Penulis: Tri Kusuma Wardani, Mahasiswa Program Studi Pendidikan Agama Islam Semester 4 UIN Raden Mas Said Surakarta
Belum lama ini Peratutan Pemerintah No. 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan usaha Pertambangan Mineral Batubara telah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo.
Dalam kebijakan baru tersebut memberi kewenangan bagi suatu ormas keagamaan untuk mengelola usaha pertambangan. Tepatnya kebijakan baru tersebut tertuang di dalam pasal 83A ayat 1, yang pada intinya mengizinkan organisasi kemasyarakatan keagamaan mengelola wilayah izin usaha pertambangan khusus.
Beberapa ormas sudah menentukan sikap atas dikeluarkannya kebijakan di atas. Sebagian ormas menolak dan sebagian yang lain menyambut baik kebijakan ini.
Diantara mereka yang menolak berpendapat bahwa kompetensi mengelola lahan tembang tidak dimiliki oleh ormas keagamaan. Otomatis jika lahan tambang tersebut tidak dikelola dengan benar maka malah akan timbul banyak permasalahan, seperti kerugian dan kerusakan lingkungan.
Namun dilain sisi, juga ada pihak yang menyambut baik itikat pemerintah memberi izin pengelolaan lahan tambang tersebut. Mereka meniatkan pengelolaan lahan tambang ini untuk sumber pendapatan organisasi.
Sehingga nantinya organisasi bisa lebih mandiri lagi, bisa menyelenggarakan kegiatan-kegiatan keagamaan untuk umatnya dengan mudah. Dilihat dari bunyi pasal 83A ayat 1, pengelolaan lahan tambang untuk ormas keagamaan bukan sesuatu yang bersifat keharusan.
Kebijakan tersebut hanya diperuntukkan bagi ormas yang bersedia atau memiliki keinginan dan kemampuan untuk mengelola lahan tambang. Jadi tidak perlu sampai saling menyerang dan saling menjatuhkan. Lagi-lagi jika menyangkut isu keagamaan pasti akan menjadi topik yang sangat sensitif untuk dibahas.
Bagi warga Indonesia agama selayaknya kulit yang dijadikan pelindung badan. Jadi jika kulit itu sedikit tersenggol pasti akan sangat terasa apa lagi jika tercubit pasti sangat terasa. Sebenarnya perbedaan pendapat adalah hal yang wajar.
Apalagi untuk kebijakan yang baru keluar seperti ini. Jadi sangat diperlukan sikap toleran dalam menyikapi persoalan tersebut. Apalagi teruntuk umat ormas keagamaan, jangan sampai hanya karena persoalan seperti ini saja menyebabkan perselisihan atau ketidakrukunan.
Bagi ormas yang sudah menentukan sikap menolak, supaya tetap bisa memberi kritik dan saran yang membangun untuk kelancaran kebijakan ini jika benar-benar akan direalisasikan. Jangan sampai karena menolak kebijakan ini sehingga benar-benar lepas tangan tidak mau ikut berkontribusi di dalamnya.
Karena sebenarnya pihak ini sangat dibutuhkan sebagai penyeimbang. Agar kebijakan ini tetap dilakukan dalam jalur yang seharusnya, tidak melenceng. Kemudian bagi ormas yang menerima supaya menjalankan sesuai Amanah yang diberikan.
Pengelolaan lahan tambang ini supaya digunakan untuk kemaslahatan umatnya. Jangan sampai malah dijadikan lahan kemudharatan atau lahan berbuat kejelekan, seperti lahan korupsi dan lain-lain. Serta yang paling penting adalah izin pengelolaan lahan tambang diperuntukkan atas nama suatu usaha bersama milik ormas keagamaan.
Jangan sampai malah diatasnamakan perseorangan. Yang terakhir, pemerintah harus tetap memantau pengelolaan lahan tambang tersebut. Sebab lagi-lagi ormas keagamaan memiliki kompetensi dalam hal spiritual dan moral bukan dalam hal bisnis pertambangan.
Pemerintah harus selalu siap sedia mendampingi pengelolaan tersebut agar lahan tambang tersebut benar-benar dimanfaatkan dengan baik. Jangan sampai karena kurangnya pengawasan dari pemerintah menyebabkan kerugian pada SDA dan SDM yang Indonesia miliki.
Kesimpulan dari pernyataan-pernyataan di atas adalah kebijakan mengenai diizinkannya ormas keagamaan mengelola lahan pertambangan harus ditanggapi dengan sikap saling toleransi. Baik yang menolak kebijakan tersebut atau yang menerima kebijakan tersebut harus saling menghargai dan menghormati.
Sebab sebenarnya pemerintah juga sudah memberi hak yang sama, hanya saja mungkin kemampuan dan kebutuhan setiap ormas berbeda-beda sehingga pilihan yang diambilpun berbeda. Jangan menjadikan kebijakan ini sebagai lahan untuk memecak belah persatuan dan kesatuan Indonesia.