KULIAHALISLAM.COM – Sejak masa mudanya, Al Ghazali begitu tekun dalam mengkaji satu diskursus keilmuan. Ia tidak akan beralih pada cabang ilmu lain kecuali telah menemukan esensi dari ilmu itu.
Hal yang demikian itu dilakukan hanya semata-mata agar dapat menemukan mutiara keyakinan. Baginya keyakinan adalah tersingkapnya objek pengetahuan (Al Maklum) sehingga tidak ada sedikit pun keraguan (skeptis) di dalamnya.
Ia membuat postulat bahwa ilmu itu dapat ditemukan setidaknya dalam dua adjektiva yaitu, indrawi (hissiyat) dan apriori (dlaruriyat). Hanya dari dua media ini lah keyakinan dapat ditemukan.
Tapi bukan Al Ghazali namanya jika hanya berhenti pada kesimpulan itu. Ia kembali bereksperimen dengan memunculkan pertanyaan-pertanyaan skeptis. Sampai kemudian ia meragukan temuan indrawi.
Ia mencotohkan bahwa matahari tampak kecil jika dilihat dengan mata (subjek indrawi) namun berbeda jika dilihat dengan prespektif astronomi bahwa matahari sangat lah besar. Keyakinan kepada indra ia ralat yang tersisa hanya kepada rasional apriori.
Namun muncul kembali keraguan itu, ada gejolak di kepalanya, dahulu Al Ghazali meyakini indra namun setelah mengalami kontradiksi dengan akal ia mencoretnya dalam metode penemuan keyakinan.
Lantas bagaimana jika ada paradigma lain yang dapat mematahkan argumentasi rasional? Dua bulan lamanya Al Ghazali tak kuasa berbicara sebab keraguan itu. Masa ini disebutnya dengan periode sofistik.
Salah satu cara menangkal paham itu adalah dengan menggunakan pendekatan filsafat. Meski filsafat belum cukup untuk menguak kebenaran. Kendati demikian, ada baiknya jika kita mengetahui prespektif Al Ghazali tentang filsafat.
Dari banyaknya aliran filsafat, Al Ghazali merumuskan bahwa kesemua itu terbagi atas tiga kelompok yaitu:
Kelompok Ateis (Ad Dahriyun)
Kelompok ini banyak dianut oleh para filsuf terdahulu (pra Socrates). Mereka memandang bahwa wujud alam sejak awal sudah sedemikian rupa tanpa memerlukan pencipta. Dalam diskursus pemikiran Islam, kelompok ini dikenal dengan sebutan Zanadiqah.
Kelompok Naturalis (Ath Thabiiyun)
Mereka adalah orang yang mendalami tentang anatomi makhluk hidup yang ajaib itu. Mereka menyadari bahwa struktur sistem anatomi itu mestilah ada yang menciptakan.
Namun akibat terlalu fokus pada kajiannya, mereka menegasikan bahwa tubuh yang mati akan dibangkitkan kembali yang di dalam teologi Islam disebut dengan Yaumul Ba’ats (hari kebangkitan).
Akibatnya, pandangan yang demikian tidak hanya akan berhenti di situ, melainkan berkelindan dengan meniadakan hari kiamat dll. Bagi Al Ghazali kelompok ini juga disebut Zanadiqah juga, sebab meski percaya kepada Tuhan, mereka menolak adanya hari kiamat sebagai poros dari Islam.
Kelompok Metafisikawan (Al Ilahiyun)
Tokoh bagi kelompok ini adalah Sokrates dan Plato. Mereka menolak konsepsi filsafat yang diajukan oleh dua kelompok sebelumnya. Dan menariknya, Aristoteles yang dating belakangan justru menolak juga konsep yang ditawarkan oleh para guru-gurunya (Sokrates dan Plato).
Namun konsep metafisika ala Yunani itu jika dianalisis dengan pendekatan Keislaman Al Ghazali tetap saja memiliki kekurangan. Ia menyebutnya ada 20 kasus yang tiga di antaranya harus diklaim kafir.
Klaim ini juga berlaku bagi filsuf muslim yang menerima konsep itu. Adapun tiga hal di atas adalah Pertama, bahwa jasad tidak dibangkitkan di hari kiamat. Mereka meyakini hanya ruh saja yang dibangkitkan.
Ini jelas kontradiktif dengan ajaran syariat Islam yang berkata tidak hanya ruh melainkan berikut dengan jasad. Kedua, ilmu Tuhan terbatas. Bagi mereka Tuhan hanya mengetahui yang universal saja tidak dengan turunannya (partikular).
Ketiga, keabadian alam. Sementara 17 sisanya cukup diklaim bid’ah saja karena hampir sama dengan paham metafisika Mu’tazilah.
Perihal kajian filsafat, Al Ghazali setidaknya membaginya menjadi lima bagian yang menjadi titik pembahasannya yakni;
Aritmatika, erat hubungannya dengan matematika, geometri dan astronomi. Ilmu ini tampaknya tidak memiliki interdepedensi langsung dengan agama sehingga tidak perlu dipertentangkan.
Namun sebagai prevensi, Al Ghazali menghimbau agar tidak ada konfrontasi antara agama dan ilmu ini. Aritmatika bersifat argumentatif sementara agama (ketuhanan) bersifat spekulatif.
Logika, sama seperti sebelumnya, logika tidak ada kaitannya dengan agama. Bahkan Al Ghazali mengapresiasi ilmu ini. Ia berkata “Barang siapa yang tidak menguasai ilmu logika tidak dapat dipercaya keilmuannya.”
Fisika, cakupannya adalah struktur materi dan interaksi antar unsur-unsur alam yang dapat diobservasi. Dalam ilmu ini tidak problematika yang amat signifikan sehingga tidak perlu dikaitkan dengan agama.
Sebagai anotasi, Al Ghazali tetap menyarankan agar para fisikawan meyakini bahwa objek kajiannya tidak independen melainkan telah ditundukkan oleh Tuhan.
Politik, Al Ghazali memandang bahwa dalam politik harus memperhatikan kemaslahatan dunia begitu pula dengan kekuasaan. Etika politik baginya telah termaktub dalam sumber Islam.
Moral, dalam Islam, moral etik telah dipraktikan oleh para sufi. Baik dalam membatasi ruang gerak nafsu hingga kemudian dapat menghilangkan keterikatan dengan dunia.
Pada kesimpulannya, bagi Al Ghazali agama dan filsafat tidak problematik senyampang tidak mengintervensi objek kajian di luar kapabilitasnya. Namun begitu, bukan berarti Al Ghazali menutup ruang dialektika agama-filsafat.
Sebagai bukti, ia sangat merekomendasikan logika untuk dipelajari. Ini karena Al Ghazali tidak mengidentikkan kebenaran pada seseorang. Dalam Al Munqid, ia mengutip perkataan Imam Ali “Jangan melihat kebenaran karena orangnya, tapi carilah kebenaran itu maka kau akan mengetahui orangnya.”
Penulis: Musthafa Kamal (Mahasiswa Perbandingan Mazhab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Editor: Adis Setiawan