KeislamanTafsir

Ketika Tafsir Menjadi Ruang Bebas: Asy-Syaukani dan Penolakan terhadap Taqlid Mazhab

3 Mins read

Tidak dapat dimungkiri, dinamika pemikiran hukum Islam lahir dari pergulatan para ulama dalam membaca realitas kemanusiaan. Sejak masa awal, Al-Qur’an dan hadis menjadi fondasi yang tidak hanya mengikat secara teologis, tetapi juga menginspirasi arah filosofis penetapan hukum.

Dari sinilah berkembang metodologi pemecahan masalah yang kemudian dirumuskan sebagai fiqh mazhab. Namun proses ijtihad tidak pernah luput dari perdebatan, terutama mengenai bagaimana kategori teks dipahami—apakah bersifat qath’i yang bermakna tetap, atau dhanni yang terbuka terhadap eksplorasi makna dan karenanya membutuhkan interpretasi kontekstual. Wilayah interpretatif inilah yang menjadi denyut nadi perkembangan hukum Islam sepanjang zaman.

Di tengah perubahan sosial yang semakin kompleks, mulai dari arus globalisasi hingga munculnya problem kekerasan, ketidakadilan, dan konflik sosial, ijtihad menempati posisi penting dalam menjaga kemaslahatan umat.

Di antara para pemikir yang menawarkan gagasan tajam dan kontroversial dalam wacana ini adalah asy-Syaukani. Ia dikenal progresif karena tidak membatasi diri pada satu mazhab, meski tetap menghargai otoritas keilmuan yang membentuk dirinya. Gagasan-gagasannya menjadi menarik untuk dikaji, terutama ketika masyarakat modern membutuhkan rumusan hukum yang tegas, relevan, dan bijaksana di tengah tantangan perubahan yang tidak pernah berhenti.

Asy-Syaukani, yang bernama lengkap Muhammad ibn Ali ibn Muhammad ibn Abdullah asy-Syaukani al-Shon’ani, lahir di Syaukan, wilayah Shan’a, Yaman Utara pada 1795, ia tumbuh di lingkungan keluarga ulama. Sang ayah, seorang cendekiawan yang pernah menjadi Qadhi pada pemerintahan Dinasti Qasimiyah, membentuk atmosfer rumah yang sarat diskusi agama dan keputusan hukum. Dari sinilah bibit intelektualitas Syaukani disiram sejak kecil, bukan melalui pemaksaan, tetapi lewat kedekatan dengan tradisi keilmuan yang hidup dalam keseharian.

Lingkungan keluarga yang religius tersebut kemudian menjadi fondasi awal perjalanan akademik Asy-Syaukani. Sejak kecil, ia menghafal Al-Qur’an dan mempelajarinya kepada banyak guru, hingga penyempurnaan hafalannya dibimbing langsung oleh al-Faqih Hasan ibn Abdullah al-Halb. Tidak hanya berhenti pada hafalan, ia juga mendalami tajwid kepada beberapa ulama di Shan’a. Kesungguhan dan disiplin belajarnya menjadikan ia mampu menguasai bacaan al-Qur’an secara fasih dalam waktu relatif singkat, yang kemudian menjadi bekal intelektual penting bagi perjalanan pemikirannya.

Baca...  Muhammad Shahrur: Karya Tafsir Kontekstual dan Landasan Pemikirannya

Beranjak remaja, Asy-Syaukani yang berasal dari lingkungan keluarga Zaidiyah mulai bergumul dengan kajian fikih mazhab tersebut. Zaidiyah, yang secara teologis memiliki kedekatan dengan rasionalitas Mu‘tazilah tetapi secara fikih bersinggungan dengan tradisi Sunni, memberikan ruang intelektual luas baginya. Namun perjalanan keilmuannya menunjukkan bahwa ia tidak merasa cukup untuk berdiam dalam satu lingkaran mazhab. Kecintaan yang besar pada ilmu membuatnya menembus batas-batas itu; ia mempelajari karya-karya fikih Zaidiyah seperti Azhar, sekaligus mendalami literatur Syafi’iyah semacam Jam‘ul Jawami’, Bulughul Maram, dan Fath al-Bari.

Keterbukaan intelektual ini membentuk corak pemikirannya yang khas, kritik yang berani, sikap mandiri, dan keengganan untuk tunduk pada otoritas mazhab secara taqlid. Pengalaman lintas tradisi inilah yang kelak menjadikan Asy-Syaukani dikenal sebagai sosok juris progresif yang tidak ingin dikurung oleh tembok sekat mazhab, sekaligus membuka jalan bagi pendekatannya dalam penetapan hukum yang lebih luas dan independen.

Keengganan Asy-Syaukani untuk mengikuti pola pikir teologis Zaidiyah seperti pandangan Mu‘tazilah tentang makhluknya Al-Qur’an, menunjukkan bahwa ia menimbang pemikiran bukan berdasarkan mazhab, tetapi berdasarkan dalil. Dalam isu ayat-ayat mutasyabihat pun ia lebih condong kepada pendekatan salaf, bukan pendekatan rasional murni yang lazim di kalangan Mu’tazilah.

Pandangan ini sejalan dengan sikapnya menolak taqlid mazhab. Menurut Asy-Syaukani, mazhab boleh dihormati, tetapi dalil harus menjadi ukuran utama. Ia menolak menjadikan afiliasi mazhab sebagai batas nalar keagamaan, karena Al-Qur’an dan Sunnah tetap berada di atas otoritas siapa pun.

Penolakannya terhadap praktik taqlid dapat terlihat jelas ketika menafsirkan firman Allah dalam QS. Al-A‘raf [7]: 28, yang mengisahkan sikap kaum terdahulu yang menjadikan tradisi nenek moyang sebagai legitimasi mutlak untuk membenarkan suatu perbuatan, meskipun bertentangan dengan kebenaran. (Asy-Syaukani, Fath Al-Qadir, juz 2, 289)

Baca...  Wajah Tuhan yang Kontroversial: Mengurai Strategi Antropomorfisme (Penyerupaan) dalam Tafsir Al-Qummi dan At-Tabarsi

Dalam Fathul Qadir, Asy-Syaukani menegaskan bahwa ayat ini merupakan bentuk kecaman Allah terhadap mentalitas mengikuti pendahulu secara membuta, dan ia menyamakan fenomena ini dengan praktik sebagian umat Islam yang menjadikan pendapat imam mazhab sebagai kebenaran final tanpa menimbang dalil dari Al-Qur’an maupun Sunnah. (Asy-Syaukani, Fath Al-Qadir, juz 2, 290)

Baginya, kondisi ini sejajar dengan apa yang terjadi pada orang-orang Yahudi dan Nasrani yang menolak kebenaran lantaran terikat fanatisme lama. Bahkan Asy-Syaukani menilai bahwa kapasitas “ijtihad” bagi orang awam bukan berarti menggali hukum sendiri, tetapi bertanya dengan kesadaran akan dalil, bukan sekadar mengikuti otoritas tertentu tanpa alasan ilmiah.

Di titik inilah kritiknya terhadap fanatisme mazhab berubah menjadi seruan untuk kembali menempatkan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai tumpuan utama, bukan menempatkan keduanya hanya sebagai legitimasi belakangan setelah pendapat mazhab diterima terlebih dahulu.

Gagasan kebebasan berijtihad dan kritik terhadap taqlid yang dibawa Asy-Syaukani tentu tidak lepas dari pro-kontra. Pemikirannya memberi angin segar bagi ulama yang berusaha membuka pintu ijtihad kembali, namun di saat yang sama dianggap mengikis otoritas mazhab yang telah menjadi rujukan umat berabad-abad. Meski demikian, warisan intelektualnya menunjukkan bahwa dinamika ilmiah tidak hidup dalam kebekuan, dan tradisi justru menemukan relevansinya ketika dihidupkan melalui kritik dan kajian ulang.

Di era ketika fatwa beredar lewat video pendek dan perdebatan mazhab bergeser ke ruang digital, pesan Asy-Syaukani terasa seperti isyarat yang kembali hidup. Ia percaya bahwa kebenaran tidak ditentukan oleh popularitas pendapat, tetapi oleh kekuatan dalil yang mendasarinya.

Pada akhirnya, Asy-Syaukani mengajarkan bahwa tafsir adalah ruang merdeka, ruang di mana dalil, akal, dan kejujuran ilmiah harus berjalan bersama. Penolakannya terhadap taqlid mazhab bukanlah pemberontakan, melainkan ajakan untuk berpikir jernih. Ia ingin agar umat Islam tidak hanya mengikuti pendapat, tetapi memahami dan menyelami dasar-dasarnya. Dari sinilah lahir tafsir yang hidup, dinamis, dan tetap relevan lintas zaman.

Baca...  Gus Ulil Ngaji Ihya’ Ulumuddin: Manifestasi Kelembutan

Referensi

Surur, Ahmad Tubagus. “DIMENSI LIBERAL DALAM PEMIKIRAN HUKUM IMAM ASY-SYAUKANI.” Jurnal Hukum Islam 8, no. 1 (2016). https://doi.org/10.28918/jhi.v8i1.550.

https://e-journal.uingusdur.ac.id/jhi/article/view/6973/1498

Asy-Syaukani, Fath Al-Qadir, juz 2, 289-290

فتح القدير الجامع بين فني الرواية والدراية من علم التفسير تفسير الشوكاني – الجزء الثاني.pdf

 

3 posts

About author
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
Articles
Related posts
KeislamanSejarah

Mengenal Mur'jiah Dalam Sejarah Islam

4 Mins read
Kuliahalislam.Murji’ah merupakan salah satu aliran teologi Islam yang muncul pada abad pertama Hijriyah. Pendirinya tidak diketahui dengan pasti tetapi Imam Syahrastani menyebutkan…
Keislaman

Adat Atau 'Urf Dalam Fiqih Islam

4 Mins read
Kuliahalislam.Adat (‘adah) secara bahasa berarti sesuatu yang dikerjakan atau diucapkan berulang-ulang, sehingga dianggap baik dan diterima oleh jiwa dan akal sehat. Istilah…
Keislaman

Dua Ayat Satu Ruh, Membaca Al-Qur’an Bersama Al Razi

3 Mins read
Ada kata-kata dalam Al-Qur’an yang selalu terasa lebih dalam dari bahasa. Ruh adalah salah satunya. Ia sering disebut, tetapi jarang benar-benar dipahami….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
Keislaman

Benarkah Ibadiyah Takfiri? Mengungkap Wajah Moderat Khawarij dalam Kitab Tafsir Hamyan Al-Zad

Verified by MonsterInsights