Pendahuluan
Pembullyan berbasis kekuasaan adalah tindakan menyalahgunakan otoritas untuk merendahkan atau mendominasi orang lain. Fenomena ini dapat ditemukan dalam berbagai lingkungan, seperti lembaga pendidikan dan tempat kerja.
Sebagai contoh, di sebuah pondok pesantren, pengurus bagian keamanan sering menghukum salah satu santri secara tidak proporsional, bahkan atas kesalahan yang bukan miliknya. Ketika santri tersebut mencoba menyampaikan pendapatnya, suaranya tidak dianggap karena pengurus memiliki kuasa lebih tinggi.
Kasus lain terjadi dalam lingkungan pekerjaan, di mana senior menggunakan statusnya untuk menyuruh-nyuruh junior di luar tanggung jawab pekerjaan mereka, yang menciptakan tekanan mental dan ketidaknyamanan.
Hal ini berkebalikan dengan konsep kekuasaan dalam Islam yang mana telah disebutkan bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan hak absolut. Hal ini tercermin dalam QS. Al-Baqarah (2:30), yang menyebut manusia sebagai khalifah di bumi. Tafsir menekankan bahwa kekuasaan harus digunakan untuk membawa kebaikan. Mari kita bahas lebih lanjut.
Konsep Kekuasaan dalam Islam
Kekuasaan dalam pandangan Islam adalah amanah yang melekat pada tanggung jawab, bukan hak absolut yang dapat digunakan sesuka hati. Dalam QS. Al-Baqarah (2:30), Allah SWT berfirman, “Aku hendak menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi.” Ayat ini menjadi landasan mendalam bahwa kekuasaan yang diberikan kepada manusia adalah amanah besar yang harus dijalankan dengan tanggung jawab.
Tafsir klasik dan kontemporer menyepakati bahwa manusia dipilih oleh Allah SWT sebagai khalifah di bumi bukan hanya untuk memimpin, tetapi juga untuk menegakkan keadilan, menjaga harmoni, dan mengelola bumi dengan bijaksana.
Dalam tafsir klasik, seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Katsir dan Al-Qurthubi, khalifah tidak hanya merujuk pada Nabi Adam, tetapi juga mencakup manusia yang memiliki tugas menyelesaikan perselisihan, melindungi yang teraniaya, dan menegakkan hukum secara adil.
Al-Qurthubi menambahkan bahwa menjadi khalifah adalah kewajiban yang menuntut kemampuan untuk mendengar suara masyarakat, menjaga hak-hak individu, dan menjadi pelindung keadilan. Hal ini menunjukkan bahwa kekuasaan bukanlah hak absolut untuk bertindak sewenang-wenang, melainkan instrumen untuk menciptakan kebaikan dan menegakkan kebenaran.
Dalam tafsir kontemporer, seperti yang disampaikan oleh Sayyid Qutb dalam Fi Zhilalil Qur’an, manusia dipahami sebagai makhluk yang diberi anugerah akal, kemampuan, dan bakat untuk melaksanakan tugas kekhalifahan.
Hasbi Ash-Shiddieqy menambahkan bahwa akal inilah yang membuat manusia mampu membedakan mana yang baik dan buruk, sehingga bisa menjalankan tanggung jawabnya sebagai khalifah dengan bijaksana.[1]
Buya Hamka, dalam tafsir Al-Azhar, menyebutkan bahwa konsep khalifah mencerminkan kedudukan manusia sebagai pengelola bumi yang ditunjuk Allah untuk menjaga ciptaan-Nya. Namun, kedudukan ini bukanlah hak istimewa, melainkan ujian apakah manusia mampu menggunakan akalnya untuk memelihara kebaikan atau malah melakukan kerusakan.
Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah juga menekankan dimensi tanggung jawab manusia sebagai khalifah, baik secara vertikal (hablum minallah) maupun horizontal (hablum minannas dan hablumminal ‘alam). Manusia harus menjaga keseimbangan antara hubungan dengan Allah, sesama manusia, dan alam semesta, sehingga kekuasaan yang diembannya menjadi sarana untuk kemaslahatan bersama, bukan alat untuk menindas atau merugikan orang lain.
Dengan demikian, QS. Al-Baqarah (2:30) mengajarkan bahwa kekuasaan adalah amanah yang harus dijalankan dengan keadilan dan penuh tanggung jawab. Penyalahgunaan kekuasaan, termasuk dalam bentuk pembullyan berbasis jabatan, merupakan pengkhianatan terhadap amanah ini dan bertentangan dengan nilai-nilai yang diajarkan dalam Alqur’an.
Bagaimana pemimpin seharusnya bersikap?
Surat Luqman ayat 18 menegaskan pentingnya rendah hati dan menjauhi kesombongan. Ayat ini berbunyi:
“Dan janganlah kamu memalingkan wajahmu dari manusia karena sombong, dan janganlah berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.”
Pemimpin yang baik harus memiliki moral dan etika yang luhur, mampu memimpin dirinya sendiri sebelum memimpin orang lain, dan menjunjung tinggi nilai kejujuran, ketegasan, serta kepatuhan terhadap aturan. Pemimpin sejati adalah pelayan bagi masyarakatnya (sayyidu al-qaumi khâdimuhum), yang melaksanakan tugasnya dengan keikhlasan, menjauhi sifat otoriter, dan fokus pada kepentingan rakyat.[2]
Ayat ini mengingatkan bahwa kesombongan hanya akan membawa seorang pemimpin kepada keburukan. Keteladanan Rasulullah SAW, dengan akhlak mulianya, menunjukkan bahwa rendah hati adalah kunci keberhasilan dalam kepemimpinan. Seorang pemimpin harus mampu menjalin kedekatan dengan rakyatnya dan memimpin dengan sikap adil serta kasih sayang, sehingga tercipta masyarakat yang harmonis dan sejahtera.
Kesimpulan
Kekuasaan dalam Islam merupakan amanah yang harus dijalankan dengan keadilan, tanggung jawab, dan rendah hati. Konsep ini tercermin dalam QS. Al-Baqarah (2:30), yang menegaskan tugas manusia sebagai khalifah di bumi untuk menegakkan keadilan dan menjaga harmoni.
Tafsir para ulama, baik klasik maupun kontemporer, menunjukkan bahwa kekuasaan bukanlah alat dominasi atau kesewenang-wenangan, melainkan sarana untuk kemaslahatan umat.
Surat Luqman ayat 18 menegaskan pentingnya rendah hati dalam menjalankan kekuasaan dan menjauhi kesombongan. Pemimpin yang baik adalah mereka yang mengutamakan akhlak mulia, keikhlasan, dan sikap melayani masyarakat demi terciptanya keseimbangan dan kebaikan bersama.
Daftar Pustaka
Faridah, Ai, and Titin Yuniartin. “Etika Kepemimpinan Dalam Perspektif Hadis Nabi” 2 (2023).
Hasibuan, Ulfah Salwa, Putri Intan Utami, Shinta Novia, Cucu Surahman, and Elan Sumarna. “Konsep Khalifah Dalam Qs. Al-Baqarah/ 2: 30 Dan Implikasinya Terhadap Tujuan Pendidikan Islam Di Era Society 5.0.” Quhas, Desember 2024, 13 (n.d.).
[1] Ulfah Salwa Hasibuan et al., “Konsep Khalifah Dalam Qs. Al-Baqarah/ 2: 30 Dan Implikasinya Terhadap Tujuan Pendidikan Islam Di Era Society 5.0,” Quhas, Desember 2024, 13 (n.d.): 276–79.
[2] Ai Faridah and Titin Yuniartin, “Etika Kepemimpinan Dalam Perspektif Hadis Nabi” 2 (2023): 8–9.