EsaiPendidikan

Menulis Jurnal atau Mati

2 Mins read

Sumber gambar : https://jurnaldikbud.kemdikbud.go.id/index.php/jpnk


KULIAHALISLAM.COM
–Dua hari lalu ikut bedah buku Peter Fleming yang sedang viral “Dark Academia: How Universities Die” yang diadakan Dewan Guru Besar (DGB) IPB. 


Saya ingin menuliskan ringkasan webinar ini nanti. Semoga ada waktu. 

Tetapi di sini saya hanya ingin menyampaikan kekagetan saya mendengarkan paparan salah satu narsum Zulfan Tadjoeddin, dosen Western Sydney University. 

Pak Zulfan mengeluhkan pembaruan pendidikan di Indonesia yang tidak substansial tapi cenderung artifisial. Salah satunya keharusan mahasiswa menulis di jurnal sebagai syarat kelulusan. 

Menurut dia di Australia dan Inggris misalnya, menulis di jurnal ilmiah itu adalah mainannya PhD. Alasannya, karena tulisan di jurnal diharapkan menyajikan hal-hal baru di bidang keilmuan. 

Alasan lainnya, mahasiswa jenjang PhD dianggap sudah mandiri secara keilmuan dan metodologis sehingga tidak memerlukan kehadiran supervisor secara intensif sebagaimana mahasiswa jenjang di bawahnya. 

Untuk mencapai gelar PhD pun, kata Zulfan, tidak diharuskan menulis di jurnal sebagai syarat kelulusan. Yang penting sudah melalui ujian thesis PhD. 

Sebaliknya, di Tanah Air menulis di jurnal adalah syarat kelulusan—bahkan untuk mahasiswa S1. Sedangkan untuk mahasiswa S2 apalagi S3 lebih berat lagi. Mereka wajib menulis di jurnal yang terindeks Scopus dan sejenisnya. 

Dalam perkembangannya, keharusan ini menimbulkan “efek kobra” baik berupa maraknya praktik plagiasi maupun jurnal-jurnal predator di dunia. 

Di samping melewati seleksi yang ketat dan bolak-balik direview, penulis artikel juga harus membayar ke penerbit dengan jumlah fantastis, minimal Rp 5-6 juta untuk satu artikel. 

Sudah begitu, artikel-artikel tersebut jarang yang bersifat open acces. Artinya, setiap pembaca yang berminat harus membayar ke penerbit. Sedangkan bagi penulis  tidak memperoleh benefit apapun kecuali secara akademik reputasinya akan tinggi maupun kampusnya, tempatnya bekerja, makin naik peringkatnya. 

Darmaningtyas, pemerhati pendidikan yang juga peserta mengusulkan, mengapa tidak membangun jurnal bereputasi dalam negeri saja dan diakses secara gratis agar manfaatnya lebih luas. 

Dalam pandanganya, sungguh tidak adil kampus dan akademisi yang disekolahkan dengan pajak rakyat itu tapi publik tidak mendapatkan akses terhadap hasil-hasil temuan mereka. 

Jadi yang dikeluhkan dan dikritik Fleming adalah bahwa kampus telah menjadi korporasi dan mengalami birokratisasi. Beban akademik yang membelenggu maupun kampus yang mengalami kapitalisasi menyebabkan para akademisi (dosen dan mahasiswa) makin teralienasi. 

Sebagai bagian dari industri, Zulfan menyatakan bahwa hampir mustahil melakukan perlawanan arus besar ini. Yang bisa dilakukan adalah bersikap realistis dan pragmatis. 

Maksudnya ikuti saja dulu arus ini sambil terus melakukan pembaruan dan mencari jalan keluar dari kemelut yang terjadi di dunia akademik.

Editor : Adis
2363 posts

About author
http://kuliahalislam.com
Articles
Related posts
Esai

Maknai Kematian sebagai Ujian dan Nasihat

3 Mins read
Setiap manusia akan merasakan kematian, kapan dan dimanapun kematian itu menjemput hidup manusia, umur manusia juga terbatasSetiap manusia akan merasakan kematian, kapan…
ArtikelPendidikanTokoh

2045: Generasi Cemas Era Post-Truth?

6 Mins read
Indonesia adalah negeri yang kaya, baik dari segi alam maupun budaya. Dengan segala kekayaan yang dimiliki, tidak heran jika pemerintah mengusung visi…
ArtikelPendidikan

Hambatan dalam Pendidikan Alqur'an dan Hadis: Analisis dan Solusi

3 Mins read
Hambatan dalam pendidikan Alqur’an dan Hadis: analisis dan solusi. Seperti yang diketahui Pendidikan agama Islam merupakan pembelajaran yang penting dalam kehidupan sehari-…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights