran Dan …, no. Query date: 2024-10-31 18:02:16 (2022). http://ejournal.iai-tabah.ac.id/index.php/Alfurqon/article/view/1399.
Al-Marāghi, Ahmad Ibn al-Mustafā, Tafsīr al-Marāghi, tt: Dār ihyā al-Turāth al-‘Arabi, t.th.
Shihab, Muhammad Quraish, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Jakarta: Lentera Hati, 2002
Saeful Ahmad,”Kepemimpinan Perempuan Dalam Hukum Islam: Telaah Hadist Kepemimpinan Perempuan” Jurnal Syar’ei, 2021.
Qardhawi Yusuf, Fiqih Negata Terj. Syafril Halim, Jakarta: Robbani Press, 1999.