Sosok Ibnu Taimiyah reformis Islam yang disalahpahami (Sumber gambar : Wajibbaca.com)
|
KULIAHALISLAM.COM – Syekhul Islam Ibnu Taimiyah merupakan intelektual Islam yang pemikirannya banyak disalah pahami, banyak intelektual Islam zaman ini yang menganggap Ibnu Taimiyah sebagai ulama garis keras (ekstrem), hal ini disebabkan banyak orang yang tidak membaca pemikiran Ibnu Taimiyah secara ilmiah.
Tidak banyak seperti Prof. Fazlur Rahman (Guru Besar Universitas Chicago) dan muridnya Prof. Nurcholis Madjid yang membaca pemikiran Ibnu Taimiyah secara ilmiah. Saat ini ada kurang lebih 200 disertasi yang membahas pemikiran Ibnu Taimiyah diseluruh dunia.
Nama lengkap Ibnu Taimiyah adalah Abul Abbas Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim bin Abdus Salam bin Abdullah bin Taimiyah al Harrani. Beliau lahir di Harran dekat Damaskus, Syria pada tahun 661 H atau 1263 M. Ayahnya adalah Abdul Halim bin Abdus Salam bin Taimiyah merupakan ulama terkemuka bermazhab Hambali. Di Damaskus beliau belajar pada ayahnya sendiri, kemudian berguru pada Zainab binti Makki dll.
Pada usia 20 tahun, Ibnu Taimiyah mulai mempelajari fikih Hambali, disamping mendalami ilmu Alquran, Hadis, dan Teologi. Pada saat ini banyak intelektual muslim melabeli Ibnu Taimiyah sebagai tokoh ekstremis yang pemikirannya berbahaya, padahal Ibnu Taimiyah merupakan ilmuwan yang berwawasan luas, pendukung kebebasan berpikir, tajam perasaan, teguh pendirian, dan pemberani serta banyak menguasai ilmu Islam.
Menurut Asy Syaukani pada waktu itu, setelah Ibnu Hazm tidak ada orang yang tingkat keilmuannya setinggi Ibnu Taimiyah. Ibnu Taimiyah hidup pada masa dunia Islam mengalami puncak disintegrasi politik, dislokasi sosial, dan dekadensi akhlak serta moral.
Pada saat itu Dinasti Abbasiyah di Irak telah jatuh ketangan pasukan Mongol. Disaat itu, Ibnu Taimiyah tampil sebagai reformis Islam yang berjihad mengubah kondisi masyarakat Islam yang memperihatinkan.
Salafi dan Agenda Reformis Islam
Salafi merupakan gerakan yang berusaha menghidupkan kembali ajaran kaum Salaf, bertujuan agar umat Islam kembali pada Alquran dan Hadis serta meninggalkan pendapat ulama mazhab yang tidak berdasar dan segala bid’ah yang tersisip didalamnya. Gerakan ini dicetukan oleh Ibnu Taimiyah.
Yang dimaksud Salaf as-Shalih ialah orang-orang muslim yang hidup sejak zaman Nabi Muhammad SAW, para sahabat, dan generasi Tabiin.
Gerakan Salafiyah sering disebut pula gerakan reformasi Islam. Inti ajaran Salafi Ibnu Taimiyah adalah anti khurafat, bid’ah dan takhayul. Kondisi masyarakat Islam pada saat itu banyak mengerjakan bid’ah, khurafat dan takhayul seperti fanatik terhadap pendapat para ulama, menyembah kuburan para wali, dan merebaknya pemahaman yang keluar dari Islam seperti Syiah Rafidhah, dan kaum Sufi yang berlebihan.
Diantara kebid’ahan yang muncul saat itu adalah mereka berpendapat mensalatkan jenazah adalah wajib mewarisi pusaka mereka, hal ini menyebabkan banyak orang mensalatkan jenazah para ulama dan memperebutkan air bekas mandi jenazah ulama tersebut. Hal ini menyebabkan kemunduran umat Islam.
Ibnu Taimiyah dilabeli anti Sufi, padahal Ibnu Taimiyah hanya mengkritisi ulama Sufi yang menyerupai para biarawan sebab mereka hanya fokus pada mengejar makrifat Ilahi dan mengabaikan hal-hal pokok dari ajaran Islam lainnya. Ibnu Taimiyah senantiasa mengkritik Sufi secara objektif bukan semata-mata didasarkan kebencian.
Kritikan Ibnu Taimiyah Terhadap Asy’ariyah
Ibnu Taimiyah banyak dibenci para ulama karena beliau mengkritik teologi Asy’ariyah yang dianggap para ulama bagian penting dari akidah Ahlu Sunnah Wal Jama’ah. Para Ulama banyak yang menyatakan Ibnu Taimiyah keluar dari akidah Ahlu Sunnah Wal Jama’ah padahal Ibnu Taimiyah lah panji terdepan penjaga pemahaman Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.
Ibnu Taimiyah banyak memuji keilmuan Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari namun yang paling sering diangkat para ulama saat ini adalah kritikan Ibnu Taimiyah terhadap Asy’ariyah semata. Ibnu Taimiyah berkata “Adapaun al-Asy’ari merupakan ulama terkemuka yang pokok-pokok pemikirannya dekat dengan Imam Ahmad bin Hanbal”.
Ibnu Taimiyah membela pemikiran Imam Asy’ari yang membantah bahwa Allah tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan sesuatu sejak masa lampau.
Adapun pemahaman Ibnu Taimiyah dan Imam Asy’ari berkaitan dengan makna Allah bersemayam di atas Arsy merupakan pemahaman yang sebenanya tidak berbeda, hanya saja ulama setelah mereka memahaminya yang berbeda dan menjadikannya ajang perdebatan yang Ibnu Taimiyah dan Imam Asy’ari berlepas dari mereka.
Pembahasan mengenai “Istiwa” ini diperuntukan untuk para guru, selama mereka memiliki dasar keilmuan maka kita mesti hormati. Namun yang banyak terjadi adalah perdebatan mengenai hal ini, padahal tidak ada manfaatnya diperdebatkan.
Ibnu Taimiyah dan Pembaharuan Islam dalam Fatwa dan Ijtihad
Pada saat dunia Islam menutup pintu ijtihad setelah wafatnya Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Taimiyah tampil dengan berani membuka pintu ijtihad. Dalam berijtihad, Ibnu Taimiyah tidak mau bersikap fanatik mazhab walaupun beliau bermazhab Hanbali.
Jika dianggapnya ada pendapat ulama mazhab termasuk pendapat Imam Ahmad maka Ibnu Taimiyah akan mengkritiknya secara ilmiah. Ijtihad dan fatwa Ibnu Taimiyah sangat memudahkan umat muslim dalam menjalankan ajaran Islam. Fatwa Ibnu Taimiyah terhimpun dalam bukunya berjudul “Majmu’ Fatwa Ibnu Taimiyah”.
Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah
Karya tulis Ibnu Taimiyah dalam bidang politik yang paling penting adalah “Al-Siyasah al-syar’iyah fi islah al ra’iyah” (Politik yang Berdasarkan Syariah Bagi Perbaikan Pengembala dan Gembala).
Dari judulnya tampak jelas maksud Ibnu Taimiyah yakni berusaha memperbaiki situasi masyarakat dan menggikis habis segala kebobrokan baik moral maupun sosial.
Ibnu Taimiyah beranggapan bahwa kebobrokan umat disebabkan kebobrokan para pemimpin dan wakilnya serta pembaharuanya baik dipemerintahan pusat maupun daerah. Oleh karenanya, beliau menyajikan suatu model pemerintahan menurut Islam.
Ibnu Taimiyah berpendapat dalam penunjukan pembantu kepala negara (pejabat, panglima, hakim), seorang kepala negara harus mencari orang yang objektif dan memiliki kemampuan bukan karena faktor subjektif.
Ibnu Taimiyah pernah mengeluarkan fatwa yaitu seorang kepala negara yang kafir namun adil adalah lebih baik ketimbang pemimpin yang muslim namun tidak adil, dengan menyetujui ungkapan bahwa Allah mendukung negara meskipun kafir dan Allah tidak akan mendukung negara yang tidak adil meskipun Islam.
Fatwa Ibnu Taimiyah ini sangat menarik sekali, bahkan ulama kontemporer seperti Yusuf al-Qaradawi mengambil pendapat Ibnu Taimiyah ini untuk melegalkan pemilih pemimpin non-muslim yang adil dan tidak berbuat zalim. Fatwa Ibnu Taimiyah ini dapat digunakan muslim di negara-negara Barat ketika memilih pemimpin.
Jika dicermati, fatwa Ibnu Taimiyah ini menggambarkan bahwa beliau bukan figur yang ekstrem seperti yang digambarkan banyak orang. Lebih lanjut, Ibnu Taimiyah juga mewajibkan adanya musyawarah di dalam sebuah pemerintahan berdasarkan Q.S Al-Imran ayat 159.
Fatwa Ibnu Taimiyah ini muncul karena saat itu tidak ada pemimpin muslim yang benar-benar dapat berbuat adil dan menjalankan ajaran Islam serta bersikap otoritarianisme.
Sebelum negara Barat mengenal pemerintahan yang didasarkan pada musyawarah, Ibnu Taimiyah sudah tampil dengan gagasannya yang lebih maju berabad-abad yang lampau.
Selain itu, Ibnu Taimiyah juga tampil sebagai ulama yang berjuang untuk rakyat. Beliau melakukan jihad meluruskan para pemimpin dan masyarakat saat itu sehingga beliau akhirnya dipenjara.
Meskipun dipenjara, Ibnu Taimiyah masih dapat meneruskan kegiatan ilmiahnya dengan menulis buku atau makalah. Tetapi jiwanya amat tepukul ketika di penjara Damaskus beliau tidak diberi tinta dan kertas lagi.
Beliau tidak tahan menerima penghinaan itu, dan akhirnya tutup usia pada tahun 728 Hijriah atau 1329 M. Banyak orang gagal paham terhadap pemikiran Ibnu Taimiyah hal disebabkan tidak membaca dan menganalisa secara utuh pemikiran Ibnu Taimiyah dan mempertimbangkan kondisi sosial, politik pada saat beliau mengeluarkan ijtihad atau fatwa tersebut.
Penulis : Rabiul Rahman Purba, S.H