Filsafat pragmatisme, menggali makna kebenaran dalam eksistensi pragmatis. Menggali tentang kebenaran, tak luput rasanya bila manusia tidak mengharapkan mendapati kebenaran atau kepastian dalam kehidupan yang dijalani.
Hal tersebut dikarenakan kebenaran sendiri merupakan tolok ukur manusia dalam bereksistensi, agar upaya yang dilakukannya tidak sebatas kebohongan belaka atau sia-sia. Maka dari itu tidak heran jikalau manusia melakukan berbagai macam cara untuk memperoleh kebenaran sebagai bentuk validitas tindakannya. Seperti beberapa diantaranya mencari kebenaran melalui sistem kerja akal atau berpikir kemudian melalui perasaan “intuisi” ataupun mengkorelasikan keduanya.
Terlepas pada pembahasan mengenai kebenaran, hal ini menimbulkan beragam kontroversi ekslusif. Dimana hal tersebut mengundang segelintir pertanyaan dan memunculkan aliran-aliran baru dalam mengkaji kebenaran itu sendiri salah satunya yakni aliran pragmatism. Oleh karnanya sebelum menuju ke fokus pembahasan, disini penulis akan sedikit mengulik esensi dari apa itu kebenaran menurut kacamata pragmatisme.
Sekelompok orang memahami aktualitas “kebenaran” ialah kesesuaian antara harapan dengan realitas yang ada atau kesinambungan antara hati dan pikiran sehingga akan memunculkan esensi baru yang disebut dengan tingkah laku. Lalu menurut agama, agama sendiri ialah manifestasi dari suatu kebenaran yang bersifat mutlak “Tuhan” yang tak dapat terbantahkan oleh apapun. Dialah kebenaran itu sendiri, Dialah yang pantas untuk diilhami Maha Benar. Sehingga, setiap individu mengantongi satu kebenaran yang absolut dengan berlandaskan keimanan dan keyakinan atas agama yang dianutnya.
Namun, seiring dengan perkembangan zaman yang semakin progresif, tepatnya memasuki abad 20 atau masa akhir abad 20, dimana fase ini manusia telah mengalami transformasi yang signifikan terhadap kemampuan rasio yang menjadikan manusia sebagai individu yang memiliki kontrol atau kekuasaan atas dirinya. Jadi, perubahan ini memberikan dampak bagi paradigma manusia dalam memandang kebenaran yang tidak hanya dibatasi oleh keyakinan monoteis semata.
Namun lebih dari itu, manusia telah mulai meeksplorasi kebenaran berdasarkan kebermanfaatan dan sejauh mana kebenaran mempengaruhi pola hidup manusia menjadi serba minimalis atau praktis. Perihal ini memberikan kedaulatan bagi filsafat yang mulai mengambil peranannya dalam tataran dunia yang semakin modern atau memasuki era kontemporer. Salah satu aliran filsafat yang pertama muncul semenjak masa peralihan ini ialah “Filsafat Pragmatisme”.
Istilah “pragmatisme” sebenarnya telah eksis dikalangan masyarakat Yunani. Terbukti dengan mengacu pada kata ”pragma” yang berarti fi’il atau perbuatan. Artinya pragmatisme sendiri merupakan aliran filsafat yang mengajarkan bahwa segala yang dikatakan benar ialah ketika ia mampu membuktikan bahwa dirinya adalah esensi yang benar dengan mengacu pada hasil dari perbuatannya yang memiliki manfaat secara praktis.
Sehingga metode pragmatis ini memberikan pemahaman bahwa nilai dari suatu kebenaran itu bukan berpusat pada apa yang dipikirkan, diyakini atau dipercayai. Tetapi pragmatis mensentralkan kebenaran melalui hasil dari apa yang dilakukan dan kemudian seberapa mamfaat hasil tersebut dalam keberlangsung hidup. Ringkasnya, tidak peduli apa yang kita perbuat, selama perbuatan itu memberikan kebermanfaatan atau dampak yang positif, maka itulah pragmatisme.
Disisi lain jika membahas tentang pragmatisme, tentunya kita akan mengarah pada siapa yang pertama kali memperkenalkan dan mengembangkan pragmatisme hingga sampai detik ini masih eksis dipergunakan oleh beberapa kalangan untuk menyaring mana opini dan mana yang dikatakan aktualitas.
Dilansir dari beberapa studi literatur figur yang pertama kali membawa aliran filsafat pragmatisme dalam era kontemporer ialah Charles Sanders Peirce seorang filsuf besar dari Amerika. Kemudian dilanjutkan oleh sahabatnya yakni William James, dan dipopulerkan oleh John Dewey.
Mempelajari esensi dari pragmatisme, bagi Charles (1839-1914) menjelaskan sebenarnya pragmatis sendiri tidak hanya sebatas suatu cabang ilmu filsafat material serta bukan juga teori mengenai mana benar dan salah. Melainkan pragmatism sendiri merupakan metodelogi atau alat bantu untuk mendukung manusia dalam memecahkan problematik yang sedang dihadapinya.
Hal ini dibuktikan dengan pragmatism sendiri tidak menekankan hakekat ataupun realitas yang ada. Tetapi konsep dari pragmatism sendiri cenderung memfokuskan diri pada tataran kefleksibelan ilmu dalam menopang manusia untuk menyelesaikan persoalan, menelaah sesuatu agar tidak semerta-merta menerima yang berujung pada ketidakbermanfaatan.
Bukan itu saja, eksistensi dikatakan benar atau memiliki nilai ditentukan oleh keberhasilan praktisnya dalam mencapai suatu yang telah direncanakan. Artinya paradigma Charles dalam pragmatisnya bukanlah suatu yang dapat dipergunakan untuk mengeksplorasi kebenaran yang absolut. Namun untuk mengidentifikasi kebenaran atau ide yang lebih condong memiliki kemaslahatan dan efisiensi guna untuk mencapai aktualisasi.
Oleh karnanya corak pragmatism yang dibawakan oleh Charles sedikit membawa kita untuk tidak mudah percaya pada sesuatu yang absolut. Karna suatu kepercayaan dapat diterima apabila mampu dibuktikan melalui pembuktian praktis dan bersemayam nilai-nilai kebermanfaatan untuk diri yang tanpa mengetahui bagaimana realitas tersebut bekerja.
Selama perintisannya, Charles menganggap bahwa substansi yang mengacu pada agama tidak dapat dijadikan sebagai landasan telaah untuk melakukan eksperimental ataupun mendatangkan ide-ide yang mencangkup fakta-fakta baru. Lantaran agama dan metafisika hanya menyumbang sintesis-sintesis orisinal yang meliputi penciptaan dan aktualitas. Selain itu, dengan sifatnya yang deduktif, membuat parameter pengkajian menjadi obsolut.
Alhasil agama dan metafisika tidak memberikan apapun yang bernuansa aktual. Masih dalam keterbatasan apa yang diajarkan oleh agama, itulah aktualitas sebenarnya. Maka dari itu, motif pragmatism yang dibawakan oleh Charles sedikit menyampingkan urusan- urusan yang bersifat agama dan metafisik. Mengalihkan pola logika yang mengutamakan kenyataan materialis atau duniawi.
Sementara tokoh selanjutnya yakni William James (1842-1910) yang merupakan kerabat Charles sendiri ikut serta dalam menyumbang pemikirannya mengenai pragmatism. Walaupun ia memiliki hubungan kerabat dengan Charles, hal itu tidak menutup kemungkinan bahwa James mempunyai arah pikiran yang sama dengan Charles.
Ia tidak hanya merespon konstruksi yang berbeda, melainkan James menamai teori pragmatismenya sebagai “Empirisme Radikal. Hal ini tentunya bukan suatu indikasi tanpa sebab, hanya saja ontologis dari pragmatisme James ialah berawal dari empirisme radikal itu sendiri.
Upaya James dalam minilik pragmatisme tidak hanya sebatas pada konteks kebermanfaatan atau praktis semata. Tetapi pragmatisme harus didasarkan pada penghayatan, sensasi atau pengalaman yang semestinya dirasakan sendiri yang sesuai dengan perspektif dan kebutuhan masing-masing. Artinya secara fundamental segala sesuatu tidak ada yang mampu dikatakan “benar” sekalipun itu memiliki manfaat yang praktis.
Tetapi kebenaran sendiri merupakan suatu yang membawa manusia untuk menjadi “Benar” oleh argumentasi selanjutnya. Paparan ini tentu akan menimbulkan konsepsi kalau sesuatu yang “benar” hanyalah sebatas logika khayalan yang dibuat berdasarkan penghayalan, sensasi dan empiris yang dialami oleh setiap individu kemudian ditentang oleh pengetahuan atau individu lain untuk menjadi kebenaran selanjutnya.
Perhatiaanya terhadap pragmatisme membuat ia beroerintasi pada struktur-struktur empiris personal, seperti perasaan, potensi, dan proses yang dilalui. Maknanya kebenaran menurut pernyataan James ialah aktualitas yang bersifat subjektif serta kebenaran itu tidak akan mungkin tercapai, karena esensi tersebut merupakan alur untuk menjadi suatu yang “benar” berkelanjutan.
Kebenaran sejatinya bagian dari bentuk kedinamisan yang selalu berubah-ubah, sesuai dengan kondisi yang dijumpai oleh setiap individu. Oleh sebab itu tak heran apabila pragmatism versi James lebih bernuansa personal dan pluralistik. Inilah yang menjadi proporsi dari pragmatism yang dibawakan oleh William James dengan Charles Sanders Peirce yang menyikapi kebenaran melalui kebermanfaatan dan kepraktisannya bagi kehidupan.
Lalu tokoh terakhir yang mengadopsi aliran pragmatisme dalam pemikirannya sekaligus mempopulerkannya yakni John Dewey (1859-1952). Mengenai pragmatism, ia menaruh perspektifnya dalam mentransendenkan apa yang menjadi pembahasan utama bagi para pendahulunya. Meskipun skema yang dibawakan oleh John Dewey masih berlandaskan pada konsep dua tokoh sebelumnya yakni Charles dan James.
Menurut Dewey, pragmatism menjadikan manusia sebagai puncak dari hierarki kebebasan. Seperti yang dikatakan satre “manusia sejak lahir telah dikutuk untuk menjadi individu yang bebas atau human is condemned to be free”. Maknanya manusia memiliki kapabilitas untuk merangkai kebenaran sendiri, lalu pengetahuan atau ide hanyalah sebatas alat penyokong untuk manusia menciptakan kebenaran universalnya.
Pragmatism Dewey mengisyaratkan bahwasanya manusia adalah makhluk yang merdeka, kreatif dan dinamis. Mereka mempunyai potensi untuk menghadapi berbagai problematik yang bersifat membahayakan diri ataupun lingkungan sendiri. Keadaan ini pastinya akan mengasah kemampuan manusia untuk mengembangkan berbagai perangkat kehidupan yang mereka miliki, seperti pengetahuan, ide, dinamika dan juga jiwa.
Konsep lain yang dijelaskan oleh Dewey ialah kemunculan pragmatism pada siklus kehidupan manusia tiada lain untuk merevisi aktivitas serta aspek ekologisnya. Dengan kata lain pragmatism memberikan kemudahan untuk menstrukturkan tindakan manusia demi memenuhi hasrat duniawinya. Dengan demikian, manusia tidak diperkenankan untuk terlalu tenggelam pada kebenaran metafisika atau yang tak memiliki manfaat sama sekali. Ia harus memperoleh kebenaran secara kritis melalui empiris dan eksperimental. Tidak berpangkal pada kebenaran yang tidak terlihat secara materialistis atau berdasarkan seutas keyakinan semata.
Terlepas dari siasat Dewey menyinggung pragmatism, ia dominan menyebut mekanismenya ini dengan term “instrumentalisme” yang berpijak pada Experience “pengalaman”. Perihal ini tentunya bukan prilaku atau ide yang disengaja, melainkan intrumental sendiri merupakan suatu upaya untuk mengaktualisasikan berbagai macam teori logis yang diproleh melalui konsep, pertimbangan, dan silogisme yang komprehensif guna mencapai suatu kebenaran universal.
Dalam parameter instrumental, “Benar” adalah substansi yang dapat disetujui dan diterima oleh banyak orang berdasarkan tindakan penyelidikan. Sehingga, berbicara mengenai kebenaran, Dewey menyikapi bukan sebuah esensi yang dapat diputuskan, lalu tidak dapat dikritik. Lebih dari itu, kebenaran semestinya esensi hidup yang memiliki kebermanfaatan dan terus berubah, tetapi ia bersifat universal.
Hal ini sesuai dengan dekskripsi yang di sumbangkan oleh kedua tokoh sebelumnya yang menilik kebenaran dari perspektif faedah dan praktisnya. Lalu kebenaran sendiri merupakan manifestasi dari kedinamisan manusia, kemudian ditutup oleh pernyataan bahwa hakekat dari kebenaran ialah mampu diterima oleh semua orang atau bersifat universal.
Sehingga, dari ketiga kerangka berpikir yang dilontarkan oleh Charles, James serta Dewey dapat dikatakan pragmatisme sebagai mekanism untuk menggali serta menyikapi apa yang dikatakan “benar” selama ini, hanyalah ruang nisbi yang tak berujung. Artinya apa yang dipersepsikan benar, merupakan bentuk dari indoktrinasi dari opini-opini yang kita buat dalam dimensi ide kemudian terstimulus oleh realita kehidupan yang dialami. Sehingga menimbulkan premis-premis bahwasanya substansi itulah yang di anggap benar.