KULIAHALISLAM.COM – Al-Imam asy-Syahid Hasan al-Banna pernah berkata, “Mari beramal pada perkara yang kita sepakati, dan mari berlapang dada menyikapi perkara yang kita ikhtilaf di dalamnya”. Islam adalah agama sempurna, sangat sempurnanya Islam, sampai memberi ruang pilihan kepada kita untuk menentukan ibadah apa yang sekiranya kita mampu menjalankannya.
Kita sering dapati ketika bulan Ramadan, ada kelompok ormas Islam seperti Muhammadiyah yang mereka salat tarawih sebelas rakaat. Dan kita juga tahu saudara kita yang lain, NU salat tarawih dua puluh tiga rakaat.
Lalu ada dari saudara kita yang meyakini bahwa cadar adalah sunnah dan rugi jika pahala itu ditinggalkan. Namun ada pula yang mengikuti hadis Ibnu Abbas, dalam hadis itu dikatakan bahwa muka dan telapak tangan bukan aurat, berarti secara tidak langsung ketika ia mengenakan jilbab namun tidak bercadar itu telah mengerjakan sunnah.
Itulah yang saya katakan diawal, bahwa ada banyak pintu kita untuk mengapai pahala. Tidak perlu meributkan pilihan orang lain, selagi itu kebaikan. Namun akhir-akhir ini semakin banyak orang yang meributkan cara orang lain dalam menjalankan agamanya. Mereka tidak berbicara atas dasar ilmu.
Banyak orang yang anti pada simbol-simbol Islam. Bagi golongan tersebut, orang yang berusaha berislam dengan baik dianggapnya aneh. Semisal, orang yang memakai celana yang kainnya tidak menutupi mata kaki (tidak isbal), banyak cacimaki yang dialamatkan kepada orang-orang ini. Pertama kebanjiran, lalu kekurangan kain, dan masih banyak yang lain.
Bagi teman-teman yang sudah tidak isbal tolong tetap istiqomah dan bersabar, karena kita tahu dalam suatu hadis dari Abu Hurairah, dari Rasulullah, beliau bersabda, “Kain yang di bawah dua mata kaki, maka di dalam neraka”. (HR. al-Bukhari).
Namun ada pentingnya juga kita bersikap husnuzan, berbaik sangka kepada orang yang menjulurkan kainnya menutupi mata kaki. Kita harus yakin tidak ada niatan saudara kita yang menjulurkan kain celananya karena sombong. Karena dihadis lain berbunyi, “Siapa yang memanjangkan pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak akan memandangnya pada hari kiamat”.
Abu Bakar berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya salah satu bagian kainku terjulur (panjang), melainkan bahwa aku tidak berniat sombong”.
Rasulullah saw berkata, “Engkau tidak termasuk orang yang melakukannya karena sifat sombong”. (HR. al-Bukhari).
Syekh DR. Yusuf al-Qaradawi pernah berkata, “Banyak pemuda Islam yang bersemangat sangat mengingkari orang lain yang tidak memendekkan pakaiannya di atas mata kaki. Bahkan mereka terlalu berlebihan dalam bersikap sampai pada tingkat menjadikan perbuatan memendekkan kaki celana sebagai syi’ar Islam atau kewajiban yang besar dalam Islam. Jika mereka melihat seorang ulama atau da’i tidak memendekkan kaki celana seperti yang mereka lakukan, mereka menuduhnya secara terang-terangan tidak paham agama!”
Lalu apa hubungan kesombongan dan memanjangkan pakaian/jubah? Memanjangkan jubah merupakan tradisi kesombongan raja-raja Romawi dan Persia masa silam. Untuk menunjukkan keangkuhan dan kesombongan mereka, maka para penguasa itu memanjangkan jubah yang ujungnya dibawa oleh para pengawal dan dayang-dayang. Tradisi itu masuk juga ke dalam masyarakat jahiliyah. Tradisi keangkuhan dan kesombongan itulah yang dibantah Rasulullah saw.
Wahai saudaraku. Jika kita berislam dengan dewasa dan menempatkan Islam ini sebagai solusi dari segala problem kehidupan, maka kita akan dapati, sesungguhnya Islam benar-benar rahmat bagi semesta alam. Sebagaimana firman-Nya, “Kami tidak mengutus engkau, wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia” (QS. Al Anbiya: 107)
Oleh : Naufal Abdul Afif (Alumni Pondok Modern Darul Arqam Patean Kendal)
mencerahkan