KULIAHALISLAM.COM- Tanggal 29 Mei yang lalu menjadi tanggal sejarah bagi masyarakat Turki dan dunia Islam. Bukan hanya sekadar memperingati hari pembebasan Konstantinopel dari Romawi (Timur) melainkan juga sebuah peristiwa yang nantinya tercatat sebagai sejarah baru. Recep Tayyip Erdogan atau yang kita kenal dengan Erdogan, terpilih menjadi Presiden Turki untuk periode ketiga sejak ia terpilih menjadi presiden di 2014. Ia mengalahkan Kemal Kilicdaroglu kandidat oposisi berasal dari Partai CHP, partai yang berhaluan nasionalis-sekuler. Dalam sejarah Turki, hanya Kemal Ataturk dan dikenal dengan “Bapaknya Bangsa Turki” dan pendiri CHP , yang mempunyai masa jabatan presiden lebih dari dua periode. Bahkan kalau ditilik dari masa kepemimpinan sebagai Perdana Menteri, Erdogan yang duduk sebagai PM ditahun 2003 sudah melampaui masa tersebut.
Kemenangan Erdogan inilah, lantas dipandang oleh sebagian besar masyarakat sebagai kebangkitan “neo-ottoman”; sebuah upaya yang dianggap oleh kaum sekuler Turki dan Masyarakat Barat dalam menghidupkan kembali romantika kejayaan Kesultanan Ottoman Utsmaniyah. Diskursus ini menarik, sebab partai yang berasal dari kubu Erdogan seolah mempunyai embrio tersebut.
AKP, partai asal dan pendukung utama Erdogan adalah pecahan dari Partai Saadet yang berhaluan relijius karismatik dan merupakan kelanjutan dari Partai Refah yang sempat memenangi Pemilu Turki namun dikudeta oleh militer. Sebagai informasi, Partai Refah didirikan oleh Necmetin Erbakan, tokoh muslim karismatik Turki yang mempunyai pandangan Ideologi Mili Gorus; sebuah ideologi yang disintesa dari Budaya Turki, Filsafat Syaikh Said Nursi dan kejayaan Islam dimasa Ottoman. Bahkan tak banyak dari kita yang tau bahwa Erbakan, merupakan mentor dari Erdogan dan bersahabat erat dengan Fethullah Gulen;pendiri gerakan Hizmet & Gulenisme.
Partai pendukung selanjutnya adalah MHP, sebuh partai berhaluan patriot nasionalis yang didirikan oleh Kolonel Arspaslan Turkes dan mempunyai mimpi untuk membentuk Negara Turki Raya (Sebuah negara yang menyatukan bangsa-bangsa Turki) yang kemudian hari menjadi sebuah ideologi yang bernama “Pan Turanisme”. Seperti yang kita tahu, Turki hanyalah satu dari negara Bangsa Turki diantara negara berbangsa Turki lainnya adalah: Uzbekistan, Azerbaijan, Tajikistan, Turkmenistan, Kirgiztan, Kazakstan, Turkistan (yang lebih dikenal dengan Uyghur), Mongolia serta beberapa negara yang bernaung dalam Federasi Rusia seperti Balochistan, Dagestan, Cechnya.
Sementara partai terakhir yaitu YRP atau Partai Refah Baru yang didirikan oleh Fatih Erbakan, anak dari Erbakan. Melalui namanya, nampak jelas bahwa partai ini memegang prinsip perjuangan ideologi Mili gorus yang menekankan skeptisme terhadap Barat dan menekankan prinsip relijiusitas komunal sebagai Muslim Turki. Partai ini merupakan partai baru yang merupakan pecahan dari partai Saadet.
Dengan latarbelakang ketiga partai pendukung utama Erdogan tersebut, wajar saja bila banyak orang yang membenarkan asumsi tersebut. Namun bila dicermati mendalam, pandangan tersebut tidak sepenuhnya tepat. Sebab di kubu oposisi yang diisi oleh mayoritas sekuler, terdapat juga setidaknya beberapa komponen dari neo-ottoman tersebut.
Sebut saja partai Gelecek, yang didirikan oleh Ahmad Davotoglu yang merupakan eks Perdana Menteri atau Partai DEVA yang digawangi oleh Ali Babacan. Kedua tokoh tersebut adalah mantan kompatriot Erdogan di partai AKP, sebelum akhirnya berpisah jalan.
Begitu juga partai Saadet, yang awalnya adalah penjaga ideologi miligorus di Turki, seolah menjadi partai tak bertaji bersama oposisi. Sementara Partai IYI yang dipimpin oleh Meral Asekner, merupakan pecahan dari MHP. Bahkan Asekner sendiri pernah menjabat menjadi Pemuda MHP yang dikenal ultranasionalis.
Diluar Partai Politik sendiri, ada gerakan Gulen atau Hizmet yang menjadi musuh politik dari Erdogan sejak upaya kudeta Militer terhadap dirinya, mempunyai pandangan yang hampir serupa tentang Miligorus meski lebih lembut dalam penerapannya. Bahkan Erdogan sampai memboikot aktivitas gerakan ini dan melabelinya sebagai gerakan teroris.
Dari penjabaran singkat tersebut asumsi kemenangan Erdogan sebagai kebangkitan Neo-Ottoman masih terlalu dini untuk dinyatakan. Meski dari beberapa kebijakannya terakhir, Erdogan memang menempatkan diri seolah pewaris yang sah dari Ottoman melalui kegiatan restrukturisasi kebijakan nasional, budaya dan histori peninggalan Ottoman-Utsmani, upaya penampungan pengungsi perang di Timur Tengah, diplomasi gencatan dan damai perang di kawasan (Rusia vs Ukraina), Sikap dan pandangannya yang keras terhadap Barat,serta upayanya menjalin kerjasama yang intim dengan dunia muslim.
Propaganda Kemenangan Erdogan sebagai Kebangkitan Neo-Ottoman, bisa jadi malah strategi Barat untuk mendeskreditkan Pola Kepemimpinan Erdogan yang sedikit banyak membawa nilai-nilai relijiusitas Islam dalam kebijakan bernegaranya. Seperti yang dilakukan Barat di Afganistan yang berhasil membuat propaganda Taliban sebagai Pemerintahan yang kaku dan Apatis terhadap perkembangan zaman. Atau Iran yang diblokade oleh sanksi ekonomi akibat propaganda isu pemanfaatan senjata nuklir.
Propaganda barat, jauh sebelumnya juga berhasil menjungkalkan kepemimpinan di berbagai negara Muslim seperti Saddam Hussein di Irak, Muamar Khadafi di Libya, Mursi di Mesir, dan Gannouchi di Tunisia. Maka tak heran apabila kita mengkhawatirkan ungkapan “Neo-Ottoman” adalah propaganda barat dalam membentuk presepsi masyarakat dunia yang khawatir akan kebangkitan kekuatan Islam dibawah Turki pimpinan Kubu Erdogan.
Padahal yang terjadi di Turki, bisa jadi hanyalah peristiwa politik semata. Dimana teman bisa menjadi lawan, lawan bisa jadi kawan; saat kepentingan bisa saling bersilangan atau malah saling bersandingan. Walhasil , sebagai Muslim kita hanya dapat berkata: Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Karena amanah memimpin adalah sebuah cobaan yang penuh fitnah. Dalam memimpin bisa mendapatkan berkah atau dapat berujung musibah. Terlebih memimpin sebuah bangsa dan negara yang mempunyai kemilau jejak sejarah seperti Turki. Indonesia juga mempunyai rekam jejak bangsa yang mumpuni, maka ini bisa jadi acuan dalam memilih pemimpin di masa nanti. Wallahu alam bishawab