Penulis: Hidayat
Berita konversi agama menghiasi perbincangan publik kita. Ibu Sukmawati menyatakan di media pindah agama dari Islam ke Hindu. Menurut pengakuan beliau, ini perjalanan yang panjang.
Sebelumnya, seorang artis terkenal Lukman Sardi juga menyatakan pindah agama dari Islam ke Kristen. Selain itu, perpindahan agama juga terjadi dari pemeluk non-Islam menjadi pemeluk Islam (Muslim).
Dalam kesempatan ini, saya ingin menyoroti persoalan perpindahan (konversi) agama. Mengapa terjadi konversi agama di Indonesia? Apa faktor yang melatarbelakangi dan mengapa hal ini dianggap sebagai hal yang tabu?
Fenomena pindah agama sebenarnya gejala umum saja di kalangan masyarakat agama-agama. Hal ini juga tidak hanya terjadi di Indonesia namun juga terjadi di negara-negara lain.
Pindah agama tidak hanya terjadi dari Islam kepada non-Islam, namun juga banyak terjadi yang sebaliknya, dari non-Islam ke Islam. Atau dari beragama menjadi tidak percaya agama, itu juga bisa disebut konversi. Sebab musababnya tidak sederhana dan tunggal. Pindah agama atau keluar agama menjadi bagian kehidupan kita yang pelik dan sulit dijawab.
Sebenarnya, apabila perpindahan agama itu didekati lewat pendekatan non-teologis, maka hal itu bisa menyebabkan kerilekan. Misalnhya, dari sudut kajian agama-agama (history of religion), gejala pindah agama sudah mulai sejak agama-agama itu ada.
Jadi, dari sudut ini, sangat wajar apabila terjadi konversi agama. Karena beragama itu pilihan individu, orang yang beragama memilih agama sesuai dengan yang mereka inginkan. Karena ada agama-agama, maka memungkinkan orang untuk beragama dan pilihan beragama itu pilihan individu.
Saya pikir, hampir semua agama-agama merasa kehilangan apabila salah satu anggotanya pindah ke agama lain. Rasa kehilangan dan bahkan kecewa hal yang wajar dan bisa dipahami.
Paling tidak rasa kehilangan itu secara kultural. Karenanya, di Indonesia, pindah agama menjadi isu yang masih sangat kontroversial, apalagi apabila kepindahan itu terjadi dari memeluk agama kalangan mayoritas ke agama minoritas.
Ketika Sukmawati pindah agama, maka tokoh Islam banyak yang kecewa dan bahkan mengecamnya. Buya Yahya anggap Sukmawati sebagai orang yang berkhianat. Karena cara pandang kelembagaan ini, Buya Yahya menempatkan diri sebagai pihak yang mewakili Islam untuk mengecam perpindahan agama Sukmawati.
Padahal, jika dikembalikan kepada persoalan hak asasi manusia dan konstitusi kita, maka memilih agama itu menjadi hak yang tidak ditentukan oleh siapa-siapa. Negara pun tidak bisa mencegah atau memaksa orang untuk perpindah agama. Konstitusi Indonesia sudah jelas mendudukkan masalah ini.
Namun bagi orang seperti Buya Yahya, pindah agama, terutama dari Islam ke agama lain, itu sudah bukan urusan pribadi lagi. Dengan menujuk pada konsep teologi Islam, orang yang berpindah agama itu dianggap sebagai murtad. Murtad ini baginya halal darahnya.
Kalangan fikih menganggap jika seseorang pindah agama, maka seseorang tersebut akan dibunuh. Biasanya mereka merujuk pada sebuah hadis, barang siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah. Hadis ini sangat populer. Paham seperti inilah yang dipegang teguh oleh orang yang mengecam perpindahan dari Islam ke agama lain.
Di dunia Islam, seperti di negeri-negeri Islam, perpindahan agama memang menjadi obyek hukum yang cukup serius. Pelakunya bisa diancam pidana pembunuhan. Salman Rusdhie pernah dijatuhi ancaman hukum bunuh oleh Ayatullah Khomeini karena dianggap Rusdhie telah melakukan pemurtadan dari bukunya “Satanic Verses.”
Seorang profesor Mesir, Nasr Hamid Abu Zayd pernah dihukumi telah murtad dan melawan syariah. Jadi di sini, mereka yang dianggap murtad itu tidak melulu pindah dari Islam ke agama lain.
Namun, bagi negeri-negeri yang menganut sistem syariah, orang bisa dinyatakan murtad apabila seseorang itu memiliki pemikiran yang mereka anggap sudah keluar dari koridor Keislaman yang mereka sepakati, dalam hal ini, kalangan negara dan ulama yang menyokongnya. Sistem syariah seperti ini memang salah satu implikasi yang cukup serius pada hak-hak kebebasan individu.
Pada konteks inilah sebenarnya Prof. Abdullah an-Naim seorang pemikir Muslim dan ahli dalam bidang hukum-hukum internasional pernah melontarkan gagasan lewat bukunya, Towards an Islamic Reformation, agar negara tidak menjadikan hukum agama menjadi hukum negara, karena jika agama diadopsi menjadi hukum negara, maka negara akan menentukan mana agama yang disepakati dan mana agama yang ditolak, mana agama dan paham keagamaan yang bisa menjadi teman dan mana agama dan paham keagamaan yang menjadi lawan. Di sini agama juga bisa menghakimi paham-paham yang di luar paham resmi mereka.
Sementara, di dalam Islam juga terdapat pemahaman yang lain soal konversi agama. Pada peristiwa sejarah yang dijadikan rujukan kasus hukuman pembunuhan bagi mereka yang murtad adalah era Abu Bakar.
Abu Bakar memerangi Musailamah bukan karena dia pindah agama namun karena dia menolak membayar pajak. Di sinilah sebagian kalangan menyatakan bahwa hukuman bunuh bagi kalangan murtad di dalam diskursus keislaman masih dianggap menyimpan perdebatan.
Artinya, kalangan ini berpendapat jika murtad itu tidak ada implikasi hukum pidana di dalam Islam. Memang di kalangan Syafii ada pendapat yang menarik jika seseorang itu pindah dari agama samawi ke agama samawi lainnya, seperti Yahudi ke Kristen maka itu dibolehkan.
Lalu bagaimana Ketika Sukmawati dan Lukman Sardi meninggalkan agama mereka dan pindah ke agama lain?
Catatan saya, masalah ini harus kita letakkan yang pertama pada konteks di mana kita hidup dan sistem hukum apa yang kita anut. Jika di negara kita memang tidak mengenal konsep hukuman bagi mereka yang pindah agama, maka hukum itulah yang berlaku.
Kedua, kita selayaknya memahami fenomena pindah agama dari perspektif timbal balik. Pada kenyataannya, mereka yang pindah agama dari Islam memang ada, dan sebaliknya, mereka yang dari agama lain yang masuk ke Islam juga ada.
Ada tokoh dan figur yang keluar dari Islam dan ada tokoh dan figur yang masuk Islam juga. Menurut saya, cara pandang timbal balik ini adalah cara pandang efektif dan masuk akal.
Bagi kalangan mayoritas, kehilangan satu dua pemeluk dianggap sebagai sebuah kekalahan dan kebobolan. Kelompok yang agamanya merasa ditinggalkan merasa mereka yang pindah agama telah melakukan penghianatan.
Di sini agama tidak lagi dianggap sebagai urusan atau pilihan pribadi semata bagi pemeluknya, namun sudah menjadi urusan masyarakat.
Editor: Adis Setiawan