KeislamanTafsir

Tafsir An-Nisa 159: Legitimasi & Kesaksian Nabi Isa atas Risalah

3 Mins read

وَإِن مِّنۡ أَهۡل ٱلۡكِتَٰب إِلَّا لَيُؤۡمِنَنَّ بِهِۦ قَبۡل مَوۡتِهۦۖ وَيَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَة يَكُون عَلَيۡهِم شَهِيدَ

“Dan tidak ada seorang pun dari Ahli Kitab kecuali akan beriman kepadanya (‘Isa) sebelum kematiannya. Dan pada hari Kiamat nanti, ‘Isa itu akan menjadi saksi terhadap mereka.” (QS. An-Nisā’ 4:159)

Tidak sedikit ayat Al-Qur’an yang menyentuh inti kesadaran manusia tentang hakikat kebenaran, dan frasa وَيَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ يَكُونُ عَلَيۡهِمۡ شَهِيدٗا dalam QS. An-Nisā’ 4:159 menjadi salah satu penegasannya yang paling kuat. Dalam pandangan tafsir kontemporer Indonesia, kesaksian Nabi Isa pada hari kiamat dipahami sebagai momentum pengungkapan realitas iman yang tak mungkin ditutupi oleh retorika keyakinan atau legitimasi sejarah.

Hamka memandang kesaksian tersebut sebagai pernyataan tanggung jawab seorang nabi bahwa dirinya telah menyampaikan risalah tauhid secara sempurna, dan bahwa segala bentuk pengkultusan maupun penafian terhadap ajarannya adalah produk penyimpangan umat dari pesan wahyu yang sejati.[1]

Quraish Shihab menjelaskan bahwa syahādah dalam ayat ini bersifat aktif yakni proses penyingkapan dan pembuktian yang menampilkan fakta keagamaan secara terang, di mana hari kiamat menjadi panggung terakhir klarifikasi kebenaran tanpa kemungkinan manipulasi atau rekayasa.[2]

Perspektif ini menempatkan ayat tersebut bukan hanya sebagai uraian eskatologis, tetapi sebagai kritik tajam terhadap distorsi konsep ketuhanan dan sebagai ajakan kembali kepada otoritas wahyu yang otentik.

Mengenai asbāb al-nuzūl ayat QS. An-Nisā’ 4:159 menunjukkan bahwa ayat ini turun terkait perdebatan dan perselisihan antara kelompok-kelompok Bani Israil tentang jati diri Nabi Isa ‘alaihissalām. Ibn ‘Abbās meriwayatkan bahwa ayat ini turun sebagai jawaban atas klaim orang-orang Yahudi yang menuduh bahwa Isa telah mati terbunuh, serta bantahan terhadap kaum Nasrani yang meyakini ketuhanannya.

Baca...  Mengenal Ummu Hani: Perempuan yang Menolak Pinangan Rasul

Riwayat tersebut menjelaskan bahwa Allah menegaskan bahwa tidak seorang pun dari Ahli Kitab kecuali akan beriman kepada Nabi Isa sebelum kematiannya, dan bahwa pada hari kiamat Isa akan menjadi saksi atas mereka.[3]

Al-Wāhidī menegaskan bahwa ayat ini hadir untuk menyelesaikan polemik yang telah lama terjadi dalam tradisi Yahudi dan Nasrani mengenai posisi Isa bin Maryam, serta meneguhkan bahwa kebenaran final akan terungkap pada saat kebangkitan kelak.[4]

Dalam riwayat lain yang dikutip oleh al-Suyūṭī, ayat ini menjadi jawaban Qur’ani atas tuduhan penghinaan kaum Yahudi terhadap Isa dan Maryam, serta keyakinan keliru kaum Nasrani yang mencampuradukkan antara risalah kenabian dengan konsep ketuhanan.[5]

Dengan demikian, asbāb al-nuzūl ayat ini berfungsi sebagai klarifikasi teologis dan pemurnian akidah dalam menghadapi perselisihan umat terdahulu.

Di antara khazanah penafsiran yang berkembang lintas generasi, ayat QS. An-Nisā’ 4:159 tampil sebagai titik temu antara perspektif teologis dan historis mengenai kedudukan Nabi Isa. Dalam koridor tafsir klasik, al-Ṭabarī menjelaskan bahwa kesaksian Nabi Isa pada hari kiamat merupakan hujjah pamungkas atas umatnya yang saling bertentangan tentang jati dirinya, baik yang merendahkan maupun yang menuhankannya.[6]

Ibn Kathīr mempertegas bahwa kesaksian tersebut akan memvalidasi bahwa risalah tauhid telah sempurna beliau sampaikan, dan bahwa penyimpangan akidah terjadi bukan karena ajaran Isa, melainkan akibat klaim keliru para pengikutnya.[7]

Sementara dalam tafsir kontemporer Indonesia, Hamka menguraikan bahwa kesaksian Isa kelak berfungsi sebagai pembersihan nama dari dua ekstrem keyakinan: pemujaan Nasrani dan penolakan Yahudi, seraya menempatkan wahyu sebagai ukuran objektif kebenaran.[8]

Quraish Shihab turut memperluas makna syahīd sebagai saksi aktif yang menyingkap fakta keimanan pada hari kiamat, menghadirkan ruang konfirmasi yang tidak memungkinkan manipulasi sejarah atau reinterpretasi spekulatif dalam persoalan ketuhanan dan kenabian.[9]

Baca...  Menjaga Hakikat Ahlul Qur’an: Rangkaian Nasihat Rasulullah ﷺ untuk Ummat

Seluruh pandangan para mufassir ini bertumpu pada gagasan bahwa ayat tersebut bukan sekadar berita eskatologis, tetapi koreksi teologis universal yang mengembalikan manusia kepada kemurnian tauhid.

Realitas keberagamaan di era modern menunjukkan bahwa penyimpangan pemahaman tentang figur keagamaan masih berlangsung dalam berbagai bentuk, mulai dari kultus personal terhadap tokoh agama dan pemimpin spiritual hingga narasi manipulatif yang dibangun atas nama wahyu dan kebenaran.

Fenomena ini serupa dengan sejarah distorsi keyakinan terhadap Nabi Isa yang ditegaskan dalam ayat ini, di mana beliau kelak menjadi saksi atas kesalahan umatnya dalam mengubah arah risalah.

Quraish Shihab menegaskan bahwa kesaksian tersebut merupakan pengungkapan fakta yang tak bisa dipoles oleh kepentingan manusia, sebab hari kiamat adalah momen ketika seluruh kebenaran terbuka tanpa ruang manipulasi, sejalan dengan pandangan Hamka bahwa sejarah keagamaan menunjukkan betapa mudahnya manusia bergeser dari tauhid menuju pemujaan simbol dan figur.

Dari sini tersirat hikmah bahwa Islam sangat menekankan sikap proporsional dalam memuliakan Nabi ﷺ dan ulama tanpa jatuh pada pengkultusan ataupun penolakan membabi-buta; iman yang sehat tidak lahir dari fanatisme buta, melainkan dari pemahaman jernih dan kejujuran intelektual dalam menerima wahyu.

Pelajaran penting bagi umat Muslim masa kini adalah urgensi kembali kepada otoritas kebenaran yang autentik melalui Al-Qur’an dan Sunnah, serta menjaga rasionalitas dan integritas ilmu agar tidak terjebak pada tren keagamaan yang memikat secara emosional tetapi menyesatkan secara akidah.

Pada akhirnya, kesimpulan dari pesan ayat ini mengarah pada kesadaran bahwa kelak setiap manusia akan berhadapan dengan kesaksian kebenaran atas apa yang mereka yakini dan amalkan, dan bahwa keselamatan tidak diukur oleh jumlah pengikut ataupun popularitas suatu keyakinan, melainkan oleh kesetiaan kepada tauhid yang murni.

Baca...  Menelisik Interpretasi Muhammad Maulana Ali Terhadap QS. An Nisa 4: 3

Kesadaran eskatologis semacam ini seharusnya melahirkan umat yang rendah hati, kritis, tidak mudah diprovokasi, serta senantiasa menjadikan wahyu sebagai penuntun utama dalam menavigasi realitas keagamaan yang kompleks.

[1] Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982, Jilid 2, hlm. 403

[2] Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, 2005, Jilid 2, hlm. 573.

[3] Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī, Fatḥ al-Bārī Sharḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 1959, Jilid 8, hlm. 284.

[4] Al-Wāḥidī al-Nīsābūrī, Asbāb al-Nuzūl, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991, hlm. 151.

[5] Jal-Suyūṭī, Lubāb al-Nuqūl fī Asbāb al-Nuzūl, Beirut: Dār al-Fikr, 1987, hlm. 76.

[6] al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy al-Qur’ān, Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 1992, Jilid 9, hlm. 379.

[7] ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000, Jilid 2, hlm. 456.

[8] Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2, hlm. 403.

[9] Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Jilid 2, hlm. 573.

7 posts

About author
Guru Tahfidz SD Islam Al Azhar 46 Grand Depok City, Mahasiswa PTIQ Ilmu Al-Qur'an & Tafsir
Articles
Related posts
Keislaman

Melihat Al-Qur’an dari Sudut Baru: Mukjizat Abadi dalam Bahasa, Sains, dan Hikmah yang Tak Tertandingi

2 Mins read
Al-Qur’an tidak hanya sekadar kitab suci bagi umat Islam, tetapi juga sebuah mukjizat abadi yang terus mengundang decak kagum dari berbagai kalangan,…
Keislaman

Hukum Rahn (Jaminan Utang) dalam Islam

5 Mins read
Kuliahalislam.Rahn ( tetap, kekal, sinambung dan tertahan/ jaminan). Sarana tolong-menolong bagi umat Islam tanpa adanya imbalan jasa. Orang yang berutang (rahin) tidak…
Keislaman

Rekonstruksi Makna Wahyu: Paradigma Baru dalam Ulumul Quran

2 Mins read
Konsep wahyu dalam kajian Ulumul Quran merupakan fondasi yang menjelaskan bagaimana Al-Quran dipahami sebagai kalam Ilahi yang turun kepada Nabi Muhammad SAW…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
Keislaman

Hukum Rahn (Jaminan Utang) dalam Islam

Verified by MonsterInsights