Alqur’an adalah kitab suci yang menjadi pedoman bagi umat Islam, mengandung berbagai dimensi pembahasan, mulai dari hukum, akhlak, hingga akidah. Salah satu topik akidah yang kerap menjadi perdebatan adalah makna dari istilah istiwā, sebagaimana termaktub dalam QS. Ṭāhā: 5, yang berbunyi:
اَلرَّحْمٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوٰى
Artinya: “(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy.”
Istilah istiwā menimbulkan perbedaan tafsir yang mendalam, terutama di antara mufasir dengan latar belakang mazhab yang berbeda. Dua tokoh yang menarik untuk dikaji dalam hal ini adalah Ibn Kathir, seorang ulama Ahlusunnah, dan Al-Zamakhsyari, seorang tokoh Muktazilah. Keduanya memiliki pendekatan unik dalam memahami sifat-sifat Allah, khususnya terkait makna istiwā.
Tafsir Ibn Kathir: Memahami Makna Asal
Ibn Kathir dalam tafsirnya, Al-Qur’an Al-Adhīm, menjelaskan istiwā dengan makna asalnya, yakni “bersemayam”. Namun, ia menegaskan bahwa pemahaman ini tidak boleh dianalogikan dengan sifat manusia.
Dalam hal ini, Ibn Kathir mengikuti metode salaf, yaitu menetapkan sifat Allah sesuai dengan teks Alqur’an dan Hadis tanpa menggambarkan bagaimana sifat tersebut.
Ia menganggap bahwa hakikat istiwā adalah sesuatu yang hanya diketahui oleh Allah dan tidak bisa dijangkau oleh akal manusia. Pendekatan ini bertujuan menjaga kesucian tauhid tanpa menimbulkan tasybih (penyerupaan) antara Allah dan makhluk-Nya.
Tafsir Al-Zamakhsyari: Istiwā sebagai Simbol Kekuasaan
Berbeda dengan Ibn Kathir, Al-Zamakhsyari dalam tafsirnya, Al-Kashshaf, menggunakan pendekatan akal dan mentakwilkan istiwā sebagai “kekuasaan”. Ia memahami istiwā sebagai simbol supremasi Allah atas seluruh ciptaan-Nya, tanpa merujuk kepada gambaran fisik.
Sebagai pengikut Muktazilah, Al-Zamakhsyari menghindari pemahaman literal yang menurutnya dapat menimbulkan kesalahpahaman tentang sifat Allah. Dalam perspektif ini, istiwā adalah bentuk kinayah (kiasan) untuk menunjukkan kebesaran dan kedaulatan Allah.
Persamaan dan Perbedaan
Kedua mufasir sepakat bahwa istiwā menegaskan keagungan Allah, tetapi pendekatan mereka sangat berbeda. Ibnu Kathir menekankan pemahaman tekstual dan menyerahkan makna sepenuhnya kepada Allah, sedangkan Al-Zamakhsyari lebih menonjolkan pendekatan rasional dan simbolik.
Perbedaan ini sangat dipengaruhi oleh mazhab yang mereka anut; Ibn Kathir dengan Ahlusunnah yang menetapkan sifat Allah tanpa penakwilan, sementara Al-Zamakhsyari dengan Muktazilah yang menekankan konsep tanzih (menjauhkan Allah dari sifat-sifat makhluk).
Relevansi dalam Pemahaman Modern
Kajian ini menunjukkan betapa kaya dan beragamnya tradisi tafsir Islam. Perbedaan pandangan antara Ibn Kathir dan Al-Zamakhsyari mencerminkan dinamika intelektual yang sehat dalam memahami sifat Allah. Hal ini mengajarkan pentingnya menghargai keragaman pemikiran sekaligus meneguhkan keyakinan tauhid dengan cara yang tetap sejalan dengan dalil dan nalar.
Sebagai umat Islam, memahami berbagai pendekatan dalam tafsir memberikan wawasan yang lebih luas tentang cara Alqur’an ditafsirkan dalam berbagai konteks. Pendekatan Ibn Kathir dan Al-Zamakhsyari dapat menjadi inspirasi untuk mendalami Alqur’an secara mendalam, baik melalui pendekatan tradisional maupun modern.