Sudah mafhum bahwa dalam akidah Asy’ariyah, kata Al-Ghazali, setelah Tuhan menciptakan manusia, maka Tuhan boleh dan tidak memberikan taklif (kewajiban) kepada makhluk-Nya. Tuhan juga boleh memberikan kewajiban atau beban kepada makhluk yang ia mampu untuk melakukannya atau tidak mampu.
Kenapa demikian? Karena kaidah dari tindakan-tindakan Tuhan pada dasarnya adalah bersifat jaiz (boleh). Artinya, kata Gus Ulil, tidak ada sesuatu yang bisa memaksakan Tuhan untuk melakukan apapun.
Namun demikian, Muktazilah mengingkari akan akidah Asy’ariyah dengan mengatakan Tuhan wajib menciptakan manusia. Setelah manusia diciptakan, kata Muktazilah, maka Tuhan wajib memberikan kemashlatan (kebaikan) dan dilarang berbuat kejahatan kepada makhluk-Nya. Inilah prinsip dasar akidah Muktazilah.
Dasar argumentasi akidah Asy’ariyah
Kata Asy’ariyah Tuhan boleh memberikan taklif atau kewajiban agama kepada makhluk-Nya yang ia tidak mampu untuk melakukannya. Artinya, jika Tuhan memerintahkan makhluk untuk melakukan sesuatu yang makhluk itu sendiri tidak mampu melakukannya, maka itu boleh-boleh saja.
Dengan kata lain, bagi Tuhan, karena segala hal serba boleh, maka tindakan Tuhan untuk menciptakan makhluk atau tidak, maka hal itu boleh-boleh saja (jaiz). Demikian juga Tuhan boleh dan tidak memberikan taklif kepada makhluk-Nya; apakah taklif pada nantinya bisa dikerjakan atau tidak, juga boleh. Sekali lagi, semuanya serba boleh bagi Tuhan. Karena Tuhan tidak bisa diwajibkan melakukan sesuatu.
Berbeda dengan manusia dalam hal memerintah orang lain, maka ia harus memerintahkan sesuatu yang bisa dikerjakan oleh yang diperintah. Jika tidak, maka perintah itu tidak masuk akal. Bukankah di dalam al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 286 dikatakan:
لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَاۗ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَآ اِنْ نَّسِيْنَآ اَوْ اَخْطَأْنَاۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَآ اِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهٗ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَاۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهٖۚ وَاعْفُ عَنَّاۗ وَاغْفِرْ لَنَاۗ وَارْحَمْنَاۗ اَنْتَ مَوْلٰىنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكٰفِرِيْنَ
Artinya: “Allah tidak membebani seseorang, kecuali menurut kesanggupannya. Baginya ada sesuatu (pahala) dari (kebajikan) yang diusahakannya dan terhadapnya ada (pula) sesuatu (siksa) atas (kejahatan) yang diperbuatnya. (Mereka berdoa,) “Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami salah. Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami. Maka, tolonglah kami dalam menghadapi kaum kafir.” (QS. Al-Baqarah [2]: 286).
Iya. Yang demikian itu memang benar. Akan tetapi, kata Gus Ulil, konsep “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” tidak wajib bagi Tuhan. Dan kalaupun “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” memang benar terjadi, maka itu sepenuhnya karena kehendak Tuhan, tidak kemudian karena ada pihak ketiga atau sebab hukum moral dan sebagainya. Tidak ada paksaan.
Artinya, kata Gus Ulil, jangan sampai kita mempunyai perasaan “Oh aku sudah beribadah kepada Tuhan sepenuhnya, sudah melakukan zakat, haji dan sebagainya, maka nanti diakhirat aku wajib nagih kepada Tuhan akan balasan perbuatanku.” Sikap seperti ini, kata Gus Ulil, salah. Sebab, Tuhan tak seperti mandor kayu yang selalu memberikan upah bagi mereka yang sudah bekerja.
Sejatinya taklif
Pada dasarnya orang ahlus sunnah memahami taklif sebagai kalam atau omongan yang di dalamnya terdapat unsur tuntutan orang lain untuk melakukan sesuatu (kalamun fihi al-iqtidha’). Seperti makan dan minumlah engkau.
Taklif juga mengandung inti realitas dan makna substansif di dalamnya dan bukan omong kosong. Selain itu, taklif juga mempunyai sumber yaitu, orang yang memerintahkan (mukallif). Kemudian, omongan itu diarahkan kepada orang lain (mauridun yaitu mukallaf). Itu sebabnya, manusia disebut mukallaf karena diperintahkan Tuhan untuk melakukan sesuatu. Setelahnya ada juga isinya omongan (mukallaf bihi).
Tak berhenti di sini, masing-masing unsur ada syaratnya. Misalnya, syaratnya mukallif harus bisa berbicara. Ia harus mampu memproduksi omongan yang berisi perintah. Sementara syaratnya mukallaf adalah ia harus bisa memahami perintah.
Intinya, mampu memahami perintah, maka Anda wajib melakukan sesuatu. Tetapi, jika pada akhirnya tidak mampu untuk melakukannya, maka itu urusan lain. Sekali lagi, Anda harus mampu memahami perintah, karena itulah yang menjadikan Anda mukallaf.
Berbeda dengan mukallaf bihi atau isinya perintah yang memiliki syarat bahwa sesuatu itu bisa dipahami. Jelasnya, jika perintah itu isinya jambel-mambel atau omongannya tidak jelas, maka itu bukan taklif. Dan jika semua syarat unsur sudah dipenuhi, maka taklif baru ada.
Tentu saja ini berbeda dengan paham golongan Muktazilah, kata Gus Ulil. Karena golongan orang-orang Muktazilah menjadikan rasionalitas sebagai standar utama. Sementara cara berfikirnya orang Asy’ariyah akan pengetahuan dengan menggunakan penalaran Tuhan. Standar utamanya adalah Tuhan, bukan manusia.
Catatan Pinggir
Pertanyaannya kenapa Al-Ghazali hanya menggunakan istilah ahlus sunnah? Apakah ahlus sunnah di sini sudah mengandaikan ahlus sunnah wa al-jama’ah? Jawabannya, kata Gus Ulil, ya sudah pasti ahlus sunnah wa al-jama’ah. Atau apakah pada zaman Al-Ghazali hidup (abad ke 5 H) istilah ahlus sunnah wa al-jama’ah masih belum populer?
Atau apakah pada zaman gurunya Al-Ghazali yaitu Imam Al-Haramain (Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini) istilah ahlus sunnah wa al-jama’ah sudah dipakai atau belum? Jika misalnya Al-Haramain menggunakan istilah ahlus sunnah tanpa al-jama’ah, maka berarti istilah ahlus sunnah wa al-jama’ah belum lazim. Dan secara tidak langsung gagasan wa al-jama’ah masuk dalam perkembangan berikutnya. Wallahu a’lam bisshawab.